Mengkritisi Konsep Tauhid Ibnu Taimiyah
Mengkritisi Konsep Tauhid Ibnu Taimiyah Menurut Ibn Taimiyah Tauhid itu terbagi menjadi tiga:
Pertama, Tauhid Rububiyyah, yaitu pengakuan bahwa yang menciptakan, memiliki dan mengatur langit dan bumi serta seluruh isinya hanya Allah semata. Menurut Ibn Taimiyah, Tauhid Rububiyyah ini telah diyakini oleh semua orang, baik orang-orang Musyrik maupun orang-orang Mukmin.
MENGKRITISI KONSEP TAUHID IBNU TAIMIYAH
Dewasa ini berkembang pandangan pembagian tauhid menjadi tiga, yaitu Tauhid Rububiyyah, Tauhid Uluhiyyah dan Tauhid al-Asma' wa al-Shifat. Paradigma pembagian tauhid menjadi tiga tersebut, kini juga masuk ke dalam kurikulum akidah akhlak yang diajarkan di Madrasah Aliyah yang berada di bawah naungan Departemen Agama dan sekolah-sekolah yang terkadang dikelola oleh Nahdlatul Ulama. Oleh karena itu, di sini perlu dipaparkan bagaimana sebenarnya pembagian Tauhid menjadi tiga tersebut.
Pembagian Tauhid menjadi tiga, yaitu Tauhid Rububiyyah, Tauhid Uluhiyyah dan Tauhid al-Asma' wa al-Shifat, belum pernah dikatakan oleh ulama manapun sebelum masa Ibn Taimiyah. Rasulullah tidak pernah mengajarkan kepada seseorang yang akan memeluk agama, bahwa di dalam Islam itu ada tiga macam Tauhid dan dia tidak akan menjadi Muslim sebelum bertauhid dengan Tauhid Uluhiyyah. Rasul juga tidak pernah mengisyaratkan hal tersebut meskipun hanya dengan satu kalimat. Bahkan tak seorangpun dari kalangan ulama salaf atau para imam yang menjadi panutan umat mengisyaratkan terhadap pembagian Tauhid tersebut. Hingga akhirnya datang Ibn Taimiyah pada abad ketujuh Hijriah yang menetapkan konsep pembagian Tauhid menjadi tiga.
Menurut Ibn Taimiyah Tauhid itu terbagi menjadi tiga:
Pertama, Tauhid Rububiyyah, yaitu pengakuan bahwa yang menciptakan, memiliki dan mengatur langit dan bumi serta seluruh isinya hanya Allah semata. Menurut Ibn Taimiyah, Tauhid Rububiyyah ini telah diyakini oleh semua orang, baik orang-orang Musyrik maupun orang-orang Mukmin.
Kedua, Tauhid Uluhiyyah, yaitu pelaksanaan ibadah yang hanya ditujukan kepada Allah. Ibn Taimiyah berkata, "Ilah (Tuhan) yang haqq adalah yang berhak untuk disembah. Sedangkan Tauhid adalah beribadah kepada Allah semata tanpa mempersekutukan-Nya".
Ketiga, Tauhid al-Asma' wa al-Shifat, yaitu menetapkan hakikat nama-nama dan sifat-sifat Allah sesuai dengan arti literal atau lafdiyah seperti yang biasa dipahami kebanyakan orang.
Pandangan Ibn Taimiyah yang membagi Tauhid menjadi tiga tersebut kemudian diikuti oleh Muhammad bin Abdul Wahhab, perintis ajaran Wahhabi. Dalam pembagian tersebut, Ibn Taimiyah membatasi makna rabb atau rububiyyah terhadap sifat Tuhan sebagai pencipta, pemilik dan pengatur langit, bumi dan seisinya. Sedangkan makna ilah atau uluhiyyah dibatasi pada sifat Tuhan sebagai yang berhak untuk disembah dan menjadi tujuan dalam beribadah.
Tentu saja, pembagian Tauhid menjadi tiga tadi serta pembatasan makna-maknanya tidak rasional dan bertentangan dengan dalil-dalil al-Qur'an, hadits dan pendapat seluruh ulama Ahlussunnah Wal Jama'ah. Ayat-ayat al-Qur'an, hadits-hadits dan pernyataan para ulama Ahlussunnah Wal Jama'ah, tidak ada yang membedakan antara makna Rabb dan makna Ilah. Bahkan dalil-dalil al-Qur'an dan hadits mengisyaratkan adanya keterkaitan yang sangat erat antara Tauhid Rububiyyah dengan Tauhid Uluhiyyah. Allah SWT berfirman:
وَلاَ يَأْمُرَكُمْ اَنْ تَتَّخِذُوْ المَلاَئِكَةَ وَالنَّبِيِّيْنَ اَرْباَباً
Dan (tidak wajar pula baginya) menyuruhmu menjadikan malaikat dan para nabi sebagai arbab (tuhan-tuhan). (QS. Ali-Imran : 80).
Ayat di atas menegaskan bahwa orang-orang Musyrik mengakui adanya Arbab (tuhan-tuhan) selain Allah seperti Malaikat dan para nabi. Dengan demikian, berarti orang-orang Musyrik tersebut tidak mengakui Tauhid Rububiyyah, dan mematahkan konsep Ibn Taimiyah dan Wahhabi, yang mengatakan bahwa orang-orang Musyrik mengakui Tauhid Rububiyyah.
Konsep Ibn Taimiyah yang mengatakan bahwa orang-orang kafir sebenarnya mengakui Tauhid Rububiyyah, akan semakin fatal apabila kita memperhatikan pengakuan orang-orang dijelaskan dalam al-Qur'an al-Karim :
تاَ اللهِ اِنْ كُناَّ لَفِيْ ضَلاَلٍ مُبِيْنٌ - اِذْ نُسَوِّيْكُمْ بِرَبِّ اْلعَالَمِيْنَ
Demi Allah: sungguh kita dahulu (di dunia) dalam kesesatan yang nyata, karena kita mempersamakan kamu dengan Tuhan (Rabb) semesta alam. (QS. al-Syu'ara' : 97-98
Ayat tersebut menceritakan tentang penyesalan orang-orang kafir di akhirat dan pengakuan mereka yang tidak mengakui Tauhid Rububiyyah, dengan menjadikan berhala-berhala sebagai arbab (tuhan-tuhan).
Selanjutnya pendapat Ibn Taimiyah yang mengkhususkan kata Uluhiyyah terhadap makna ibadah juga bertentangan dengan ayat berikut ini:
يَاصَاحِبَيِ السِّجْنِ أَأَرْبَابٌ مُتَفَرِّقُوْنَ خَيْر ٌاَم ِالله ُالوَاحِدُ الْقَهَّار - مَا تَعْبُدُوْنَ مِنْ دُوْنِهِ اِلاَّ اَسْمَاء ًسَمَّيْتُمُوْهَا اَنْتُمْ وَابَاَؤُكُمْ
Hai kedua penghuni penjara, manakah yang baik, tuhan-tuhan yang bermacam-macam itu ataukah Allah yang Maha Esa lagi Maha Perkasa? Kamu tidak menyembah yang selain Allah kecuali hanya (menyembah) nama-nama yang kamu dan nenek moyangmu membuat-buatnya. (QS. Yusuf : 39-40).
Ayat di atas menjelaskan, bagaimana kedua penghuni penjara itu tidak mengakui Tauhid Rububiyyah dan menyembah tuhan-tuhan (arbab) selain Allah. Di samping itu, ayat berikutnya menghubungkan ibadah dengan Rububiyyah, bukan Uluhiyyah, sehingga menyimpulkan bahwa konotasi makna Rububiyyah itu pada dasarnya sama dengan Uluhiyyah.
Konsep pembagian Tauhid menjadi tiga tersebut akan batal pula, apabila kita mengkaitkannya dengan hadits-hadits Nabi. Misalnya dengan hadits shahih berikut ini:
عَنْ الْبَرَاءِ بْنِ عَازِبٍ عَنْ النَّبِيِّ قَال : يُثَبِّتُ اللهُ الَّذِينَ آمَنُوا بِالْقَوْلِ الثَّابِتِ قَالَ نَزَلَتْ فِي عَذَابِ الْقَبْرِ فَيُقَالُ لَهُ مَنْ رَبُّكَ فَيَقُولُ رَبِّيَ اللهُ َنَبِيِّي مُحَمَّدٌ . (رواه مسلم ٥۱۱٧)
Dari al-Barra' bin Azib, Nabi bersabda, "Allah berfirman, "Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan ucapan yang teguh itu",(QS.Ibrahim :27).
Nabi bersabda, "Ayat ini turun mengenai azab kubur. Orang yang dikubur itu ditanya, "Siapa Rabb (Tuhan)mu?" Lalu dia menjawab, "Allah Rabbku, dan Muhammad Nabiku." (HR. Muslim, 5117).
Hadits di atas memberikan pengertian, bahwa Malaikat Munkar dan Nakir akan bertanya kepada si mayit tentang Rabb, bukan Ilah, karena kedua Malaikat tersebut tidak membedakan antara Rabb dengan Ilah atau antara Tauhid Uluhiyyah dengan Tauhid Rububiyyah. Seandainya pandangan Ibn Taimiyah dan Wahhabi yang membedakan antara Tauhid Rububiyyah dan Tauhid Uluhiyyah itu benar, tentunya kedua Malaikat itu akan bertanya kepada si mayit dengan ungkapan, "Man Ilahuka (Siapa Tuhan Uluhiyyah-mu)?", bukan "Man Rabbuka (Siapa Tuhan Rububiyyah-mu)?" Atau mungkin keduanya akan menanyakan semua, "Man Rabbuka wa man Ilahuka?"
Sekarang apabila pembagian Tauhid menjadi tiga tersebut batil, lalu apa sebenarnya makna yang tersembunyi (hidden meaning) dibalik pembagian Tauhid menjadi tiga tersebut? Apabila diteliti dengan seksama, dibalik pembagian tersebut, setidaknya mempunyai dua tujuan:
Pertama, Ibn Taimiyah berpendapat bahwa praktek-pratek seperti tawassul, tabarruk, ziarah kubur dan lain-lain yang menjadi tradisi dan dianjurkan sejak zaman Nabi adalah termasuk bentuk kesyirikan dan kekufuran. Nah, untuk menjustifikasi pendapat ini, Ibn Taimiyah menggagas pembagian Tauhid menjadi tiga, antara lain Tauhid Rububiyyah dan Tauhid Uluhiy sebenarnya keimanan seseorang itu tidak cukup hanya dengan mengakui Tauhid Rububiyyah, yaitu pengakuan bahwa yang menciptakan, memiliki dan mengatur langit dan bumi serta seisinya adalah Allah semata, karena Tauhid Rububiyyah atau pengakuan semacam ini juga dilakukan oleh orang-orang Musyrik, hanya saja mereka tidak mengakui Tauhid Uluhiyyah, yaitu pelaksanaan ibadah yang hanya ditujukan kepada Allah. Oleh karena itu, keimanan seseorang akan sah apabila disertai Tauhid Uluhiyyah, yaitu pelaksanaan ibadah yang hanya ditujukan kepada Allah.
Kemudian setelah melalui pembagian Tauhid tersebut, untuk mensukseskan pandangan bahwa praktek-praktek seperti tawassul, istighatsah, tabarruk, ziarah kubur dan lain-lain adalah syirik dan kufur, Ibn Taimiyah membuat kesalahan lagi, yaitu mendefinisikan ibadah dalam konteks yang sangat luas, sehingga praktek-praktek seperti tawassul, istighatsah, tabarruk, ziarah kubur dan lain-lain dia kategorikan juga sebagai ibadah secara syar'i. Dari sini Ibn Taimiyah kemudian mengatakan, bahwa orang-orang yang melakukan istighatsah, tawassul dan tabarruk dengan para wali dan nabi itu telah beribadah kepada selain Allah dan melanggar Tauhid Uluhiyyah, sehingga dia divonis syirik.
Tentu saja paradigma Ibn Taimiyah tersebut merupakan kesalahan di atas kesalahan. Pertama, dia mengklasifikasi Tauhid menjadi tiga tanpa ada dasar dari dalil-dalil agama. Dan kedua, dia mendefinisikan ibadah dalam skala yang sangat luas sehingga berakibat fatal, yaitu menilai syirik dan kufur praktek-praktek yang telah diajarkan oleh Rasulullah dan para sahabatnya. Dan secara tidak langsung, pembagian Tauhid menjadi tiga tersebut berarti mengkafirkan Rasulullah, para sahabat dan seluruh kaum Muslimin selain golongannya.
Kedua, berkaitan dengan teks-teks mutasyabihat dalam al-Qur'an dan hadits yang menyangkut nama-nama dan sifat-sifat Allah, Ibn Taimiyah mengikuti aliran Musyabbihah yang mengartikan teks-teks tersebut secara literal (zhahir). Dalam upaya menjustifikasi pandangannya yang cenderung menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya, Ibn Taimiyah menggagas Tauhid al-Asma' wa al-Shifat. Dari sini, dia kemudian mengatakan bahwa kelompok-kelompok yang melakukan ta'wil terhadap teks-teks mutasyabihat dan tidak mengartikannya secara literal, telah terjerumus dalam kebid'ahan dan kesesatan karena melanggar Tauhid al-Asma' wa al-Shifat.
Ikhtitam
Itulah pembagain tauhid menjadi tiga versi Ibn Taimiyyah. Sebenarnya, jika kita memperhatikan kalimat tauhid la ilaha illallah (tiada tuhan selain Allah), sudah mencakup tauhid Uluhiyyah dan Rubbubiyyah. Karena antara keduanya tidak ada bedanya. Jika kalimat tersebut hanya mencakup tauhid Uluhiyyah, karena terdapat kata ilah di dalamnya, niscaya hal ini akan menuntut adanya kalimat lain selain la ilaha illallah sebagai bukti pengakuan atas Rububiyyah Allah!
Walhasil, dari semua penjelasan di atas dapat kita simpulkan jika orang-orang musyrik memang benar mengakui Rububiyyah Allah, maka mereka tidak akan menyembah (ibadah) kepada selain Allah. Dengan demikian, perbuatan orang-orang musyrik yang menyembah selain Allah menunjukkan bahwa mereka tidak meyakini Rububiyyah Allah. Tauhid ini tidak ada dalam hati mereka.
Sumber: TIM LBM PCNU Jember
Dewasa ini berkembang pandangan pembagian tauhid menjadi tiga, yaitu Tauhid Rububiyyah, Tauhid Uluhiyyah dan Tauhid al-Asma' wa al-Shifat. Paradigma pembagian tauhid menjadi tiga tersebut, kini juga masuk ke dalam kurikulum akidah akhlak yang diajarkan di Madrasah Aliyah yang berada di bawah naungan Departemen Agama dan sekolah-sekolah yang terkadang dikelola oleh Nahdlatul Ulama. Oleh karena itu, di sini perlu dipaparkan bagaimana sebenarnya pembagian Tauhid menjadi tiga tersebut.
Pembagian Tauhid menjadi tiga, yaitu Tauhid Rububiyyah, Tauhid Uluhiyyah dan Tauhid al-Asma' wa al-Shifat, belum pernah dikatakan oleh ulama manapun sebelum masa Ibn Taimiyah. Rasulullah tidak pernah mengajarkan kepada seseorang yang akan memeluk agama, bahwa di dalam Islam itu ada tiga macam Tauhid dan dia tidak akan menjadi Muslim sebelum bertauhid dengan Tauhid Uluhiyyah. Rasul juga tidak pernah mengisyaratkan hal tersebut meskipun hanya dengan satu kalimat. Bahkan tak seorangpun dari kalangan ulama salaf atau para imam yang menjadi panutan umat mengisyaratkan terhadap pembagian Tauhid tersebut. Hingga akhirnya datang Ibn Taimiyah pada abad ketujuh Hijriah yang menetapkan konsep pembagian Tauhid menjadi tiga.
Menurut Ibn Taimiyah Tauhid itu terbagi menjadi tiga:
Pertama, Tauhid Rububiyyah, yaitu pengakuan bahwa yang menciptakan, memiliki dan mengatur langit dan bumi serta seluruh isinya hanya Allah semata. Menurut Ibn Taimiyah, Tauhid Rububiyyah ini telah diyakini oleh semua orang, baik orang-orang Musyrik maupun orang-orang Mukmin.
Kedua, Tauhid Uluhiyyah, yaitu pelaksanaan ibadah yang hanya ditujukan kepada Allah. Ibn Taimiyah berkata, "Ilah (Tuhan) yang haqq adalah yang berhak untuk disembah. Sedangkan Tauhid adalah beribadah kepada Allah semata tanpa mempersekutukan-Nya".
Ketiga, Tauhid al-Asma' wa al-Shifat, yaitu menetapkan hakikat nama-nama dan sifat-sifat Allah sesuai dengan arti literal atau lafdiyah seperti yang biasa dipahami kebanyakan orang.
Pandangan Ibn Taimiyah yang membagi Tauhid menjadi tiga tersebut kemudian diikuti oleh Muhammad bin Abdul Wahhab, perintis ajaran Wahhabi. Dalam pembagian tersebut, Ibn Taimiyah membatasi makna rabb atau rububiyyah terhadap sifat Tuhan sebagai pencipta, pemilik dan pengatur langit, bumi dan seisinya. Sedangkan makna ilah atau uluhiyyah dibatasi pada sifat Tuhan sebagai yang berhak untuk disembah dan menjadi tujuan dalam beribadah.
Tentu saja, pembagian Tauhid menjadi tiga tadi serta pembatasan makna-maknanya tidak rasional dan bertentangan dengan dalil-dalil al-Qur'an, hadits dan pendapat seluruh ulama Ahlussunnah Wal Jama'ah. Ayat-ayat al-Qur'an, hadits-hadits dan pernyataan para ulama Ahlussunnah Wal Jama'ah, tidak ada yang membedakan antara makna Rabb dan makna Ilah. Bahkan dalil-dalil al-Qur'an dan hadits mengisyaratkan adanya keterkaitan yang sangat erat antara Tauhid Rububiyyah dengan Tauhid Uluhiyyah. Allah SWT berfirman:
وَلاَ يَأْمُرَكُمْ اَنْ تَتَّخِذُوْ المَلاَئِكَةَ وَالنَّبِيِّيْنَ اَرْباَباً
Dan (tidak wajar pula baginya) menyuruhmu menjadikan malaikat dan para nabi sebagai arbab (tuhan-tuhan). (QS. Ali-Imran : 80).
Ayat di atas menegaskan bahwa orang-orang Musyrik mengakui adanya Arbab (tuhan-tuhan) selain Allah seperti Malaikat dan para nabi. Dengan demikian, berarti orang-orang Musyrik tersebut tidak mengakui Tauhid Rububiyyah, dan mematahkan konsep Ibn Taimiyah dan Wahhabi, yang mengatakan bahwa orang-orang Musyrik mengakui Tauhid Rububiyyah.
Konsep Ibn Taimiyah yang mengatakan bahwa orang-orang kafir sebenarnya mengakui Tauhid Rububiyyah, akan semakin fatal apabila kita memperhatikan pengakuan orang-orang dijelaskan dalam al-Qur'an al-Karim :
تاَ اللهِ اِنْ كُناَّ لَفِيْ ضَلاَلٍ مُبِيْنٌ - اِذْ نُسَوِّيْكُمْ بِرَبِّ اْلعَالَمِيْنَ
Demi Allah: sungguh kita dahulu (di dunia) dalam kesesatan yang nyata, karena kita mempersamakan kamu dengan Tuhan (Rabb) semesta alam. (QS. al-Syu'ara' : 97-98
Ayat tersebut menceritakan tentang penyesalan orang-orang kafir di akhirat dan pengakuan mereka yang tidak mengakui Tauhid Rububiyyah, dengan menjadikan berhala-berhala sebagai arbab (tuhan-tuhan).
Selanjutnya pendapat Ibn Taimiyah yang mengkhususkan kata Uluhiyyah terhadap makna ibadah juga bertentangan dengan ayat berikut ini:
يَاصَاحِبَيِ السِّجْنِ أَأَرْبَابٌ مُتَفَرِّقُوْنَ خَيْر ٌاَم ِالله ُالوَاحِدُ الْقَهَّار - مَا تَعْبُدُوْنَ مِنْ دُوْنِهِ اِلاَّ اَسْمَاء ًسَمَّيْتُمُوْهَا اَنْتُمْ وَابَاَؤُكُمْ
Hai kedua penghuni penjara, manakah yang baik, tuhan-tuhan yang bermacam-macam itu ataukah Allah yang Maha Esa lagi Maha Perkasa? Kamu tidak menyembah yang selain Allah kecuali hanya (menyembah) nama-nama yang kamu dan nenek moyangmu membuat-buatnya. (QS. Yusuf : 39-40).
Ayat di atas menjelaskan, bagaimana kedua penghuni penjara itu tidak mengakui Tauhid Rububiyyah dan menyembah tuhan-tuhan (arbab) selain Allah. Di samping itu, ayat berikutnya menghubungkan ibadah dengan Rububiyyah, bukan Uluhiyyah, sehingga menyimpulkan bahwa konotasi makna Rububiyyah itu pada dasarnya sama dengan Uluhiyyah.
Konsep pembagian Tauhid menjadi tiga tersebut akan batal pula, apabila kita mengkaitkannya dengan hadits-hadits Nabi. Misalnya dengan hadits shahih berikut ini:
عَنْ الْبَرَاءِ بْنِ عَازِبٍ عَنْ النَّبِيِّ قَال : يُثَبِّتُ اللهُ الَّذِينَ آمَنُوا بِالْقَوْلِ الثَّابِتِ قَالَ نَزَلَتْ فِي عَذَابِ الْقَبْرِ فَيُقَالُ لَهُ مَنْ رَبُّكَ فَيَقُولُ رَبِّيَ اللهُ َنَبِيِّي مُحَمَّدٌ . (رواه مسلم ٥۱۱٧)
Dari al-Barra' bin Azib, Nabi bersabda, "Allah berfirman, "Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan ucapan yang teguh itu",(QS.Ibrahim :27).
Nabi bersabda, "Ayat ini turun mengenai azab kubur. Orang yang dikubur itu ditanya, "Siapa Rabb (Tuhan)mu?" Lalu dia menjawab, "Allah Rabbku, dan Muhammad Nabiku." (HR. Muslim, 5117).
Hadits di atas memberikan pengertian, bahwa Malaikat Munkar dan Nakir akan bertanya kepada si mayit tentang Rabb, bukan Ilah, karena kedua Malaikat tersebut tidak membedakan antara Rabb dengan Ilah atau antara Tauhid Uluhiyyah dengan Tauhid Rububiyyah. Seandainya pandangan Ibn Taimiyah dan Wahhabi yang membedakan antara Tauhid Rububiyyah dan Tauhid Uluhiyyah itu benar, tentunya kedua Malaikat itu akan bertanya kepada si mayit dengan ungkapan, "Man Ilahuka (Siapa Tuhan Uluhiyyah-mu)?", bukan "Man Rabbuka (Siapa Tuhan Rububiyyah-mu)?" Atau mungkin keduanya akan menanyakan semua, "Man Rabbuka wa man Ilahuka?"
Sekarang apabila pembagian Tauhid menjadi tiga tersebut batil, lalu apa sebenarnya makna yang tersembunyi (hidden meaning) dibalik pembagian Tauhid menjadi tiga tersebut? Apabila diteliti dengan seksama, dibalik pembagian tersebut, setidaknya mempunyai dua tujuan:
Pertama, Ibn Taimiyah berpendapat bahwa praktek-pratek seperti tawassul, tabarruk, ziarah kubur dan lain-lain yang menjadi tradisi dan dianjurkan sejak zaman Nabi adalah termasuk bentuk kesyirikan dan kekufuran. Nah, untuk menjustifikasi pendapat ini, Ibn Taimiyah menggagas pembagian Tauhid menjadi tiga, antara lain Tauhid Rububiyyah dan Tauhid Uluhiy sebenarnya keimanan seseorang itu tidak cukup hanya dengan mengakui Tauhid Rububiyyah, yaitu pengakuan bahwa yang menciptakan, memiliki dan mengatur langit dan bumi serta seisinya adalah Allah semata, karena Tauhid Rububiyyah atau pengakuan semacam ini juga dilakukan oleh orang-orang Musyrik, hanya saja mereka tidak mengakui Tauhid Uluhiyyah, yaitu pelaksanaan ibadah yang hanya ditujukan kepada Allah. Oleh karena itu, keimanan seseorang akan sah apabila disertai Tauhid Uluhiyyah, yaitu pelaksanaan ibadah yang hanya ditujukan kepada Allah.
Kemudian setelah melalui pembagian Tauhid tersebut, untuk mensukseskan pandangan bahwa praktek-praktek seperti tawassul, istighatsah, tabarruk, ziarah kubur dan lain-lain adalah syirik dan kufur, Ibn Taimiyah membuat kesalahan lagi, yaitu mendefinisikan ibadah dalam konteks yang sangat luas, sehingga praktek-praktek seperti tawassul, istighatsah, tabarruk, ziarah kubur dan lain-lain dia kategorikan juga sebagai ibadah secara syar'i. Dari sini Ibn Taimiyah kemudian mengatakan, bahwa orang-orang yang melakukan istighatsah, tawassul dan tabarruk dengan para wali dan nabi itu telah beribadah kepada selain Allah dan melanggar Tauhid Uluhiyyah, sehingga dia divonis syirik.
Tentu saja paradigma Ibn Taimiyah tersebut merupakan kesalahan di atas kesalahan. Pertama, dia mengklasifikasi Tauhid menjadi tiga tanpa ada dasar dari dalil-dalil agama. Dan kedua, dia mendefinisikan ibadah dalam skala yang sangat luas sehingga berakibat fatal, yaitu menilai syirik dan kufur praktek-praktek yang telah diajarkan oleh Rasulullah dan para sahabatnya. Dan secara tidak langsung, pembagian Tauhid menjadi tiga tersebut berarti mengkafirkan Rasulullah, para sahabat dan seluruh kaum Muslimin selain golongannya.
Kedua, berkaitan dengan teks-teks mutasyabihat dalam al-Qur'an dan hadits yang menyangkut nama-nama dan sifat-sifat Allah, Ibn Taimiyah mengikuti aliran Musyabbihah yang mengartikan teks-teks tersebut secara literal (zhahir). Dalam upaya menjustifikasi pandangannya yang cenderung menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya, Ibn Taimiyah menggagas Tauhid al-Asma' wa al-Shifat. Dari sini, dia kemudian mengatakan bahwa kelompok-kelompok yang melakukan ta'wil terhadap teks-teks mutasyabihat dan tidak mengartikannya secara literal, telah terjerumus dalam kebid'ahan dan kesesatan karena melanggar Tauhid al-Asma' wa al-Shifat.
Ikhtitam
Itulah pembagain tauhid menjadi tiga versi Ibn Taimiyyah. Sebenarnya, jika kita memperhatikan kalimat tauhid la ilaha illallah (tiada tuhan selain Allah), sudah mencakup tauhid Uluhiyyah dan Rubbubiyyah. Karena antara keduanya tidak ada bedanya. Jika kalimat tersebut hanya mencakup tauhid Uluhiyyah, karena terdapat kata ilah di dalamnya, niscaya hal ini akan menuntut adanya kalimat lain selain la ilaha illallah sebagai bukti pengakuan atas Rububiyyah Allah!
Walhasil, dari semua penjelasan di atas dapat kita simpulkan jika orang-orang musyrik memang benar mengakui Rububiyyah Allah, maka mereka tidak akan menyembah (ibadah) kepada selain Allah. Dengan demikian, perbuatan orang-orang musyrik yang menyembah selain Allah menunjukkan bahwa mereka tidak meyakini Rububiyyah Allah. Tauhid ini tidak ada dalam hati mereka.
Sumber: TIM LBM PCNU Jember