Simpang siur nasab Ba Alawi (6): tersambung atau terputus?
NASAB HABIB BA ALAWI SEPERTI MALAM LIKURAN
penulis: KH. Imaduddin Utsman al-Bantani)
Para habaib sering mengungkapkan narasi bahwa, nasab para habib Ba Alawi sudah terang benderang bagaikan matahari di sianghari. Jika di siang hari, dalam keadaan matahari terang benderang, ada orang yang tidak bisa melihat, maka hanya ada dua kemungkinan, kalau tidak ia buta, maka ia sedang sakit mata.
Bagi penulis, nasab para habib Ba Alawi, bagaikan gurun sahara di malam likuran, tiada bulan tiada bintang. Jika ada yang menyatakan ia terang benderang, maka hanya ada dua kemungkinan, kalau ia tidak sedang bermimipi melihat matahari, maka ia bagaikan katak dalam tempurung yang diletakan didalamnya lampu 150 watt.
Nasab Ba Alawi terputus periwayatannya selama 550 tahun. Itu fakta. Artinya, sejak Ahmad bin Isa wafat, baru setelah 550 tahun, ada penyebutan, bahwa Ahmad bin Isa mempunyai anak bernama Ubaidillah. Ulama-ulama nasab sebelumnya tidak ada yang menyebut nama Ubaidillah sebagai anak Ahmad.
Penyebutan Ubadillah sebagai anak Ahmad setelah 550 tahun itu-pun, setelah diteliti, ternyata bermasalah, karena nama Ubaidillah disebut sebagai anak Ahmad bin Isa, dapat dikatakan, hanya ditulis oleh keluarga dan orang yang ada kaitan dengan Ba Alawi saja, baik kolega maupun murid.
Di bawah ini, penulis tunjukan beberapa contoh, ulama-ulama yang menyebut Ubaidillah sebagai anak Ahmad bin Isa, yang mereka mempunyai hubungan emosional dengan Klan Ba Alawi.
HABIB ALI AL SAKRAN
Nama Ubaidillah sebagai anak Ahmad, pertama ditulis oleh Habib Ali al sakran (w.895 H.). ia adalah keturunan langsung dari Ubaidillah. Silsilah lengkapnya adalah Ali bin Abubakar bin Abudurrahman bin Muhammad Mauladawilah bin Ali bin Alwi bin Muhammad Faqih Muqoddam bin Ali bin Muhammad Sohib Mirbat bin Ali Khali Qisam bin Alwi bin Muhammad bin Alwi bin Ubaidillah. Habib Ali al-Sakran, berasumsi bahwa nama Abdullah bin Ahmad, yang disebut dalam kitab al-jundi (w. 730 H.), adalah nama yang sama dengan leluhurnya yang bernama Ubaid bin Ahmad.
SYAIKH YUSUF AN-NABHANI
Salah seorang yang menyebut nasab Ba Alawi adalah Syaikh Yusuf al-Nabhani (w. 1350 H). ia bukan keluarga Ba Alawi. penyebutan oleh An-Nabhani ini, banyak dinukil oleh pembela nasab Ba Alawi sebagai salah satu hujjah ketersambungan nasab Ba Alawi. ia sufi yang juga seorang qodli.
Dalam kitabnya, Riyadul jannah fi Adzkaril Qur’an wassunnah, ia memuji nasab Ba Alawi. Yang harus dicari tahu adalah, Kenapa ia memuji? Apakah ia memuji setelah melakukan penelitian dan pengkajian yang detail tentang nasab Ba Alawi, atau karena hal lain? Missal, karena ia punya guru, teman atau kolega dari Ba Alawi.
Setelah penulis telaah, ternyata ia memuji nasab Ba Alawi, bukan karena ia telah meneliti nasab tersebut, tetapi karena ia bergaul dengan sebagian mereka yang penuh akhlak mulia. Selain itu, ia menemukan dari kitab-kitab karya Ba Alawi yang, menurutnya, penuh dengan “huda” (petunjuk). Disamping itu, ia saling berkirim surat dengan mereka dan mendapat balasan dengan bahasa yang penuh kelembutan dan ketawadu’an. Jadi ia memuji nasab Ba Alawi, bukan karena penelitiannya, tetapi dari hal lain selain itu.
Dapat ditambahkan pula, bahwa ia mendapatkan banyak referensi untuk kitab yang ditulisnya tersebut, dari koleganya yang seorang ulama Ba Alawi, ia bernama Habib Zainal Abdidin Jamalullail. Habib tersebut meminjamkan dua buah kitab karya kakeknya yang berjudul “Rahatul Arwah bi Dzikril Fattah” dan hasyiyahnya.
Jika Syaikh Yusuf an-Nabhani, berkesimpulan bahwa nasab Ba Alawi adalah sahih dilihat dari akhlak para Ba Alawi yang baik, maka demikian pula sebaliknya, tidak bisa disalahkan, jika ada orang yang menyatakan nasab Ba Alawi batil karena ia berjumpa dengan kalangan Ba Alawi yang akhlaknya tidak baik, walau tanpa penelitian.
Maka penulis berkesimpulan, yang dinyatakan oleh Syekh Yusuf an-Nabhani tentang sahihnya nasab Ba Alawi tersebut, termasuk dalam bab husnuzhon saja. Kepada yang ada waktu untuk menelaah, silahkan menelaah kitab syaikh Yusuf an-Nabhani, Riyadul jannah fi Adzkaril Qur’an wassunnah, halaman 23 samapai 24. Ditambah, dalam biografinya, ia disebut mempunyai dua guru dari klan Ba Alawi, yaitu Habib Ahmad bin Hasan Alatas dan Habib Hasan bin Muhammad Alhabsyi.
IBNU HAJAR AL-HAITAMI
Ibnu Hajar al-haitami dikatakan menyebut silsilah Ba Alawi sampai kepada Rasulullah, benarkah? Dalam kitabnya “Tsabat Ibnu Hajar al-haitami”, Ibnu hajar menyebutkan sanad “lubsul khirqoh”, yaitu tanda ijajah dalam tarikat dengan menyematkan semacam kain kepada seorang murid.
Ibnu Hajar al-haitami menjelaskan, bahwa salah satu sanad dalam lubsul khirqoh yang dimilikinya adalah dari Imam Abu Bakar Al-Idrus. Di mana sanad itu bertaut kepada Syaikh Abdul Qadir al-Jaili (al-jailani), al-Rifai, al-Suhrawardi dll. Di dalam kitab itu pula Ibnu Hajar mengutip perkataan Abu Bakar al-Idrus, bahwa ia memiliki sanad lubsul khirqah yang menyambung kepada rasul melalui ayahnya terus ke kakeknya sampai kepada Rasul. (Lihat kitab al-tsabat Ibnu Hajra al-haitami halaman 212 sampai 213).
Jadi bukan Ibnu Hajar menetapkan bahwa nasab Ba Alawi tersambung ke Nabi Muhammad s.a.w. tetapi ia hanya mengutip ucapan Syaikh Abu Bakar al-Idrus.
MURTADLO AZZAIBIDI
Salah satu andalan pembela nasab Ba Alawi adalah kitab Arraudul Jali yang dikarang oleh Syaikh Murtado Azzabidi. Dikatakan bahwa, seorang ulama besar, pengarang kitab syarah Ihya Ulumuddin telah menetapkan nasab Ba Alawi tersambung kepada Nabi Muhammad s..a.w. benarkah?
Syekh Murtado Azzabidi, mengarang kitab Arraudul Jali atas perintah gurunya yang bernama Habib Mustofa bin Abdurrahman Alidrus. (lihat Arraudul Jali halaman 13) Ketika ia diperintahkan itu ia masih berumur duapuluh tahun (lihat halaman 12).
Dikatakan oleh Muhaqqiq, syaikh Arif Abdul ghani, bahwa ketika itu Habib Alidrus tersebut datang menemui Azzabidi di Toif tahun 1166 H. dan tinggal di sana selama enam bulan. (lihat halaman 16). Dari situ, kita dapat menyimpulkan bahwa, penulisan nasab itu sejatinya adalah pesanan gurunya, dan bahan-bahan penulisan tentang Ba Alawi-pun, kemungkinan besar, berasal dari riwayat gurunya tersebut. Jadi, hujjah bahwa seorang ulama besar yang bernama Azzabidi mengesahkan nasab Ba Alawi pun menjadi rancu, apakah benar bahwa Azzabidi menulis sesuai keilmuannya pada saat itu, atau sesuai data yang disiapkan gurunya tersebut?
SYAIKH MAHDI ARROJA’I
Syaikh Mahdi Arroja’I, ulama kontemporer, adalah salah satu ulama yang menulis nama Ubaidillah sebagai anak Ahmad bin Isa. Dalam kitabnya “al-Mu’qibun” ia menulis bahwa anak Ahmad bin Isa berjumlah empat orang: Muhammad, Ali, Husain dan Ubaidillah. Bahkan, beberapa hari lalu, ia sampai mengirimkan selembar surat yang menyatakan nasab Ba Alawi tersambung kepada Ahmad bin Isa. Siapa beliau?
Beliau adalah ulama nasab yang bekerja di Yayasan Nasab yang didirikan oleh Syekh Al-Mar’asyi al-Najafi (w. 1411 H.). penulis meneliti dari mana ia mencantumkan nama Ubaidillah sebagai anak Ahmad bin Isa. Karena dalam kitabnya, al-Mu’qibun, ia tidak menjelaskan darimana pengambilannya.
Setelah penulis teliti, maka penulis mendapatkan titik terang, bahwa Syekh Mahdi Arroja’I mendapatkan nama Ubaidillah ini dari catatan Syekh Al-mar’asyi sendiri, yaitu pendiri yayasan di mana ia bekerja. Catatan itu terdapat dalam footnote kitab “Tahdzibu Hada’iqil Albab” karya al-Amili (w. 1138 H.) yang ditahqiq oleh Syekh Mahdi Arroja’i. dalam kitab kitab itu, nama Ahmad disebut tidak mempunyai anak bernama Ubaidillah, namun pentahqiq, Syekh Mahdi Arroja’I, membuat footnote bahwa Syekh al-mar’asyi mencatat bahwa Ahmad mempunyai anak bernama Ubaidillah. Lalu siapa Syekh Al-Mar’asyi?
Syekh Al-Mar’asyi, nama lengkapnya adalah Syaikh Syihabuddin al-Mar’asyi al-Najafi. Ia adalah murid seorang habib keturunan Ba Alawi yang bernama Habib Muhammad Aqil al-Alawi al-Hadrami (w. 1350 H.) pengarang kitab al-Atbul Jamil. (lihat kitab Tahdzib halaman 278).
Ini adalah beberapa contoh, di mana ulama-ulama yang mencantumkan Ubaidillah sebagai anak Ahmad, selalu ada hubungan emosional dengan klan Ba Alawi.
Sebelum penulis akhiri artikel ini, ada hal yang ingin penulis sampaikan, terkait pernyataan sebagian kalangan, bahwa signifikansi konfirmasi kitab nasab sezaman tidak diperlukan. Dan persyaratan konfirmasi kitab sezaman, yang penulis tulis dalam buku menakar, menyalahi para ahli nasab. Penulis akan menukil ucapan seorang ahli nasab yang masih hidup dari Hijaz, ia adalah Sayyid Ibrahim bin mansur. Dalam kitabnya, al-Ifadloh, ia menyatakan:
اما الادلة على ان دعوي المتأخرين من الطبريين للنسب الحسيني العلوي حادثة لا اصل لها، ان كتب التواريخ المتقدمة لم ترفع نسب الطبريين الى النسب الحسيني العلوي (الافاضة: 56)
“Adapun dalil-dalil bahwa pengakuan orang-orang belakangan dari kaum tabariyyah kepada nasab al-Husaini al-Alawi, itu adalah (pengakuan) baru yang tidak mempunyai dasar, (adalah karena) kitab-kitab tarikh yang tua tidak menyambungkan nasab kaum Tabariyah kepada nasab al-Husaini al-Alawi.” (al-Ifadloh: 56)
Perhatikan, Sayyid Ibrahim bin Mansur yang menyatakan nasab kaum Tabariyah di Makkah tidak tersambung dengan nasab al-Husaini, ia menyimpulkannya berdasarkan kitab-kitab tua yang menyatakan bahwa nasab kaum Tabariyah ini terputus. Padahal kaum tabariyah dikenal pada abad 14 sebagai keturunan Nabi yang derajat kemasyhurannya sudah istifadlah, bahkan sebagian ulama, misalnya Qodi Ja’far li bani Makkiy, menyatakan ia telah qot’I sebagai keturunan Nabi Muhammad s.a.w. (lihat kitab al-Hadits syujun halaman 94), tetapi, ketika diteliti, ternyata kemasyhuran pada masa sekarang, tidak menjamin ketersambungan nasab ini, berdasarkan kesaksian kitab-kitab tua. Bahkan Kaum tabariyyin ini disimpulkan baru mengaku sebagai keturunan Nabi pada abad kesembilan. Sementara pada abad 5,6,7,8 nasab ini majhul. Sama peristiwanya seperti nasab Ba Alawi.
Sumber: Nahdatul Ulum