Contoh Radd dalam Hukum Waris Islam
Rad secara harfiyah artinnya mengembalikan, sedangkan menurut istilah adalah kekurangan dalam pokok masalah dan pertambahan dalam jumlah bagian-bagian yang ditetapkan. masalah ini terjadi apabila dalam pembagian warisan terdapat kelebihan harta setelah ahli waris ashab al-furud memperoleh bagianya.
1. Pengertian Rad dan bagaimana penyelesaiannya
Rad secara harfiyah artinnya mengembalikan, sedangkan menurut istilah adalah kekurangan dalam pokok masalah dan pertambahan dalam jumlah bagian-bagian yang ditetapkan. masalah ini terjadi apabila dalam pembagian warisan terdapat kelebihan harta setelah ahli waris ashab al-furud memperoleh bagianya. Cara radd ini ditempuh bertujuan untuk mengembalikan sisa harta kepada ahli waris yang ada seimbang dengan bagian yang diterima masing-masing secara proporsional.[1]
Caranya adalah mengurangi angka masalah sehingga besarnya sama dengan jumlah bagian yang diterima oleh ahi waris. Apabila tidak ditempuh cara radd, akan menimbulkan persoalan siapa yang berhak menerima kelebihan harta, sementara tidak ada ahli waris yang menerima ‘asabah. Untuk lebih jelasnya dibawah ini akan dikemukakan beberapa contoh :
a. Seseorang meninggal dunia ahli warisnya terdiri dari : anak perempuan dan ibu. Harta warisannya sebesar Rp 12.000.000,- bagian masing-masing adalah:
· Jika tidak ditempuh dengan cara radd :
Ahli waris bag AM 6 HW Rp 1.200.000,- penerimaan
Anak perempuan 1/2 3 3/6 x Rp 12.000.000,- = Rp 6.000.000,-
Ibu 1/6 1 1/6 x Rp 12.000.000,- =Rp2.000.000,-
4 jumlah = Rp 8.000.000,-
Terdapat sisa harta sebesar Rp 12.000.000,- - Rp 8.000.000,- = Rp 4.000.000
· Jika diselesaikan dengan cara radd :
Ahli waris bag AM 6-4 HW Rp 12.000.000,- penerimaan
Anak perempuan 1/2 3 ¾ x Rp 12.000.000,- = Rp 9.000.000,-
Ibu 1/6 1 ¼ x Rp 12.000.000, =Rp3.000.000,
4 jumlah = Rp 12.000.000,-
Anak perempuan yang semula menerima bagian 6.000.000,- berubah mendapat bagian Rp 9.000.000,- dan ibu yang semula menerima bagian Rp 2.000.000,- mendapat bagian Rp 3.000.000,-
b. Harta warisan yang ditinggalkan simati sebesar Rp 8.400.000,- ahli warisnya terdiri dari istri dan ibu.
Bagian masing-masing adalah :
· Jika tidak diselesaikan dengan radd :
Ahli waris bag AM 12 HW Rp 8.400.000,- penerimaan
Istri ¼ 3 3/12 x Rp 8.400.000,- = Rp 2.400.000,-
Ibu 1/3 4 4/12 x Rp 8.400.000,- =Rp2.800.000,-
Jumlah Rp 4.900.000
Terdapat sisa harta warisan sebesar Rp 8.400.000,-Rp 4.900.000, = Rp 3.500.000,-
· Jika diselesaikan dengan radd :
Ahli waris bag AM 12-7 HW Rp 8.400.000,- penerimaan
Istri ¼ 3 3/7 x Rp 8.400.000, = Rp 3.600.000,
Ibu 1/3 4 4/7 x Rp 8.400.000,- =Rp4.800.000
7 jumlah = Rp 8.400.000,-
c. Seseorang meninggal dunia, ahli warisnya terdiri dari : ibu dan 2 saudara seibu. Harta warisan yang ditinggalkan sejumlah Rp 3.6000.000,- bagian masing-masing :
· Jika tidak diselesaikan dengan radd :
Ahli waris bag AM 6 HW Rp 3.000.000,- penerimaan
Ibu 1/6 1 1/6 x Rp 3.600.000, = Rp 6.00.000,
2 sdr seibu 1/3 2 2/6 x Rp 3.600.000, =Rp1.200.000,
3 jumlah = Rp 1.800.000
Terdapat sisa harta sebanyak Rp 3.600.000,- Rp 1.800.000, = Rp 1.800.000,-
· Jika diselesaikan dengan radd :
Ahli waris bag AM 6-3 HW Rp 3.000.000,- penerimaan
Ibu 1/6 1 1/3 x Rp 3.600.000, = Rp 1.200.000,
2 sdr seibu 1/3 2 2/3 x Rp 3.600.000, =Rp2.400.000,
3 jumlah = Rp 3.600.000
Ibu yang semula menerima Rp 600.000,- berubah menjadi, mendapat bagian Rp1.200.000,- dan 2 sdara seibu berubah dari Rp 1.200.000,- menjadi Rp 2.400.000.
Syarat-syarat berlakunya radd :
a.) Adanya pewaris dengan penentuan.
b.) Tidak ada ashobah.
c.) Adanya sisa dari harta peninggalan.
d.) Apabila tidak dipenuhi syarat-syarat ini, maka tidak berlaku radd.
Para pewaris yang menerima radd :
Semua ashabul furud boleh menerima radd, kecuali suami istri. Radd berlaku untuk 8 asbahul furud :
a.) Anak perempuan.
b.) Anak perempuan dari anak laki-laki (cucu perempuan).
c.) Saudara perempuan seayah seibu.
d.) Saudara perempuan seayah.
e.) Ibu.
f.) Nenek yang shahih.
g.) Saudara perempuan seibu.
h.) Saudara laki-laki seibu
Adapun ayah dan kakek- walaupun keduanya termasuk ashabul furudh dalam beberapa keadaan, namun mereka berdua tidak boleh menerima radd. Karena bila mana terdapat ayah atau kakek, maka tidak mungkin terjadi radd dalam masalah itu, karena waktu itu keduanya menjadi ashobah dan mengambil sisanya.
Para pewaris yang tidak boleh menerima radd diantara ashabul furud adalah suami istri saja. Hal ini disebabkan kekerabatan mereka bukan kekerabatan nasabiyah tapi kekerabatan sababiyah. Sebab ini telah terputus dengan kematian maka masing-masing dari suami istri hanya mengambil radhunya saja tanpa tambahan. Adapun sisa harta maka dia dikembalikan lagi kepada ashabul furudh lainya.
2. Perbedaan pendapat para ulama dalam menyelesaikan harta yang terdapat sisa harta
Terhadap penyelesaian masalah dengan cara radd ini, ternyata ada ulama yang tidak setuju sama sekali sebagian ada yang setuju dengan syarat, dan sebagian lagi menyatakan dengan tegas menerima. Dibawah ini akan diuraikan perbedaan pendapat tersebut :
a. Radd atau pengembalian sisa harta warisan bila dilaksanakan hanya terbatas pada ahli waris nasabiyah. Jadi, ahli waris sababiyah-suami atau isteri-tidak dapat menerima radd. Demikian pendapat mayoritas (jumhur) ulama. Mula-mula pendapat ini dikemukakan oleh ali bin abi thalib, kemudian diikuti oleh Abu Hanifah, Ahmad bin Hanbal, Fuqaha Mutaakhirin dari madzhab syafi’iyah, malikiyah, syi’ah zaidiyah, dan syi’ah imamiyah. Dasar hukum yang dipedomaninya adalah :
· Firman Allah SWT :
وَاُوْلُوااْلاَرْحَامِ بِعْضُهُمْ أَوْلَى بِبَعْضٍ فِىْ كِتَابِ الله
“dan orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu sebagiannya lebih berhak dari pada yang lain dalam kitab Allah.” (QS Al-Anfal : 75)
Ayat tersebut pada prinsipnya adalah mengatur pembagian warisan kepada ashab al-furud, tetapi kemudian dijadikan dasar penyelesaian masalah radd. Pertimbangannya adalah mereka yang memiliki hubungan darah lebih pantas menerima pengembalian harta sisa, dari pada kaum muslimin yang tidak ada ikatan kekerabatan atau hubungan darah. Karena jika sisa harta itu diserahkan kepada bait al-mal maka kaum muslimin itulah yang akan memanfaatkannya.
· Praktek yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW. Ketika pada suatu saat didatangi oleh seorang perempuan yang menanyakan status budak yang baru saja diserahkan kepada ibunya, dan beberapa hari kemudian ibunya meninggal dunia. atas pertanyaan itu Nabi SAW menegaskan :
وَجَبَ اَجْرُكِ وَرَجَعَتْ اِلَيْكَ فِي اْلمِيْرَاثِ
Atas dasar penegasan Nabi SAW tersebut dapat dipahami bahwa penyelesaian pembagian warisan dengan cara radd kepada ahli waris adalah ditunjuk oleh Rosulullah SAW. sebab kalau saja Nabi SAW menyelesaikannya tidak dengan cara radd, maka anak perempuan tersebut hanya berhak menerima separohnya saja. Memang dalam hal ini, tidak ada penjelasan melalui contoh harta lain, tetapi penegasan Rasul bahwa budak itu kembali kepada anak perempuan itu dengan cara pewarisan itu adalah isyarat yang cukup tegas, bahwa beliau setuju dengan cara radd.
Jadi atas dasar alasan-alasan diatas, ahli waris yang berhak menerima pengembalian sisa harta hanyalah ashab al wurud nasabiyah. berikut ini akan diselesaikan contoh penyelesaian radd menurut mayoritas ulama :
a.) Seseorang meninggal dunia ahli warisnya terdiri dari istri, ibu dan saudara seibu. Harta warisannya sebesar Rp 10.800.000,- bagian masing-masing adalah:
Ahli waris bag AM 12 Rp 10.800.000,- penerimaan
Istri 1/4 3 3/12 x Rp 10.800.000, = Rp 2.700.000,
(sisa harta Rp 10.800.000,- - Rp 2.700.000,= Rp 8.100.000,)
Ibu 1/3 4 4/6 x Rp 8.100.000, = Rp 5.400.000,
Sdr.seibu 1/6 2 2/6 x Rp 8.100.000, =Rp2.700.000,
6 jumlah = Rp 10.800.000
b.) Seorang meninggal dunia, harta warisan yang ditinggalkan sebesar Rp 4.800.000,- ahli warisnya terdiri dari suami, saudara perempuan seibu, dan nenek. Bagian masing-masing :
Ahli waris bag AM 6 HW Rp 4.800.000,- penerimaan
Suami 1/2 3 3/6 X Rp 4.800.000, = Rp 2.400.000,
(sisa harta Rp 4.800.000,- - Rp 2.400.000,- = Rp 2.400.000,-)
Sdr seibu 1/6 1 1/2 x Rp 2.400.000, = Rp 1.200.000,
Nenek 1/6 1 1/2 x Rp 2.400.000, =Rp1.200.000,
2 jumlah = Rp 4.800.000,-
b. radd dapat dilakukan dengan mengembalikan sisa semua harta warisan kepada ahli waris yang ada, baik ashab al furud nasabiyah maupun sababiyah. Pendapat ini dikemukakan pleh sahabat ‘Usman bin ‘Affan. Pertimbangannya, logika dan segi praktis pembagian warisan. Ia mengataklan suami dan istri dalam masalah ‘aul bagian mereka ikut terkurangi, maka apabila terdapat kelebihan harta, maka sudah sepantasnya mereka juga diberi hak untuk menerima kelebihan tersebut.
Apabila contoh pada poin (1) menurut pendapat mayoritas ulama. Diselesaikan menurut pendapat ‘Usman maka dapat dihasilkan pembagian sebagai berikut :
(1) Angka asal masalah diturunkan 12 menjadi 9 :
Ahli waris bag AM 12-9 HW Rp 10.800.000,- penerimaan
Istri 1/4 3 3/9 x Rp 10.800.000, = Rp 3.600.000,
Ibu 1/3 4 4/9 x Rp 10.800.000, = Rp 4.800.000,
Sdr seibu 1/6 2 2/9 x Rp 10.800.000, =Rp2.400.000,
9 jumlah = Rp 10.800.000,-
Istri yang semula menerima bagian Rp 2.700.000,- berubah mendapat bagian Rp 3.600.000,- kadi mendapat tambahan sebesar Rp 900.000,-
(2) Angka asal masalah diturunkan dari 6 menjadi 5
Ahli waris bag AM 6-5 HW Rp 4.800.000,- penerimaan
Suami 1/2 3 3/5 x Rp 4.800.000,- = Rp 2.880.000
Sdr.seibu 1/6 1 1/5 x Rp 4.800.000,- = Rp 960.000
Nenek 1/6 1 1/5 x Rp 4.800.000, =Rp960.000,
5 jumlah = Rp 4.800.000,-
Suami yang semula menerima bagian Rp 2.400.000,- mendapat tambahan sebesar Rp 480.000,- hingga menjadi Rp 2.880.000,-
c. Pendapat yang menolak secara mutlaq penyelesaian pembagian warisan dengan cara radd. Demikian pendapat Zaid ibnu Tsabit dan minoritas ulama lainnya. Diantaranya Urwah bin Al Zuhri, Imam Syafi’I, Ibnu Hazm Al Zahiry Al Andalusy, dan para fuqaha malikiyah dan syafi’iyah.
Menurut pendapat ini apabila dalam pembagian warisan terdapat kelebihan harta, tidak perlu dikembalikan kepada ahli waris, tetapi diserahkan ke bait al mal. Kaum musliminlah yang berhak memanfaatkannya. Seperti dikatakan Muhammad Syarbiny, fuqaha Syafi’iyah menegaskan, “baik bait al mal atau kas perbendaharaan negara berfungsi dengan baik atau tidak , hak terhadap kelebihan harta warisan itu berada pada kaum muslimin, dan kepala bait al mal itulah sebagai Nadzir atau penanggung jawab atas kepentingan kaum muslimin”.
Dalam penelitian Fathur Rahman, pendapat tersebut didasarkan pada situasi dan kondisi umat Islam pada waktu itu yang sangat membutuhkan biaya dan bantuan negara melalui wadah bait al mal. Perubahan dan dinamika masyarakat dimana fuqaha’ syafi’iyah hidup tampaknya mengalami perubahan dan kemajuan. Lebih-lebih peranan bait al mal tidak lagi berfungsi secara optimal sehingga dengan kenyataan sosial semacam ini, fuqaha syafi’iyah mengubah pendapatnya. Menurut mereka dalam rangka refungsionalisasi kelebihan harta, sebaiknya dikembalikan saja kepada ashab al furud atau zawi arham jika ada secara proporsional.
Pendapat terakhir cukup praktis dan rasional namun demikian tidak bisa diberlakukan secara mutlak. Karena apabila pada suatu saat kepentingan kaum muslimin sangat membutuhkan pendanaan, yang salah satunya harus dipenuhi misalnya melalui sarana bait al mal, maka kelebihan harta perlu disetor ke bait al mal. Akan tetapi jika kebutuhan umum hanya bersifat subside saja maka cara radd untuk mengembalikan sisa harta kepada ahli waris merupakan cara yang lebih tepat.
Adapun alasan-alasan para ulama yang menolak cara penyelesaian pembagian warisan dengn cara radd adalah:
1.) Allah SWT telah menentukan bagian-bagian tertentu (furud al muqadarah) kepada ahli waris ashab al furud secara pasti (qat’iy). Besar kecilnya bagian tidak perlu ditambah-tambah atau dikurangi (QS An-Nisa : 11-12). Menambah bagian ahli waris melebihi ketentuan yang seharusnya diterima menurut nas, berarti melampaui batas-batas yang digariskan oleh Allah. Padahal terhadap mereka yang melampaui batas Allah memberi ultimatum dalam firman Nya :
وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَيَتَعَدَّ حُدُودَهُ يُدْخِلْهُ نَارًا خَالِدًا فِيهَا وَلَهُ عَذَابٌ مُهِينٌ
2.) Nabi Muhammad SAW telah menegaskan bahwa Allah telah menentukan hak-hak yang dapat diterima oleh seorang ahli waris. Sabda beliau menyatakan :
اِنَّ اللهَ قَدْاَعْطَى كُلَّ دِيْ حَقِّ حَقَّهُ (رواه الترمدي)
hadits diatas dikeluarkan setelah turun ayat 14 surat An Nisa. Artinya hadits tersebut bermaksud untuk menguatkan hujjah ayat tersebut oleh karena itu siapapun ada kewajiban dan perlu memperhatikannya didalam melakukan pembagian hartsa warisan
3.) Para ahli waris yang telah menerima bagian tertentu tidak berhak menerima sisa harta warisan, karena tidak ada jalan untuk memilikinya. Untuk itu, sisa harta yang ada harus diselesaikan kepada bait al mal. Seperti halnya harta peninggalan simati yang tidak mempunyai ahli waris sama sekali.
Disusun oleh :
Sofiani Novi Nuryanti (132211078)
Istiqomatun Nikmah (132211094)
Dosen pengampu :
M Nadzir, SHI. MSI
FAKULTAS SYARI’AH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG