Hukum Hutang Uang dibayar Emas
Salah seorang warganet bertanya kepada penulis tentang hukum utang uang yang terjadi sekarang, yang pembayarannya dilakukan saat jatuh tempo kelak dengan menyesuaikan kurs emas saat itu. Tidak lupa netizen ini menyampaikan sebuah link rujukan mengenai hukum kebolehan itu yang dirilis oleh salah satu situs konsultasi berkaitan dengan hukum-hukum syariah.
Singkatnya, link tersebut menyatakan bahwa hukum utang uang dibayar uang dengan kurs yang menyesuaikan harga emas saat jatuh tempo adalah boleh. Dasar penetapan hukum dari pengasuh rubrik tersebut mengambil mafhum dari hadits riwayat Ibnu Umar radliyallahu ‘anhu sebagai berikut:
أَتَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقُلْتُ: إِنِّي أَبِيعُ الْإِبِلَ بِالْبَقِيعِ بِالدَّنَانِيرِ وَآخُذُ الدَّرَاهِمَ، قَالَ: «لَا بَأْسَ أَنْ تَأْخُذَ بِسِعْرِ يَوْمِهَا مَا لَمْ تَفْتَرِقَا، وَبَيْنَكُمَا شَيْءٌ»
“Aku mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kusampaikan, ‘Saya menjual unta di Baqi’ dengan dinar secara kredit dan aku menerima pembayarannya dengan dirham.’ Beliau ﷺ lalu bersabda, ‘Tidak masalah kamu mengambil dengan harga hari pembayaran, selama kalian tidak berpisah, sementara masih ada urusan jual beli yang belum selesai’.” (HR Ahmad: 5555, Nasai: 4582, Abu Daud: 3354, dan yang lainnya).
Yang ditanyakan oleh netizen, benarkah penetapan hukum tersebut?
Untuk menjawab mengenai permasalahan tersebut, mari kita analisis berdasarkan teks-teks fiqih yang sudah disepakati oleh para ulama, di antaranya berkaitan dengan: (1) konsepsi utang dan riba utang, serta (2) konsepsi kurs dan solusi praktis mengenai lindung nilai.
Konsepsi Utang dan Riba Utang
Kasus yang disampaikan oleh penanya adalah berkaitan dengan masalah utang uang. Dalam konteks ini, penulis pernah menyampaikan bahwa utang hakikatnya adalah bagian dari akad jual beli barter namun dilatarbelakangi oleh maksud bina sosial (qashdu al-irfaq). Itu sebabnya, qardlu (utang) dalam Islam adalah semata merupakan qardlu hasan, yaitu akad pinjaman lunak.
Disebut lunak karena barter yang seharusnya dilakukan serah terima di majelis, menjadi harus disertai adanya jeda waktu (tempo). Barter dengan jeda waktu ini istilah lainnya adalah jual beli tempo (bai’ muajjal) atau jual beli kredit (bai’ nasa’/bai’ taqshith). Namun, kita menyebutnya utang disebabkan karena objek akadnya berasal dari jenis yang sama antara yang diserahkan dan yang diterima.
Oleh karena utang pada dasarnya adalah sama dengan barter, maka aplikasi dari utang juga wajib mengikuti ketentuan yang berlaku dalam barter, baik objek utangnya itu berkaitan dengan barang ribawi (uang, emas, perak, dan bahan makanan) atau bukan ribawi (misalnya: binatang, dan sejenisnya).
Ketentuan yang berlaku pada barter yang melibatkan barang ribawi adalah: (1) wajib sama atau sepadan (tamatsul), (2) bisa saling serah terima (taqabudl), dan (3) tunai saat jatuh tempo (hulul). Alhasil, berdasarkan ketentuan ini, maka uang 10 juta wajib ditunaikan sebesar 10 juta saat jatuh tempo. Bila terjadi lebih di salah satunya, maka kelebihan itu disebut sebagai riba.
Riba barter disebut juga dengan istilah riba al-fadhli. Riba utang disebut sebagai riba al-fadhli. Riba barter dengan tempo penyerahan salah satu barang yang dipertukarkan disebut riba al-yad. Riba barter dengan tempo penyerahan dengan disertai batas waktu tertentu yang diketahui disebut dengan istilah riba al-nasiah. Konsep-konsep ini merupakan yang sudah baku di kalangan ulama, sehingga diklaim sebagai ijma’.
Alhasil, berdasarkan konsepsi ini, maka utang uang adalah wajib ditunaikan sesuai dengan besaran uang saat diserahkan. Tidak boleh lebih dan tidak boleh kurang. Tidak boleh dikurskan dengan sesuatu yang lain yang tidak masuk dalam bagian akad, seumpama emas dan sejenisnya. Hal yang sama juga berlaku untuk utang emas atau utang perak. Wajib di
Konsepsi Kurs dan Lindung Nilai Utang
Kurs dalam bahasa ekonomi sering dimaknai sebagai nilai tukar. Istilah kurs ini lahir karena adanya pertukaran antara mata uang satu dengan mata uang lain. Misalnya, antara IDR dengan USD, atau antara IDR dengan XAU (satuan mata uang emas virtual).
Yang perlu kita garisbawahi adalah bahwa kurs berlaku saat seseorang melakukan pertukaran. Tanpa adanya pertukaran, maka kurs tidak berlaku.
Adanya pertukaran, menandakan bahwa “kurs” merupakan istilah lain dari “sharf” atau barter, namun tidak dengan sesama jenis. Dinar ditukar dengan dirham, IDR ditukar dengan USD. Keduanya membutuhkan adanya wujud fisik yang ditukar. Ada penukar dan ada yang ditukar. Pertukaran yang melibatkan fisik yang berbeda seperti ini dikenal dengan istilah “jual beli”, sehingga wajib ada fisiknya “tsaman” (harga) dan ada fisiknya “mutsman” (barang yang dihargai). Paling tidak, barang yang ditukar harus berupa “sesuatu” yang bisa dijamin pengadaannya (syaiin maushuf fi al-dzimmah).
Lantas bagaimana dengaan utang yang pengembaliannya distandarkan pada harga emas? Misalnya utang 1 M, kembali sebesar 1.2 M dengan mengikut pada standar harga emas yang berlaku saat jatuh tempo. Bolehkah hal yang seperti ini?
Jawabnya, sebagaimana yang sudah dijelaskan sebelumnya, bahwa “utang” itu merupakan istilah lain dari barter. Jika utang itu melibatkan fisik uang, maka kembalinya juga harus berupa fisik uang juga, dari jenis yang sama. Tidak boleh distandarkan dengan harga emas. Sebab penyetandaran dengan harga emas, tanpa keberadaan fisik emas, melainkan emas sebagai alat penimbang saja adalah sama dengan istilah riba al-qardly (riba utang).
Lantas bagaimana solusinya? Setidaknya ada 2 jawaban yang memungkinkan dilakukan, yaitu:
Pihak yang berutang dialihkan agar tidak berutang berupa uang, melainkan berupa fisik emas. Misalnya emas yang diserahkan adalah 1 kg. Maka kelak pada waktu pengembalian, pihak yang berutang harus mengembalikan juga berupa 1 kg emas.
Tidak melayani utang melainkan utang emas. Di loket yang berbeda disediakan tempat untuk menjual emas. Jika pihak yang berutang (debitur) menginginkan uang tunai, maka dia dipersilahkan untuk menjual emasnya ke counter tersebut, tanpa paksaan. Alhasil, debitur bisa menjual di counter tersebut, bisa juga menjual di pasar.
Jual beli seperti poin nomor 2 ini pada hakikatnya adalah termasuk akad bai’u al-tawarruq, khususnya jika pihak debitur memilih menjual emas tersebut ke pasar. Di sisi lain, akad ini juga bisa disebut bai’ ‘inah, bila pihak debitur memilih penukaran emas tersebut ke counter yang sudah disediakan oleh kreditur. Bai’ ‘inah hukumnya diperbolehkan dalam mazhab Syafi’i karena alasan dlarurah li al-hajah (terdesak kebutuhan).
Alhasil, menyetandarkan utang uang dengan emas, tanpa keberadaan fisik emas yang menjadi perantara, hukumnya adalah haram disebabkan karena adanya unsur riba qardli, atau riba al-yad. Solusi untuk mengatasinya adalah dengan menyediaka fisik berupa emas, sehingga akad utang pihak debitur tidak berutang uang melainkan berutang emas. Dengan demikian, kelak bila telah jatuh tempo, pihak debitur wajib mengembalikan dengan fisik emas juga, dengan kadar yang sama dengan emas saat pinjaman itu terjadi. Wallahu a’lam bish shawab.
Sumber: Islam.nu.or.id
Penulis: Muhammad Syamsudin, Peneliti Bidang Ekonomi Syariah - Aswaja NU Center PWNU Jatim