Bahsul Masail NU: Hukum Bunga Bank
Bahsul Masail NU: Hukum Bunga Bank Terkait dengan hukum bunga bank, NU lewat keputusan Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama Nahdlatul Ulama di Lampung Tahun 1992 telah menghasilkan keputusan bahwa hukum bunga bank masih ikhtilaf. Ada yang mempersamakan dengan riba, ada yang tidak mempersamakan keduanya, dan ada yang menyatakan statusnya syubhat.
Assalamualaikum.
Saya mau tanya. Saya pinjam uang ke bank untuk membeli rumah untuk anak dan istri saya. Jika tidak pinjam (kredit) rasanya agak sulit saya memiliki rumah. Bagaimanakah hukumnya mengingat jika kita pinjam ke bank pasti ada bunga yang harus dibayar? Terimakasih. (Hamba Allah)
Jawaban:
Wa’alaikum salam.
Saudara penanya yang budiman. Semoga Allah subhanahu wata’ala senantiasa mencurahkan rahmat-Nya kepada kita sekalian!
Terkait dengan hukum bunga bank, NU lewat keputusan Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama Nahdlatul Ulama di Lampung Tahun 1992 telah menghasilkan keputusan bahwa hukum bunga bank masih ikhtilaf. Ada yang mempersamakan dengan riba, ada yang tidak mempersamakan keduanya, dan ada yang menyatakan statusnya syubhat. Oleh karenanya, kemudian hasil keputusan Munas tersebut memerinci bahwa apabila meminjam uang ke bank tersebut untuk tujuan produktif maka diperbolehkan. Demikian sebaliknya, apabila meminjam uang ke bank tersebut untuk tujuan konsumtif, maka tidak diperbolehkan.
Untuk pendapat yang membolehkan, ada catatan bahwa bunga bank konvensional adalah sama maksudnya dengan istilah tarif (‘ujrah) sehingga tidak bisa disebut riba. Hal ini mengingat bahwa riba adalah cenderung kepada arah dhalim dan mendhalimi. Sementara itu, bunga bank tidak dimaksudkan untuk dhalim dan mendhalimi melainkan ujrah (upah) kepada bank selaku kafil (penjamin) dari makful 'anh (yang diberi jaminan), yakni nasabah/peminjam.
Bunga bank ditetapkan berdasarkan prinsip akad kafalah. Dengan akad kafalah, bunga disamakan dengan istilah tarif. Oleh karena itu, maka disyaratkan agar bank menyampaikan besaran tarif tersebut secara umum di awal dan hal ini sudah berlangsung hingga detik ini. Besaran tarif yang sifatnya konstan (tetap) ini membedakannya dengan pengertian riba yang bersifat أضعافا مضاعفة yaitu berlipat ganda. Tarif ditentukan berdasarkan prinsip “keadilan.”
Dengan merujuk pada pendapat yang membolehkan dalam keputusan Munas NU 1992 ini, maka keputusan saudara penanya untuk meminjam ke bank disebabkan hajat memiliki sebuah rumah karena tingginya biaya membangun sebuah rumah adalah diperbolehkan. Keputusan ini berdasarkan prinsip maslahah mursalah, yang mana salah satunya adalah mensyaratkan peruntukannya untuk maslahah dlaruriyah (memenuhi kebutuhan primer), maslahah hajiyah (memenuhi hajat masyarakat banyak/berupa perumahan) dan maslahah tahsiniyah (menuju kualitas hidup yang lebih baik). Usaha memenuhi kebutuhan primer merupakan yang diperintahkan oleh syara’.
Demikian sekilas jawaban dari kami, semoga dapat menjawab pertanyaan saudara. Jawaban ini tentu memiliki konsekuensi akan adanya ikhtilaf. Sebagai jalan keluar, apabila ditemukan cara lain yang bisa menggantikan posisi pinjam ke bank tersebut, maka wajib untuk mengambil sistem tersebut karena lebih menyelamatkan. Wallahu a’lam bish shawab.
Muhammad Syamsudin, Pegiat Kajian Fiqih Terapan dan Pengasuh Pondok Pesantren Hasan Jufri Putri, P. Bawean, Gresik, Jawa Timur
***
Terminologi kafâlah sering dimaknai sebagai dlamân, hamâlah atau za’âmah dengan arti secara berurutan adalah jaminan, beban, dan tanggungan. Kafalah juga dimaknai sebagai akad yang mengikat (luzûm) antara seorang kafîl (pemberi jaminan) kepada pihak yang dijamin (makful lahu) atas piutang yang diberikan kepada pelaksana (al-ashîl/makful ‘anhu) untuk terlaksananya suatu proyek/pekerjaan (makful bihi).
Pak Ahmad hendak mendirikan rumah. Ia tidak memiliki uang cash yang cukup agar pendirian rumahnya bisa berlangsung tepat waktu selama musim kemarau yang hanya berkisar 2 bulan. Untuk itu ia mengajukan pinjaman kepada para tukang dan toko bangunan sebesar dana yang dibutuhkan untuk membangun rumah.
Selanjutnya, untuk melunasinya, ia mengajukan penjaminan kepada bank demi lunasnya tanggungan tersebut. Setelah diadakan survei di lapangan, bank menyetujui usulan Pak Ahmad dan dia menanggung semua biaya kebutuhan untuk mendirikan rumah dengan risiko, Pak Ahmad harus membayar kompensasi penjaminan (ujrah/ja’lu) dengan besaran yang ditetapkan oleh bank dan bersifat ma’lum (diketahui secara jelas).
Dari kasus ini, maka peran masing-masing pihak adalah dapat diperinci sebagai berikut:
a. Bank bertindak selaku kafil
b. Pak Ahmad bertindak selaku al-ashil atau al-makful ‘anhu
c. Tukang dan toko bangunan bertindak selaku al-makful lahu
d. Pendirian rumah merupakan al-makful bihi
e. Kompensasi yang ditetapkan oleh bank kepada Pak Ahmad disebut sebagai ujrah (upah/kompensasi) atas kafalah (jaminan) yang dilakukan, mengingat bank merupakan sebuah badan yang memiliki karyawan untuk digaji.
Pada dasarnya, relasi antara bank, Pak Ahmad, tukang, dan toko bangunan adalah boleh dalam akad kafalah dengan syarat bahwa pihak kafîl (bank) mengetahui pihak yang dijamin (Pak Ahmad) dan tujuan yang jelas dari penggunaan uang tersebut (al-makful bihi).
Yang sering menjadi objek perdebatan dalam kafalah adalah terkait dengan ujrah/ja’lu (kompensasi) yang disyaratkan oleh kafîl kepada Pak Ahmad sebagai al-makful ‘anhu. Ada beberapa alasan yang mendasari ikhtilaf tersebut:
Pertama, menurut pendapat ulama yang melarang, bahwa jika yang ditanggung adalah berupa harta (mâl) dalam kafâlah al-mâl, sementara syarat kompensasi juga berupa harta, maka pada dasarnya hal ini sama dengan akad al-qardlu jara naf’an lil muqridl, yaitu suatu akad utang piutang yang disertai adanya syarat manfaat bagi pihak yang member utang. Tak pelak lagi maka akad semacam ini sudah masuk kategori akad ribawi sehingga ulama mengharamkannya. Contoh dari pendapat ini misalnya adalah ulama dari kalangan Hanabilah, seperti Ibnu Qudamah, ia berkata:
ولوقال : اكفل عني ولك ألف لم يجز ; لأن الكفيل يلزمه الدين , فإذا أداه وجب له على المكفول عنه، فصار كالقرض، فإذا أخذ عوضا صار القرض جارا للمنفعة، فلم يجز - انتهى
Artinya: “Seandainya ada orang berkata: Berikan jaminan kepadaku, kamu akan saya kasih 1000! (Akad seperti ini, adalah) tidak boleh karena sesungguhnya seorang kafîl terikat olehnya utang. Ketika ia menunaikan jaminan itu, maka menjadi wajib baginya menanggung orang yang dijamin sehingga layaknya utang piutang (qardlu). Maka dari itu, apabila kafîl memutuskan memungut ‘iwadl (kompensasi) maka jadilah akad tersebut menjadi utang berbuntut manfaat, oleh karena itu tidak boleh.” (Ibnu Qudamah, Al-Mughni, Beirut, Darul Kutub Ilmiah, tt: 6/441)
Pendapat yang senada juga disampaikan oleh At-Thabary dalam kitab Ikhtilâfu al-Fuqahâ, ia berkata:
ولو كفل رجل على رجل بمال عليه لرجل،على جُعل (أجرة) جعله له المكفول عليه،فالضمان على ذلك باطل
Artinya: “Seandainya ada seorang laki-laki menjamin laki-laki lain dengan harta miliknya, di atas kewajiban upah yang ditetapkan kepada pihak yang dijamin, maka akad jaminan sedemikian ini adalah bathil.” (Abu Ja’far Muhammad Ibnu Jarir Al-Thabary, Ikhtilâfu al-Fuqahâ’, Beirut: Darul Kutub Ilmiyah, tt.: 9)
Pendapat kedua, adalah dengan menjadikan kafil selaku wakil dari al-makful ‘anh. Dalam hal ini, pihak bank yang sebelumnya hanya berperan selaku kafil (penjamin), ia juga memerankan diri selaku pihak yang mewakili Pak Ahmad dalam menanggung kewajiban Pak Ahmad kepada al-makful lahu, yaitu tukang dan toko bangunan. Selaku wakil, maka pihak bank bisa menerima ujrah dari Pak Ahmad.
Konsekuensi dari menjadikan bank selaku wakil dari Pak Ahmad adalah: (1) yang membayar tukang dan toko bangunan adalah bank, dan (2) Pak Ahmad harus memiliki sejumlah simpanan di bank tersebut sebelumnya, dan (3) bank harus mengeluarkan surat pernyataan resmi yang diberitahukan kepada al-makful lah (tukang dan toko bangunan), bahwa segala transaksi yang berkaitan dengan tanggungan Pak Ahmad kepada mereka adalah harus melalui bank. Kendala jika memakai akad wakalah ini adalah, sulitnya diterapkan bila untuk skala hubungan orang per orang. Antara tukang dan orang yang menyuruh umumnya adalah saling berinteraksi terkait dengan upah dan lain sebagainya. Masak tukang mau mengambil upahnya saja harus melalui mekanisme bank? Tentu hal ini akan memberatkan salah satu pihak yang berinteraksi.
Alternatif lain adalah Fatwa DSN MUI: No. 11/DSN-MUI/IV/2000 yang menyebutkan bahwa kafalah bil ujrah, yaitu kafalah yang disertai dengan upah hukumnya adalah boleh, dengan catatan bahwa upah yang ditetapkan tidak memberatkan salah satu pihak. Jika memberatkan maka masuk kategori unsur riba yang أضعافا مضاعفة sehingga hukumnya haram.
Keputusan MUI ini memiliki beberapa pertimbangan dasar, yang salah satunya menjadi hal yang paling penting adalah bahwa beberapa pihak kadang kesulitan untuk mendirikan usaha disebabkan tidak memiliki dana. Agar mendapatkan dana yang dimaksud, ia membutuhkan pihak lain untuk menjaminnya. Dan salah satu pihak yang menjamin dan direkomendasikan dalam fatwa itu adalah Lembaga Keuangan Syariah (LKS) dan Lembaga Keuangan Konvensional (LKK). Dengan demikian, maka ujrah dari al-makful ‘anh adalah dibayarkan kepada pihak LKS atau LKK. Dalam bahasa LKK, ujrah ini dinamakan sebagai bunga kredit. Namun dalam LKS, ujrah ini disebut sebagai tarif. Disyaratkan dalam fatwa DSN tersebut, bahwa besar ujrah harus ditentukan di muka dan harus disepakati bersama.
Fatwa DSN MUI ini secara tidak langsung turut melengkapi hasil keputusan Musyawarah Nasional Alim Ulama NU yang telah digelar sejak tahun 1992. Dalam keputusan itu, disinyalir bahwa bentuk pinjaman produktif ke bank adalah masuk unsur diperbolehkan. Mengapa hal ini diperbolehkan? Berlakunya akad jaminan (kafalah) umumnya hanya terdapat pada paket pinjaman produktif. Adapun untuk paket konsumtif, keberadaan makful lah ini yang tidak ditemukan, sehingga berujung pada akad qardlu. Akibatnya, ujrah yang dibayarkan ke LKK/LKS lewat paket kredit konsumtif ini menjadi akad ribawi sebagaimana yang dimaksud oleh Ibnu Qudamah di atas. Wallahu a’lam bish shawab.
Muhammad Syamsudin, Pegiat Kajian Fiqih Terapan dan Pengasuh Pondok Pesantren Hasan Jufri, P. Bawean, Gresik, Jatim
Sumber: NU.OR.ID
Saya mau tanya. Saya pinjam uang ke bank untuk membeli rumah untuk anak dan istri saya. Jika tidak pinjam (kredit) rasanya agak sulit saya memiliki rumah. Bagaimanakah hukumnya mengingat jika kita pinjam ke bank pasti ada bunga yang harus dibayar? Terimakasih. (Hamba Allah)
Jawaban:
Wa’alaikum salam.
Saudara penanya yang budiman. Semoga Allah subhanahu wata’ala senantiasa mencurahkan rahmat-Nya kepada kita sekalian!
Terkait dengan hukum bunga bank, NU lewat keputusan Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama Nahdlatul Ulama di Lampung Tahun 1992 telah menghasilkan keputusan bahwa hukum bunga bank masih ikhtilaf. Ada yang mempersamakan dengan riba, ada yang tidak mempersamakan keduanya, dan ada yang menyatakan statusnya syubhat. Oleh karenanya, kemudian hasil keputusan Munas tersebut memerinci bahwa apabila meminjam uang ke bank tersebut untuk tujuan produktif maka diperbolehkan. Demikian sebaliknya, apabila meminjam uang ke bank tersebut untuk tujuan konsumtif, maka tidak diperbolehkan.
Untuk pendapat yang membolehkan, ada catatan bahwa bunga bank konvensional adalah sama maksudnya dengan istilah tarif (‘ujrah) sehingga tidak bisa disebut riba. Hal ini mengingat bahwa riba adalah cenderung kepada arah dhalim dan mendhalimi. Sementara itu, bunga bank tidak dimaksudkan untuk dhalim dan mendhalimi melainkan ujrah (upah) kepada bank selaku kafil (penjamin) dari makful 'anh (yang diberi jaminan), yakni nasabah/peminjam.
Bunga bank ditetapkan berdasarkan prinsip akad kafalah. Dengan akad kafalah, bunga disamakan dengan istilah tarif. Oleh karena itu, maka disyaratkan agar bank menyampaikan besaran tarif tersebut secara umum di awal dan hal ini sudah berlangsung hingga detik ini. Besaran tarif yang sifatnya konstan (tetap) ini membedakannya dengan pengertian riba yang bersifat أضعافا مضاعفة yaitu berlipat ganda. Tarif ditentukan berdasarkan prinsip “keadilan.”
Dengan merujuk pada pendapat yang membolehkan dalam keputusan Munas NU 1992 ini, maka keputusan saudara penanya untuk meminjam ke bank disebabkan hajat memiliki sebuah rumah karena tingginya biaya membangun sebuah rumah adalah diperbolehkan. Keputusan ini berdasarkan prinsip maslahah mursalah, yang mana salah satunya adalah mensyaratkan peruntukannya untuk maslahah dlaruriyah (memenuhi kebutuhan primer), maslahah hajiyah (memenuhi hajat masyarakat banyak/berupa perumahan) dan maslahah tahsiniyah (menuju kualitas hidup yang lebih baik). Usaha memenuhi kebutuhan primer merupakan yang diperintahkan oleh syara’.
Demikian sekilas jawaban dari kami, semoga dapat menjawab pertanyaan saudara. Jawaban ini tentu memiliki konsekuensi akan adanya ikhtilaf. Sebagai jalan keluar, apabila ditemukan cara lain yang bisa menggantikan posisi pinjam ke bank tersebut, maka wajib untuk mengambil sistem tersebut karena lebih menyelamatkan. Wallahu a’lam bish shawab.
Muhammad Syamsudin, Pegiat Kajian Fiqih Terapan dan Pengasuh Pondok Pesantren Hasan Jufri Putri, P. Bawean, Gresik, Jawa Timur
***
Terminologi kafâlah sering dimaknai sebagai dlamân, hamâlah atau za’âmah dengan arti secara berurutan adalah jaminan, beban, dan tanggungan. Kafalah juga dimaknai sebagai akad yang mengikat (luzûm) antara seorang kafîl (pemberi jaminan) kepada pihak yang dijamin (makful lahu) atas piutang yang diberikan kepada pelaksana (al-ashîl/makful ‘anhu) untuk terlaksananya suatu proyek/pekerjaan (makful bihi).
Pak Ahmad hendak mendirikan rumah. Ia tidak memiliki uang cash yang cukup agar pendirian rumahnya bisa berlangsung tepat waktu selama musim kemarau yang hanya berkisar 2 bulan. Untuk itu ia mengajukan pinjaman kepada para tukang dan toko bangunan sebesar dana yang dibutuhkan untuk membangun rumah.
Selanjutnya, untuk melunasinya, ia mengajukan penjaminan kepada bank demi lunasnya tanggungan tersebut. Setelah diadakan survei di lapangan, bank menyetujui usulan Pak Ahmad dan dia menanggung semua biaya kebutuhan untuk mendirikan rumah dengan risiko, Pak Ahmad harus membayar kompensasi penjaminan (ujrah/ja’lu) dengan besaran yang ditetapkan oleh bank dan bersifat ma’lum (diketahui secara jelas).
Dari kasus ini, maka peran masing-masing pihak adalah dapat diperinci sebagai berikut:
a. Bank bertindak selaku kafil
b. Pak Ahmad bertindak selaku al-ashil atau al-makful ‘anhu
c. Tukang dan toko bangunan bertindak selaku al-makful lahu
d. Pendirian rumah merupakan al-makful bihi
e. Kompensasi yang ditetapkan oleh bank kepada Pak Ahmad disebut sebagai ujrah (upah/kompensasi) atas kafalah (jaminan) yang dilakukan, mengingat bank merupakan sebuah badan yang memiliki karyawan untuk digaji.
Pada dasarnya, relasi antara bank, Pak Ahmad, tukang, dan toko bangunan adalah boleh dalam akad kafalah dengan syarat bahwa pihak kafîl (bank) mengetahui pihak yang dijamin (Pak Ahmad) dan tujuan yang jelas dari penggunaan uang tersebut (al-makful bihi).
Yang sering menjadi objek perdebatan dalam kafalah adalah terkait dengan ujrah/ja’lu (kompensasi) yang disyaratkan oleh kafîl kepada Pak Ahmad sebagai al-makful ‘anhu. Ada beberapa alasan yang mendasari ikhtilaf tersebut:
Pertama, menurut pendapat ulama yang melarang, bahwa jika yang ditanggung adalah berupa harta (mâl) dalam kafâlah al-mâl, sementara syarat kompensasi juga berupa harta, maka pada dasarnya hal ini sama dengan akad al-qardlu jara naf’an lil muqridl, yaitu suatu akad utang piutang yang disertai adanya syarat manfaat bagi pihak yang member utang. Tak pelak lagi maka akad semacam ini sudah masuk kategori akad ribawi sehingga ulama mengharamkannya. Contoh dari pendapat ini misalnya adalah ulama dari kalangan Hanabilah, seperti Ibnu Qudamah, ia berkata:
ولوقال : اكفل عني ولك ألف لم يجز ; لأن الكفيل يلزمه الدين , فإذا أداه وجب له على المكفول عنه، فصار كالقرض، فإذا أخذ عوضا صار القرض جارا للمنفعة، فلم يجز - انتهى
Artinya: “Seandainya ada orang berkata: Berikan jaminan kepadaku, kamu akan saya kasih 1000! (Akad seperti ini, adalah) tidak boleh karena sesungguhnya seorang kafîl terikat olehnya utang. Ketika ia menunaikan jaminan itu, maka menjadi wajib baginya menanggung orang yang dijamin sehingga layaknya utang piutang (qardlu). Maka dari itu, apabila kafîl memutuskan memungut ‘iwadl (kompensasi) maka jadilah akad tersebut menjadi utang berbuntut manfaat, oleh karena itu tidak boleh.” (Ibnu Qudamah, Al-Mughni, Beirut, Darul Kutub Ilmiah, tt: 6/441)
Pendapat yang senada juga disampaikan oleh At-Thabary dalam kitab Ikhtilâfu al-Fuqahâ, ia berkata:
ولو كفل رجل على رجل بمال عليه لرجل،على جُعل (أجرة) جعله له المكفول عليه،فالضمان على ذلك باطل
Artinya: “Seandainya ada seorang laki-laki menjamin laki-laki lain dengan harta miliknya, di atas kewajiban upah yang ditetapkan kepada pihak yang dijamin, maka akad jaminan sedemikian ini adalah bathil.” (Abu Ja’far Muhammad Ibnu Jarir Al-Thabary, Ikhtilâfu al-Fuqahâ’, Beirut: Darul Kutub Ilmiyah, tt.: 9)
Pendapat kedua, adalah dengan menjadikan kafil selaku wakil dari al-makful ‘anh. Dalam hal ini, pihak bank yang sebelumnya hanya berperan selaku kafil (penjamin), ia juga memerankan diri selaku pihak yang mewakili Pak Ahmad dalam menanggung kewajiban Pak Ahmad kepada al-makful lahu, yaitu tukang dan toko bangunan. Selaku wakil, maka pihak bank bisa menerima ujrah dari Pak Ahmad.
Konsekuensi dari menjadikan bank selaku wakil dari Pak Ahmad adalah: (1) yang membayar tukang dan toko bangunan adalah bank, dan (2) Pak Ahmad harus memiliki sejumlah simpanan di bank tersebut sebelumnya, dan (3) bank harus mengeluarkan surat pernyataan resmi yang diberitahukan kepada al-makful lah (tukang dan toko bangunan), bahwa segala transaksi yang berkaitan dengan tanggungan Pak Ahmad kepada mereka adalah harus melalui bank. Kendala jika memakai akad wakalah ini adalah, sulitnya diterapkan bila untuk skala hubungan orang per orang. Antara tukang dan orang yang menyuruh umumnya adalah saling berinteraksi terkait dengan upah dan lain sebagainya. Masak tukang mau mengambil upahnya saja harus melalui mekanisme bank? Tentu hal ini akan memberatkan salah satu pihak yang berinteraksi.
Alternatif lain adalah Fatwa DSN MUI: No. 11/DSN-MUI/IV/2000 yang menyebutkan bahwa kafalah bil ujrah, yaitu kafalah yang disertai dengan upah hukumnya adalah boleh, dengan catatan bahwa upah yang ditetapkan tidak memberatkan salah satu pihak. Jika memberatkan maka masuk kategori unsur riba yang أضعافا مضاعفة sehingga hukumnya haram.
Keputusan MUI ini memiliki beberapa pertimbangan dasar, yang salah satunya menjadi hal yang paling penting adalah bahwa beberapa pihak kadang kesulitan untuk mendirikan usaha disebabkan tidak memiliki dana. Agar mendapatkan dana yang dimaksud, ia membutuhkan pihak lain untuk menjaminnya. Dan salah satu pihak yang menjamin dan direkomendasikan dalam fatwa itu adalah Lembaga Keuangan Syariah (LKS) dan Lembaga Keuangan Konvensional (LKK). Dengan demikian, maka ujrah dari al-makful ‘anh adalah dibayarkan kepada pihak LKS atau LKK. Dalam bahasa LKK, ujrah ini dinamakan sebagai bunga kredit. Namun dalam LKS, ujrah ini disebut sebagai tarif. Disyaratkan dalam fatwa DSN tersebut, bahwa besar ujrah harus ditentukan di muka dan harus disepakati bersama.
Fatwa DSN MUI ini secara tidak langsung turut melengkapi hasil keputusan Musyawarah Nasional Alim Ulama NU yang telah digelar sejak tahun 1992. Dalam keputusan itu, disinyalir bahwa bentuk pinjaman produktif ke bank adalah masuk unsur diperbolehkan. Mengapa hal ini diperbolehkan? Berlakunya akad jaminan (kafalah) umumnya hanya terdapat pada paket pinjaman produktif. Adapun untuk paket konsumtif, keberadaan makful lah ini yang tidak ditemukan, sehingga berujung pada akad qardlu. Akibatnya, ujrah yang dibayarkan ke LKK/LKS lewat paket kredit konsumtif ini menjadi akad ribawi sebagaimana yang dimaksud oleh Ibnu Qudamah di atas. Wallahu a’lam bish shawab.
Muhammad Syamsudin, Pegiat Kajian Fiqih Terapan dan Pengasuh Pondok Pesantren Hasan Jufri, P. Bawean, Gresik, Jatim
Sumber: NU.OR.ID