Factoring (Anjak Piutang) dalam Hukum Islam
Factoring (Anjak Piutang) dalam Hukum Islam Dalam dunia bisnis, bagi pelaku bisnis selalu ingin memperlancar barang produksinya, sehingga dapat meningkatkan keuntungan dan mempercepat perputaran modal, yang pada gilirannya akan mendorong pertumbuhan ekonomi. Upaya pengembangan dan peningkatan keuntungan bagi perusahaan yang bergerak dibidang penjualan secara kredit diperlukan dana segar yang diperoleh dari Lembaga factoring (Anjak piutang).
FACTORING (ANJAK PIUTANG) PERSPEKTIF HUKUM ISLAM
(PENDEKATAN TEORI HIWALAH DALAM HUKUM MUAMALAT)
Abstrak
Dalam dunia bisnis, bagi pelaku bisnis selalu ingin memperlancar barang produksinya, sehingga dapat meningkatkan keuntungan dan mempercepat perputaran modal, yang pada gilirannya akan mendorong pertumbuhan ekonomi. Upaya pengembangan dan peningkatan keuntungan bagi perusahaan yang bergerak dibidang penjualan secara kredit diperlukan dana segar yang diperoleh dari Lembaga factoring (Anjak piutang).
Dalam tulisan ini, penulis merasa perlu untuk mengkaji model bisnis factoring ini ditinjau dari hukum muamalat dengan menggunakan pendekatan teori hiwalah. Dengan pendekatan teori hiwalah ini, apakah model bisnis factoring ini sesuai dengan teori hiwalah dalam hukum muamalat atau tidak.
Berdasarkan hasil kajian pustaka, disimpulkan bahwa Subtansi bisnis model factoring, dilihat dari hukum muamalat dapat disamakan dengan subtansi akad hiwalah al-muqyyadah, artinya pengalihan pihutang pihak klien (muhal) yang terdapat pada customer (muhil) kepada pihak factor sebagai ganti dari pembayaran kewajiban membayar hutang dari customer kepada klien. Sisi lain, bisnis model factoring berbeda dengan al-hiwalah al-muqayyadah, yaitu (1) dalam factoring antara customer dengan factor sebelumnya tidak ada hubungan hukum, sedangkan dalam al-hiwalah al-muqayyadah, antara muhil (customer) dengan factor (muhal ‘alaih) terdapat hubungan hukum yaitu terjadi akad hutang pihutang. (2) Jumlah nominal pihutang yang dialihkan oleh klien kepada factor tidak sama dengan jumlah nominal pihutang sebelum dialihkan ( pihutang klien yang ada pada customer). Ketentuan ini bertentangan dengan syarat al-Hiwalah al-Muqayyadah, bahwa baik hutang pihak muhil kepada pihak muhal, maupun hutang pihak muhal ‘alaih kepada pihak muhil, mestilah sama jumlah dan kualitasnya.
Kata Kunci : factoring, hiwalah, hukum muamalat
Pendahuluan
Dalam dunia bisnis, bagi pelaku bisnis maupun perusahaan selalu ingin memperlancar barang produksinya, sehingga dapat meningkatkan keuntungan dan mempercepat perputaran modal, yang pada gilirannya akan mendorong pertumbuhan ekonomi itu sendiri. Cara untuk mengembangkan dan meningkatkan tingkat keuntungan, bagi perusahaan pada umumnya maupun perusahaan yang melakukan penjualan secara kredit, diperlukan dana segar (cash flow) melalui lembaga pembiayaan yang bergerak dibidang Factoring (Anjak Piutang).
Factoring yang dikenal dewasa ini pertama kali tumbuh di Amerika tahun 1889, yang akhirnya dikenal di indonesia pada akhir tahun 1988 sejak berlakunya Kepurusan Presiden Nomo 61 Tahun 1988 tanggal 27 Desember 1988.[1] Factoring atau Anjak Piutang menurut Keputusan Presiden Nomor 61 Tahun 1988 adalah pembiayaan dalam bentuk dan/atau pengalihan serta pengurusan piutang atau tagihan jangka pendek suatu perusahaan dari transaksi perdagangn dalam dan luar negeri.
Keputusan Menteri Keuangan Nomor 1251/KMK.013/1988 juncto Surat Keputusan Menteri Keuangan Nomor 468/KMK.017/1995 menentukan bahwa kegiatan factoring terdiri dari :
1. Pembelian atau pengalihan piutang atau tagihan jangka pendek yang terbit dari transaksi perdagangan dalam dan luar negeri.
2. Penatausahaan penjualan kredit serta penagihan piutang perusahaan.
Berdasarkan difinisi diatas, maka dapat disimpulkan bahwa dalam kegiatan factoring ada tiga pihak yang terlibat, yaitu (1) perusahaan factoring atau disebut dengan factor sebagai badan usaha yang melakukan kegiatan pembiayaan dalam bentuk pembelian dan/atau pengalihan serta pengurusan piutang atau tagihan jangka pendek dari suatu perusahaan. (2) perusahaan penjual piutang atau disebut Klien (client), atau lebih jelas lagi adalah perusahaan yang menjual atau mengalihkan piutang atau tagihannya kepada factor. (3) Nasabah (customer), sebagai pihak yang berutang (debitur) kepada klien, dan piutang tersebut oleh klien dijual atau dialihkan kepada factoring.[2]
Fungsi dan Manfaat Factoring
Factoring paling tidak mempunyai dua fungsi sebagai berikut :
1. Factoring berkaitan dengan masalah piutang klien. Dalam hal ini, factor berfungsi menangani masalah atau mengambil alih piutang tersebut, dan menagih pembayarannya pada debitur setelah piutang jatuh tempo.
2. Factor bertanggung jawab atas piutang klien dan membebaskan klien dari risiko kerungian.[3]
Manfaat Factoring dapat dijelaskan sebagai berikut, antara lain (1) pembayaran piutang lebih cepat dari jatuh tempo ; (2) menambah dana segar perusahaan ; (3) dapat membantu peningkatan keuntungan atau laba ; (4) merupakan sarana peralihan risiko tagian yang tidak bisa dicairkan.[4]
Mekanisme Aplikasi Factoring (Anjak Piutang)
Mekanisme factoring atau anjak piutang yang dimaksudkan adalah proses atau tata cara penawaran piutang sampai dengan beralihnya piutang tersebut dengan pelunasannya. Mekanisme tersebut, jika dibuat dalam bentuk bagan akan tergambar sebagai berikut [5]
Bagan atau skema diatas dapat dijelaskan sebagai beriut : (1) Penjual (klien) menjual barang kepada pembeli (customer) secara kredit dengan jangka waktu pendek. (2) untuk kepentingan dana segar (cash flow), penjual (klien) meminta persetujuan kepada pembeli (customer) untuk menjual piutang tersebut kepada perusahaan lembaga pembiayaan (yang dalam hal ini perusahaan factoring) yang disebut dengan factor. (3) Pembeli (customer) menyetujui perpindahan hak menagih dari penjual (klien) kepada factor. (4) Data mengenai piutang yang berasal dari jual beli tersebut oleh penjual (klien) diteruskan atau dipindahkan kepada factor. (5) Atas dasar itu, maka dibuatlah perjanjian factoring antara penjual (klien) dan factor. (6) Factor membayar kepada klien penjualan piutangnya diskonto tertentu. (7) Pembeli (customer) setelah waktu jatuh temponya perjanjian jual beli kredit membaryar utangnya kepada factor.
Macam-Macam Factoring
Factoring dapat dibedakan dalam berbagai bentuk, yang dapat dilihat dari beberapa segi, yaitu sebagai berikut :
1. Segi pemberitahuan kepada pihak customer, factoring dapat dibagi dalam bentuk : (a) Disclosed Factoring, yaitu customer diberitahu bahwa tagihan telah dialihkan kepada lembaga factoring dan pembayaran dilakukan langsung kepada lembaga faktoring tersebut. (b) Undisclosed Factoring, yaitu pihak customer tidak diberi tahu tentang telah dialihnya piutang sampai terjadi sesuatu yang dapat menimbulkan risiko kepada factor.[6]
2. Segi keterlibatan klien, factoring dapat dibagi dalam bentuk : (a) Resource Factoring, yaitu pihak klien ikut serta serta memikul risiko yang mungkin timbul atas tagihan yang dialihkannya. Factoring dapat saja mengembalikan tagihan yang telah dijual itu kepada klien, dan ini harus dituangkan dalam kontrak factoring. Dengan jenis resource factoring ini, pihak factoring diberikan hak opsi untuk menjual kembali piutang tersebut kepada klien. [7] (b) Non Resource atau without Resource factoring, jenis ini membebankan semua tagihan beserta risiko terhadap tagihan yang tidak terbayar kepada perusahaan factoring. Namun perjanjian factoring dapat dicantumkan bahwa di luar keadaan macetnya tagihan tersebut dapat diperlakukan resource, untuk menghindari tagihan yang tidak terbayar jarena pihak klien ternyata mengirimkan barang-barang yang cacat atau rendah mutunya. Hal ini, factor dapat menual kembali tagihan tersebut kepada klien.[8]
3. Segi jumlah utang yang dialihkan, factoring dapat dibedakan menjadi : (a) Facultativ Factoring, yaitu dalam perjanjian factoring, pihak factoring diberikan hak opsi untuk menentukan, apakah piutang diterima dengan kontrak factoring atau tidak. Sebelum piutang itu dinyatakan diterima, klien bebas menjual piutangnya kepada pihak lain. (b) Whole Turn Over Factoring, perjanjian factoring dilakukan atas seluruh turn over dari perusahaan klien, atas piutang yang ada atau yang akan datang. Hal ini, menghindari klien untuk menjual piutangnya kepada pihak lain.[9]
Teori Hiwalah dalam Hukum Muamalat
1. Pengertian Hiwalah
Hiwalah atau hawalah berasal dari perkataan (at-Tahwiilu) yang berarti perpindahan, pengalihan, perubahan warna kulit, memikul sesuatu diatas pundak.[10] Secara terminologi, hawalah adalah pemindahan beban utang dari Muhil ( orang yang berutang) kepada muhal alaih atau orang yang berkewajiban membayar hutang.[11]. Sayid Sabiq mendifinisikan hiwalah adalah memindahkan hutang darti penghutang (Muhil) kepada orang lain (Muhal alaih) untuk dibayarkan kepada pemberi hutang (Muhal).[12]. Jumhur Ulama Fiqh mendifinisikannya dengan akad yang menghendaki pengalihan hutang dari tanggung jawab seseorang kepada tanggung jawab orang lain.[13] Ahmad Ifham Solihin memberikan penjelasan bahwa kadang-kadang seseorang tidak dapat membayar hutang-hutangnya secara langsung. Maka, orang tersebut boleh memindahkan penagihannya kepada pihak lain, yaitu akad pengalihan hutang dari satu pihak yang berhutang kepada pihak lain yang wajib menanggung (membayar)-nya.[14]
Difinisi-difinisi hawalah yang dikemukakan diatas, secara subtansi sama, meskipun secara redaksionalnya berbeda, yang pada intinya hawalah adalah akad memindahkan tanggung jawab membayar hutang dari orang yang berhutang (muhil) kepada orang lain (Muhal alaih) untuk membayar hutangnya kepada orang yang menghutanginya (Muhal).
2. Hukum Hiwalah dan Macam-Macamnya
Hukum Hiwalah dibolehkan berdasarkan hadits dari Abu Hurairah RA Riwayat Bukhori Muslim bahwa Nabi saw bersabda : “Menunda pembayaran bagi orang yang mampu adalah suatu kedhaliman, dan jika salah seorang dari kamu di-hiwalah-kan kepada yang mampu, terimalah hiwalah itu”.
Penjelasan hadits tersebut, jika orang yang berutang memindahkan orang lain (orang yang mampu) hendaklah ia menerima hiwalah (pelimpahan) itu dan hendaklah ia menagih kepada orang yang yang di-hiwalah-kan.
Kebolehan hiwalah, disamping berdasarkan hadits Bukhori Muslim, juga didasarkan pada Ijma, Ulama Sepakat membolehkan hiwalah. Hiwalah dibolehkan pada hutang yang tidak berbentuk barang atau benda karena hiwalah adalah perpindahan hutang. Oleh sebab itu, hiwalah obyeknya haruslah berupa uang atau kewajiban finansial.[15]
Hiwalah terbagi dua macam : (1) apabila yang dipindahkan itu merupakan hak menuntut hutang, maka pemindahan itu disebut hiwalah al-haqq (pemindahan hak). (2) jika yang dipindahkan itu kewajiban untuk membayar hutang, maka pemindahan itu disebut hiwalah ad-dain (pemindahan hutang). Sisi lain, Hiwalah terbagi dua, yaitu pemindahan sebagai ganti dari pembayaran hutang pihak pertama kepada pihak kedua yang disebut al-Hiwalah al-Muqayyadah (Pemindahan Bersyarat) dan pemindahan hutang yang tidak ditegaskan sebagai ganti dari pembayaran hutang pihak pertama kepada pihak kedua yang disebut al-Hiwalah al-Mutlaqah (Pemindahan Mutlak).[16]
Contoh al-Hiwalah al-Muqayyadah : Ahmad memberi pinjaman/berpihutang kepada Hasan sebesar satu juta rupiah, sedangkan Hasan mempunyai piutang kepada Ridho juga sebasar satu juta. Hasan memindahkan atau mengalihkan haknya untuk menuntut piutangnya yang terdapat pada Ridho kepada Ahmad sebagai ganti dari pembayaran hutang Hasan kepada Ahmad. Al-Hiwalah al-Muqayyadah, pada sisi lain menjadi hiwalah al-haqq, karena Hasan mengalihkan hak menuntut piutangnya dari Ridho kepada Ahmad. Disisi lain, sekaligus menjadi Hiwalah ad-dain, karena Hasan mengalihkan kewajibannya membayar hutang kepada Ridho dan Ridholah yang berkewajiban membayar hutang Hasan kepada Ahmad.[17]
Contoh al-Hiwalah al-Mutlaqah : Basuki berhutang kepada Mustofa sebesar satu juta rupiah. Burhan berhutang kepada Basuki juga sebesar satu juta rupiah. Basuki mengalihkan hutangnya kepada Burhan sehingga Burhan berkewajiban membayar hutang Basuki kepada Mustofa, tanpa menyebutkan bahwa pemindahan hutang itu sebagai ganti dari pembayaran hutang Burhan kepada Basuki. Al-Hawalah al-Mutlaqah hanya menjadi hawalah ad-dain, karena yang dipindahkan hanya hutang Basuki kepada Mustofa menjadi hutang Burhan kepada Mustofa. [18]
3. Syarat-Syarat Hiwalah
Hiwalah dapat dipandang sah, jika terpenuhi beberapa syarat, yaitu : (1) Para pihak yang terlibat dalam Hiwalah (Muhil, Muhaldan Muhal ‘alih) memiliki kecakapan melakukan tindakan hukum (baligh, berakal dan rusyd[19]) (2) hutang pihutang yang akan dialihkan harus jelas jumlahnya. (3) ada bukti-bukti hutang pihutang antara muhil (yang berhutang) dan muhal (yang menghutangi) atau hutang pihutang itu dipastikan sudah terjadi. (4) pengalihan hutang – pihutang disepakati oleh pihak-pihak yang terlibat ( Muhil, Muhal dan Muhal Alaih).[20] (5) Harus ada kesamaan antara jenis maupun kadarnya, waktu jatuh tempo pembayarannya.[21] Jika pengalihan hutang itu dalam bentuk al-Hiwalah al-Muqayyadah, semua ulama fiqh sepakat bahwa baik hutang pihak pertama (muhil) kepada pihak kedua (muhal) maupun hutang pihak ketiga (muhal alaih) kepada pihak pertam (muhil), mestilah sama jumlah dan kualitasnya. Jika pengalihan hutang itu berbentuk al-Hiwalah al-Mutlaqah, menurut madzhab Hanafi, maka kedua hutang itu tidak harus sama, baik jumlah maupun kualitasnya.[22]
Akibat Hukum Hiwalah
Akibat hukum setelah terjadi akad hiwalah adalah sebagai berikut : (1) Jumhur ulama menetapkan bahwa kewajiban pihak pertama untuk membayar hutang kepada pihak kedua secara otomatis menjadi terlepas, atau dipandang telah selesai. Madzhab Hanafi berpendapat bahwa kewajiban pihak pertama masih ada, slama pihak ketiga melunasi hutangnya kepada pihak kedua. Hal ini karena dipandang akad hiwalah adalah akad yang didasari saling percaya, buka semata-mata pengalihan hak dan kewajiban. (2) Akad hiwalah mengakibatkan pihak kedua untuk menuntut pembayaran hutang kepada pihak ketiga. (3) Bagi Madzhab Hanafi, jika jumlah hutang pihutang antara ketiga pihak tidak sama, maka hak dan kewajiban antara pihak pertama dan pihak ketiga masih tetap berlaku.[23]
Analisa Hukum Islam Terhadap Factoring
Berdasarkan mekanisme aplikasi factoring yang telah dipaparkan di muka, dapat dikatakan bahwa factoring secara yuridis formal adalah sistem bisnis yang memadukan antara transaksi jual beli kredit dengan jual beli pihutang. Dikatakan jual beli kredit, ketika penjual barang (klien) menjual barang kepada pembeli (customer) dalam jangka waktu tertentu. Dikatakan jual beli pihutang, ketika penjual barang (Klien) menjual pihutangnya yang terdapat pada customer kepada lembaga pembiayaan factoring (Factor). Bila dicermati, model bisnis factoring ini, secara subtansi merupakan pengalihan pihutang dari klien (penjual barang) mengalihkan pihutangnya yang ada pada customer kepada factor (lembaga factoring), maka akibat hukum yang terjadi, hubungan hukum antara pihak klien dengan customer dengan klien dipandang tidak ada, karena hubungan hukum tersebut berpindah atau dialihkan kepada pihak factor dengan customer.
Berpihak dari analisa tersebut, maka model bisnis factoring, dilihat bingkainya merupakan transaksi jual beli, tetapi dilihat subtansinya adalah transaksi hutang pihutang yang disertai pengalihan tuntutan hak penagihan pembayaran hutang dari pihak klien kepada pihak factor yang berakibat tanggung jawab membayar hutang dari pihak customer yang sebelumnya kepada klien akhirnya berpindah kepada pihak factor. Dengan kata lain, dalam factoring, yang dipindahkan adalah tuntutan hak penagihan pembayaran hutang dari pihak klien kepada pihak factor dengan cara menjual pihutang klien yang ada pada customer kepada pihak faktor sebagai ganti pembayaran hutang customer kepada klien. Jika dihubungkan dengan akad hiwalah dalam hukum muamalat, dilihat dari segi pengalihan tuntutan hak penagihan pembayaran hutang, senada dengan al-hiwalah muqayyadah karena pengalihan pihutang klien yang ada pada costomer itu sebagai ganti pembayaran customer kepada klien, atau dapat disebut hiwalah al-haqq karena yang dipindahkan adalah hak penagihan hutang, tetapi disisi lain terdapat perbedaan antara keduanya, dalam factoring antara customer dengan factor sebelumnya tidak ada hubungan hukum, artinya pihak customer tidak punya pihutang dengan pihak factor. Berbeda dalam akad hiwalah al-muqayyadah, hubungan antara muhil (dalam fatoring disebut customer) dengan pihak ketiga (muhal ‘alaih) yang dalam factoring disebut factor sebelumnya ada hubungan hukum, artinya pihak muhil ( dalam factoring “customer”) punya pihutang dengan muhal ‘alaih ( dalam factoring “factor”). Ini berarti dalam model bisnis factoring, dilihat dari sudut hukum muamalat, dalam hal pengalihan pihutang pihak klien kepada factor dapat disamakan dengan al-hiwalah al-muqayyadah. Tetapi dilihar dari sisi lain, artinya pihak customer harus membayar harga barang dalam jangka tertentu kepada pihak factor dapat disamakan dengan akad al-bay’ al-taqshit (jual beli kredit yang cara pembayarannya tidak cash tetapi dengan tempo) atau dapat juga disamakan dengan jual beli murabahah, hanya berbeda dalam hal harga pokok barang dan tingkat keuntungan, dalam model bisnis factoring tidak disebutkan secara terbuka kepada pihak customer, sedang dalam jual beli murabahah harga pokok barang dan tingkat keuntungan dijelaskan atau disepakati oleh pihak pembeli ( dalam factoring “customer”).
Berdasarkan mekanisme aplikasi factoring dan jenis discloced factoring, terdapat ketentuan-ketentuan sebagai syarat factoring yaitu :
1. Ada persetujuan pengalihan pihutang klien yang ada pada customer kepada pihak factor, dalam factoring ada bukti perjanjian factoring antara penjual (klien) dan factor, hal ini sesuai dengan syarat hiwalah yaitu pengalihan hutang – pihutang disepakati oleh pihak-pihak yang terlibat ( Muhil, Muhal dan Muhal Alaih) dan ada bukti-bukti hutang pihutang antara muhil (yang berhutang) dan muhal (yang menghutangi) atau hutang pihutang itu dipastikan sudah terjadi.
2. Factor membayar kepada klien penjualan piutangnya diskont tertentu. Ini berarti, jumlah hutang pihutang pihak customer dengan klien akan berbeda dengan jumlah harga pihutang yang dialihkan oleh klien kepada factor. Syarat ini yang tidak sesuai dengan syarat akad hiwalah, yaitu harus ada kesamaan antara jenis maupun kadarnya, waktu jatuh tempo pembayarannya. Jika pengalihan hutang pihutang itu dalam bentuk al-Hiwalah al-Muqayyadah, semua ulama fiqh sepakat bahwa baik hutang pihak pertama (muhil) kepada pihak kedua (muhal), maupun hutang pihak ketiga (muhal ‘alaih) kepada pihak pertama (muhil), mestilah sama jumlah dan kualitasnya.
Kesimpulan
Berdasarkan uraian-uraian di atas, dapatlah diambil kesimpulan bahwa :
Subtansi bisnis model factoring, dilihat dari hukum muamalat dapat disamakan dengan subtansi akad hiwalah al-muqyyadah, artinya pengalihan pihutang pihak klien (muhal) yang terdapat pada customer (muhil) kepada pihak factor sebagai ganti dari pembayaran kewajiban membayar hutang dari customer kepada klien. Dilihat dari sisi lain, bisnis model factoring berbeda dengan al-hiwalah al-muqayyadah, yaitu (1) dalam factoring antara customer dengan factor sebelumnya tidak ada hubungan hukum, sedangkan dalam al-hiwalah al-muqayyadah, antara muhil (customer) dengan factor (muhal ‘alaih) terdapat hubungan hukum yaitu terjadi akad hutang pihutang. (2) Jumlah nominal pihutang yang dialihkan oleh klien kepada factor tidak sama dengan jumlah nominal pihutang sebelum dialihkan ( pihutang klien yang ada pada customer). Ketentuan ini bertentangan dengan ketentuan dalam akad hiwalah, yaitu syarat al-Hiwalah al-Muqayyadah, bahwa baik hutang pihak muhil kepada pihak muhal, maupun hutang pihak muhal ‘alaih kepada pihak muhil, mestilah sama jumlah dan kualitasnya.
Daftar Pustaka
Antonio, Muhammad Syafi’i, 2001, Bank Syari’ah dari teori ke Praktek, Jakarta : Gema Insani.
Anwar, Syamsul , 2007, Hukum Perjanjian Syari’ah Studi tentang Teori Akad dalam Fikih Muamalat, Jakarta : PT RajaGrafinda Persada.
Asyhadie, Zaeni, 2005, Hukum Bisnis Prinsip dan Pelaksnaannya di Indonesia, Jakarta : PT RajaGrafindo Persada.
Fuad, Munir, 1995, Hukum Bisnis dalam Teori dan Praktek, Bandung : Citra Aditya Bakti.
Haroen, Nasrun, 2000, Fiqh Muamalah, Jakarta : Gaya Media Pratama.
Iska, Sukri, 2012, Sistem Perbankan Syari’ah di Indonesia dalam Perspektif Fikih Ekonomi, Yogyakarta : Fajar Media Press.
Sabiq,Sayid, 1987, Fikih Sunnah, alih bahasa Kamaluddin A. Marzuki, Bandung : al-Ma’arif.
Solihin, Ahmad Ifham, 2008, Ini Lho, Bank Syari’ah, Jakarta : PT Grafindo Media Pratama.
az-Zuhaili, Wahbah, 1989, al-Fiqhu al-Islami wa Adullatuhu, Beirut : darul Fikr, JUZ VI.
[1] Zaeni Asyhadie, 2005, Hukum Bisnis Prinsip dan Pelaksnaannya di Indonesia, Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, hal.108.
[2] Munir Fuadi, 1995, Hukum Bisnis dalam Teori dan Praktek, Bandung : Citra Aditya Bakti, hal. 87.
[3] Zaeni Asyhadie, 2005, Op. Cit., hal. 110
[4] Ibid., hal. 111.
[5] Ibid., hal.112
[6] Ibid., hal. 114
[7] Munir Fuady, 1995, Op. Cit., hal. 110.
[8] Zaeni Asyhadie, 2005, Op.Cit., hal. 115,
[9] Ibid.
[10] Sukri Iska, 2012, Sistem Perbankan Syari’ah di Indonesia dalam Perspektif Fikih Ekonomi, Yogyakarta : Fajar Media Press, hal. 188. Lihat Nasrun Haroen, 2000, Fiqh Muamalah, Jakarta : Gaya Media Pratama, hal. 221.
[11] Muhammad Syafi’i Antonio, 2001, Bank Syari’ah dari teori ke Praktek, Jakarta : Gema Insani, hal. 126.
[12] Sayid Sabiq, 1987, Fikih Sunnah, alih bahasa Kamaluddin A. Marzuki, Bandung : al-Ma’arif, hal. 42.
[13] Asy-Syarbaini al-Khatib, “ Mughni al-Muhtaj” dalam Nasrun Haroen, 2000, Op. Cit., hal. 222.
[14] Ahmad Ifham Solihin, 2008, Ini Lho, Bank Syari’ah, Jakarta : PT Grafindo Media Pratama, hal. 165.
[15] Wahbah az-Zuhaili, 1989, al-Fiqhu al-Islami wa Adullatuhu, Beirut : darul Fikr, JUZ VI, hal. 4189.
[16] Nasrun Haroen, 2000, Op.Cit., hal. 222
[17] Ibid., hal. 223
[18] Ibid.
[19] Rusyd adalah kematangan berfikir dalam mengelola keuangan, bagi mazhah Hanafi, subyek hukum yang telah memiliki sifat rusyd telah genap usia 18 tahun memasuki 19 tahun ( lihat, Ibnul Jauzi, “ at-Tahqiq fi Ahadits al-Khilaf “, dalam Syamsul Anwar, 2007, Hukum Perjanjian Syari’ah Studi tentang Teori Akad dalam Fikih Muamalat, Jakarta : PT RajaGrafinda Persada, hal. 115)
[20] Ahmad Ifham Solihin, 2012, Op.Cit., hal. 165-166.
[21] Sukri Iska, 2012, Op.Cit., hal.189. Sayid Sabiq, 1987, Op.Cit., hal. 43
[22] Nasrun Haroen, 2000, Op.Cit., hal. 226
[23] Ibid.
Sumber:
(PENDEKATAN TEORI HIWALAH DALAM HUKUM MUAMALAT)
Abstrak
Dalam dunia bisnis, bagi pelaku bisnis selalu ingin memperlancar barang produksinya, sehingga dapat meningkatkan keuntungan dan mempercepat perputaran modal, yang pada gilirannya akan mendorong pertumbuhan ekonomi. Upaya pengembangan dan peningkatan keuntungan bagi perusahaan yang bergerak dibidang penjualan secara kredit diperlukan dana segar yang diperoleh dari Lembaga factoring (Anjak piutang).
Dalam tulisan ini, penulis merasa perlu untuk mengkaji model bisnis factoring ini ditinjau dari hukum muamalat dengan menggunakan pendekatan teori hiwalah. Dengan pendekatan teori hiwalah ini, apakah model bisnis factoring ini sesuai dengan teori hiwalah dalam hukum muamalat atau tidak.
Berdasarkan hasil kajian pustaka, disimpulkan bahwa Subtansi bisnis model factoring, dilihat dari hukum muamalat dapat disamakan dengan subtansi akad hiwalah al-muqyyadah, artinya pengalihan pihutang pihak klien (muhal) yang terdapat pada customer (muhil) kepada pihak factor sebagai ganti dari pembayaran kewajiban membayar hutang dari customer kepada klien. Sisi lain, bisnis model factoring berbeda dengan al-hiwalah al-muqayyadah, yaitu (1) dalam factoring antara customer dengan factor sebelumnya tidak ada hubungan hukum, sedangkan dalam al-hiwalah al-muqayyadah, antara muhil (customer) dengan factor (muhal ‘alaih) terdapat hubungan hukum yaitu terjadi akad hutang pihutang. (2) Jumlah nominal pihutang yang dialihkan oleh klien kepada factor tidak sama dengan jumlah nominal pihutang sebelum dialihkan ( pihutang klien yang ada pada customer). Ketentuan ini bertentangan dengan syarat al-Hiwalah al-Muqayyadah, bahwa baik hutang pihak muhil kepada pihak muhal, maupun hutang pihak muhal ‘alaih kepada pihak muhil, mestilah sama jumlah dan kualitasnya.
Kata Kunci : factoring, hiwalah, hukum muamalat
Pendahuluan
Dalam dunia bisnis, bagi pelaku bisnis maupun perusahaan selalu ingin memperlancar barang produksinya, sehingga dapat meningkatkan keuntungan dan mempercepat perputaran modal, yang pada gilirannya akan mendorong pertumbuhan ekonomi itu sendiri. Cara untuk mengembangkan dan meningkatkan tingkat keuntungan, bagi perusahaan pada umumnya maupun perusahaan yang melakukan penjualan secara kredit, diperlukan dana segar (cash flow) melalui lembaga pembiayaan yang bergerak dibidang Factoring (Anjak Piutang).
Factoring yang dikenal dewasa ini pertama kali tumbuh di Amerika tahun 1889, yang akhirnya dikenal di indonesia pada akhir tahun 1988 sejak berlakunya Kepurusan Presiden Nomo 61 Tahun 1988 tanggal 27 Desember 1988.[1] Factoring atau Anjak Piutang menurut Keputusan Presiden Nomor 61 Tahun 1988 adalah pembiayaan dalam bentuk dan/atau pengalihan serta pengurusan piutang atau tagihan jangka pendek suatu perusahaan dari transaksi perdagangn dalam dan luar negeri.
Keputusan Menteri Keuangan Nomor 1251/KMK.013/1988 juncto Surat Keputusan Menteri Keuangan Nomor 468/KMK.017/1995 menentukan bahwa kegiatan factoring terdiri dari :
1. Pembelian atau pengalihan piutang atau tagihan jangka pendek yang terbit dari transaksi perdagangan dalam dan luar negeri.
2. Penatausahaan penjualan kredit serta penagihan piutang perusahaan.
Berdasarkan difinisi diatas, maka dapat disimpulkan bahwa dalam kegiatan factoring ada tiga pihak yang terlibat, yaitu (1) perusahaan factoring atau disebut dengan factor sebagai badan usaha yang melakukan kegiatan pembiayaan dalam bentuk pembelian dan/atau pengalihan serta pengurusan piutang atau tagihan jangka pendek dari suatu perusahaan. (2) perusahaan penjual piutang atau disebut Klien (client), atau lebih jelas lagi adalah perusahaan yang menjual atau mengalihkan piutang atau tagihannya kepada factor. (3) Nasabah (customer), sebagai pihak yang berutang (debitur) kepada klien, dan piutang tersebut oleh klien dijual atau dialihkan kepada factoring.[2]
Fungsi dan Manfaat Factoring
Factoring paling tidak mempunyai dua fungsi sebagai berikut :
1. Factoring berkaitan dengan masalah piutang klien. Dalam hal ini, factor berfungsi menangani masalah atau mengambil alih piutang tersebut, dan menagih pembayarannya pada debitur setelah piutang jatuh tempo.
2. Factor bertanggung jawab atas piutang klien dan membebaskan klien dari risiko kerungian.[3]
Manfaat Factoring dapat dijelaskan sebagai berikut, antara lain (1) pembayaran piutang lebih cepat dari jatuh tempo ; (2) menambah dana segar perusahaan ; (3) dapat membantu peningkatan keuntungan atau laba ; (4) merupakan sarana peralihan risiko tagian yang tidak bisa dicairkan.[4]
Mekanisme Aplikasi Factoring (Anjak Piutang)
Mekanisme factoring atau anjak piutang yang dimaksudkan adalah proses atau tata cara penawaran piutang sampai dengan beralihnya piutang tersebut dengan pelunasannya. Mekanisme tersebut, jika dibuat dalam bentuk bagan akan tergambar sebagai berikut [5]
Bagan atau skema diatas dapat dijelaskan sebagai beriut : (1) Penjual (klien) menjual barang kepada pembeli (customer) secara kredit dengan jangka waktu pendek. (2) untuk kepentingan dana segar (cash flow), penjual (klien) meminta persetujuan kepada pembeli (customer) untuk menjual piutang tersebut kepada perusahaan lembaga pembiayaan (yang dalam hal ini perusahaan factoring) yang disebut dengan factor. (3) Pembeli (customer) menyetujui perpindahan hak menagih dari penjual (klien) kepada factor. (4) Data mengenai piutang yang berasal dari jual beli tersebut oleh penjual (klien) diteruskan atau dipindahkan kepada factor. (5) Atas dasar itu, maka dibuatlah perjanjian factoring antara penjual (klien) dan factor. (6) Factor membayar kepada klien penjualan piutangnya diskonto tertentu. (7) Pembeli (customer) setelah waktu jatuh temponya perjanjian jual beli kredit membaryar utangnya kepada factor.
Macam-Macam Factoring
Factoring dapat dibedakan dalam berbagai bentuk, yang dapat dilihat dari beberapa segi, yaitu sebagai berikut :
1. Segi pemberitahuan kepada pihak customer, factoring dapat dibagi dalam bentuk : (a) Disclosed Factoring, yaitu customer diberitahu bahwa tagihan telah dialihkan kepada lembaga factoring dan pembayaran dilakukan langsung kepada lembaga faktoring tersebut. (b) Undisclosed Factoring, yaitu pihak customer tidak diberi tahu tentang telah dialihnya piutang sampai terjadi sesuatu yang dapat menimbulkan risiko kepada factor.[6]
2. Segi keterlibatan klien, factoring dapat dibagi dalam bentuk : (a) Resource Factoring, yaitu pihak klien ikut serta serta memikul risiko yang mungkin timbul atas tagihan yang dialihkannya. Factoring dapat saja mengembalikan tagihan yang telah dijual itu kepada klien, dan ini harus dituangkan dalam kontrak factoring. Dengan jenis resource factoring ini, pihak factoring diberikan hak opsi untuk menjual kembali piutang tersebut kepada klien. [7] (b) Non Resource atau without Resource factoring, jenis ini membebankan semua tagihan beserta risiko terhadap tagihan yang tidak terbayar kepada perusahaan factoring. Namun perjanjian factoring dapat dicantumkan bahwa di luar keadaan macetnya tagihan tersebut dapat diperlakukan resource, untuk menghindari tagihan yang tidak terbayar jarena pihak klien ternyata mengirimkan barang-barang yang cacat atau rendah mutunya. Hal ini, factor dapat menual kembali tagihan tersebut kepada klien.[8]
3. Segi jumlah utang yang dialihkan, factoring dapat dibedakan menjadi : (a) Facultativ Factoring, yaitu dalam perjanjian factoring, pihak factoring diberikan hak opsi untuk menentukan, apakah piutang diterima dengan kontrak factoring atau tidak. Sebelum piutang itu dinyatakan diterima, klien bebas menjual piutangnya kepada pihak lain. (b) Whole Turn Over Factoring, perjanjian factoring dilakukan atas seluruh turn over dari perusahaan klien, atas piutang yang ada atau yang akan datang. Hal ini, menghindari klien untuk menjual piutangnya kepada pihak lain.[9]
Teori Hiwalah dalam Hukum Muamalat
1. Pengertian Hiwalah
Hiwalah atau hawalah berasal dari perkataan (at-Tahwiilu) yang berarti perpindahan, pengalihan, perubahan warna kulit, memikul sesuatu diatas pundak.[10] Secara terminologi, hawalah adalah pemindahan beban utang dari Muhil ( orang yang berutang) kepada muhal alaih atau orang yang berkewajiban membayar hutang.[11]. Sayid Sabiq mendifinisikan hiwalah adalah memindahkan hutang darti penghutang (Muhil) kepada orang lain (Muhal alaih) untuk dibayarkan kepada pemberi hutang (Muhal).[12]. Jumhur Ulama Fiqh mendifinisikannya dengan akad yang menghendaki pengalihan hutang dari tanggung jawab seseorang kepada tanggung jawab orang lain.[13] Ahmad Ifham Solihin memberikan penjelasan bahwa kadang-kadang seseorang tidak dapat membayar hutang-hutangnya secara langsung. Maka, orang tersebut boleh memindahkan penagihannya kepada pihak lain, yaitu akad pengalihan hutang dari satu pihak yang berhutang kepada pihak lain yang wajib menanggung (membayar)-nya.[14]
Difinisi-difinisi hawalah yang dikemukakan diatas, secara subtansi sama, meskipun secara redaksionalnya berbeda, yang pada intinya hawalah adalah akad memindahkan tanggung jawab membayar hutang dari orang yang berhutang (muhil) kepada orang lain (Muhal alaih) untuk membayar hutangnya kepada orang yang menghutanginya (Muhal).
2. Hukum Hiwalah dan Macam-Macamnya
Hukum Hiwalah dibolehkan berdasarkan hadits dari Abu Hurairah RA Riwayat Bukhori Muslim bahwa Nabi saw bersabda : “Menunda pembayaran bagi orang yang mampu adalah suatu kedhaliman, dan jika salah seorang dari kamu di-hiwalah-kan kepada yang mampu, terimalah hiwalah itu”.
Penjelasan hadits tersebut, jika orang yang berutang memindahkan orang lain (orang yang mampu) hendaklah ia menerima hiwalah (pelimpahan) itu dan hendaklah ia menagih kepada orang yang yang di-hiwalah-kan.
Kebolehan hiwalah, disamping berdasarkan hadits Bukhori Muslim, juga didasarkan pada Ijma, Ulama Sepakat membolehkan hiwalah. Hiwalah dibolehkan pada hutang yang tidak berbentuk barang atau benda karena hiwalah adalah perpindahan hutang. Oleh sebab itu, hiwalah obyeknya haruslah berupa uang atau kewajiban finansial.[15]
Hiwalah terbagi dua macam : (1) apabila yang dipindahkan itu merupakan hak menuntut hutang, maka pemindahan itu disebut hiwalah al-haqq (pemindahan hak). (2) jika yang dipindahkan itu kewajiban untuk membayar hutang, maka pemindahan itu disebut hiwalah ad-dain (pemindahan hutang). Sisi lain, Hiwalah terbagi dua, yaitu pemindahan sebagai ganti dari pembayaran hutang pihak pertama kepada pihak kedua yang disebut al-Hiwalah al-Muqayyadah (Pemindahan Bersyarat) dan pemindahan hutang yang tidak ditegaskan sebagai ganti dari pembayaran hutang pihak pertama kepada pihak kedua yang disebut al-Hiwalah al-Mutlaqah (Pemindahan Mutlak).[16]
Contoh al-Hiwalah al-Muqayyadah : Ahmad memberi pinjaman/berpihutang kepada Hasan sebesar satu juta rupiah, sedangkan Hasan mempunyai piutang kepada Ridho juga sebasar satu juta. Hasan memindahkan atau mengalihkan haknya untuk menuntut piutangnya yang terdapat pada Ridho kepada Ahmad sebagai ganti dari pembayaran hutang Hasan kepada Ahmad. Al-Hiwalah al-Muqayyadah, pada sisi lain menjadi hiwalah al-haqq, karena Hasan mengalihkan hak menuntut piutangnya dari Ridho kepada Ahmad. Disisi lain, sekaligus menjadi Hiwalah ad-dain, karena Hasan mengalihkan kewajibannya membayar hutang kepada Ridho dan Ridholah yang berkewajiban membayar hutang Hasan kepada Ahmad.[17]
Contoh al-Hiwalah al-Mutlaqah : Basuki berhutang kepada Mustofa sebesar satu juta rupiah. Burhan berhutang kepada Basuki juga sebesar satu juta rupiah. Basuki mengalihkan hutangnya kepada Burhan sehingga Burhan berkewajiban membayar hutang Basuki kepada Mustofa, tanpa menyebutkan bahwa pemindahan hutang itu sebagai ganti dari pembayaran hutang Burhan kepada Basuki. Al-Hawalah al-Mutlaqah hanya menjadi hawalah ad-dain, karena yang dipindahkan hanya hutang Basuki kepada Mustofa menjadi hutang Burhan kepada Mustofa. [18]
3. Syarat-Syarat Hiwalah
Hiwalah dapat dipandang sah, jika terpenuhi beberapa syarat, yaitu : (1) Para pihak yang terlibat dalam Hiwalah (Muhil, Muhaldan Muhal ‘alih) memiliki kecakapan melakukan tindakan hukum (baligh, berakal dan rusyd[19]) (2) hutang pihutang yang akan dialihkan harus jelas jumlahnya. (3) ada bukti-bukti hutang pihutang antara muhil (yang berhutang) dan muhal (yang menghutangi) atau hutang pihutang itu dipastikan sudah terjadi. (4) pengalihan hutang – pihutang disepakati oleh pihak-pihak yang terlibat ( Muhil, Muhal dan Muhal Alaih).[20] (5) Harus ada kesamaan antara jenis maupun kadarnya, waktu jatuh tempo pembayarannya.[21] Jika pengalihan hutang itu dalam bentuk al-Hiwalah al-Muqayyadah, semua ulama fiqh sepakat bahwa baik hutang pihak pertama (muhil) kepada pihak kedua (muhal) maupun hutang pihak ketiga (muhal alaih) kepada pihak pertam (muhil), mestilah sama jumlah dan kualitasnya. Jika pengalihan hutang itu berbentuk al-Hiwalah al-Mutlaqah, menurut madzhab Hanafi, maka kedua hutang itu tidak harus sama, baik jumlah maupun kualitasnya.[22]
Akibat Hukum Hiwalah
Akibat hukum setelah terjadi akad hiwalah adalah sebagai berikut : (1) Jumhur ulama menetapkan bahwa kewajiban pihak pertama untuk membayar hutang kepada pihak kedua secara otomatis menjadi terlepas, atau dipandang telah selesai. Madzhab Hanafi berpendapat bahwa kewajiban pihak pertama masih ada, slama pihak ketiga melunasi hutangnya kepada pihak kedua. Hal ini karena dipandang akad hiwalah adalah akad yang didasari saling percaya, buka semata-mata pengalihan hak dan kewajiban. (2) Akad hiwalah mengakibatkan pihak kedua untuk menuntut pembayaran hutang kepada pihak ketiga. (3) Bagi Madzhab Hanafi, jika jumlah hutang pihutang antara ketiga pihak tidak sama, maka hak dan kewajiban antara pihak pertama dan pihak ketiga masih tetap berlaku.[23]
Analisa Hukum Islam Terhadap Factoring
Berdasarkan mekanisme aplikasi factoring yang telah dipaparkan di muka, dapat dikatakan bahwa factoring secara yuridis formal adalah sistem bisnis yang memadukan antara transaksi jual beli kredit dengan jual beli pihutang. Dikatakan jual beli kredit, ketika penjual barang (klien) menjual barang kepada pembeli (customer) dalam jangka waktu tertentu. Dikatakan jual beli pihutang, ketika penjual barang (Klien) menjual pihutangnya yang terdapat pada customer kepada lembaga pembiayaan factoring (Factor). Bila dicermati, model bisnis factoring ini, secara subtansi merupakan pengalihan pihutang dari klien (penjual barang) mengalihkan pihutangnya yang ada pada customer kepada factor (lembaga factoring), maka akibat hukum yang terjadi, hubungan hukum antara pihak klien dengan customer dengan klien dipandang tidak ada, karena hubungan hukum tersebut berpindah atau dialihkan kepada pihak factor dengan customer.
Berpihak dari analisa tersebut, maka model bisnis factoring, dilihat bingkainya merupakan transaksi jual beli, tetapi dilihat subtansinya adalah transaksi hutang pihutang yang disertai pengalihan tuntutan hak penagihan pembayaran hutang dari pihak klien kepada pihak factor yang berakibat tanggung jawab membayar hutang dari pihak customer yang sebelumnya kepada klien akhirnya berpindah kepada pihak factor. Dengan kata lain, dalam factoring, yang dipindahkan adalah tuntutan hak penagihan pembayaran hutang dari pihak klien kepada pihak factor dengan cara menjual pihutang klien yang ada pada customer kepada pihak faktor sebagai ganti pembayaran hutang customer kepada klien. Jika dihubungkan dengan akad hiwalah dalam hukum muamalat, dilihat dari segi pengalihan tuntutan hak penagihan pembayaran hutang, senada dengan al-hiwalah muqayyadah karena pengalihan pihutang klien yang ada pada costomer itu sebagai ganti pembayaran customer kepada klien, atau dapat disebut hiwalah al-haqq karena yang dipindahkan adalah hak penagihan hutang, tetapi disisi lain terdapat perbedaan antara keduanya, dalam factoring antara customer dengan factor sebelumnya tidak ada hubungan hukum, artinya pihak customer tidak punya pihutang dengan pihak factor. Berbeda dalam akad hiwalah al-muqayyadah, hubungan antara muhil (dalam fatoring disebut customer) dengan pihak ketiga (muhal ‘alaih) yang dalam factoring disebut factor sebelumnya ada hubungan hukum, artinya pihak muhil ( dalam factoring “customer”) punya pihutang dengan muhal ‘alaih ( dalam factoring “factor”). Ini berarti dalam model bisnis factoring, dilihat dari sudut hukum muamalat, dalam hal pengalihan pihutang pihak klien kepada factor dapat disamakan dengan al-hiwalah al-muqayyadah. Tetapi dilihar dari sisi lain, artinya pihak customer harus membayar harga barang dalam jangka tertentu kepada pihak factor dapat disamakan dengan akad al-bay’ al-taqshit (jual beli kredit yang cara pembayarannya tidak cash tetapi dengan tempo) atau dapat juga disamakan dengan jual beli murabahah, hanya berbeda dalam hal harga pokok barang dan tingkat keuntungan, dalam model bisnis factoring tidak disebutkan secara terbuka kepada pihak customer, sedang dalam jual beli murabahah harga pokok barang dan tingkat keuntungan dijelaskan atau disepakati oleh pihak pembeli ( dalam factoring “customer”).
Berdasarkan mekanisme aplikasi factoring dan jenis discloced factoring, terdapat ketentuan-ketentuan sebagai syarat factoring yaitu :
1. Ada persetujuan pengalihan pihutang klien yang ada pada customer kepada pihak factor, dalam factoring ada bukti perjanjian factoring antara penjual (klien) dan factor, hal ini sesuai dengan syarat hiwalah yaitu pengalihan hutang – pihutang disepakati oleh pihak-pihak yang terlibat ( Muhil, Muhal dan Muhal Alaih) dan ada bukti-bukti hutang pihutang antara muhil (yang berhutang) dan muhal (yang menghutangi) atau hutang pihutang itu dipastikan sudah terjadi.
2. Factor membayar kepada klien penjualan piutangnya diskont tertentu. Ini berarti, jumlah hutang pihutang pihak customer dengan klien akan berbeda dengan jumlah harga pihutang yang dialihkan oleh klien kepada factor. Syarat ini yang tidak sesuai dengan syarat akad hiwalah, yaitu harus ada kesamaan antara jenis maupun kadarnya, waktu jatuh tempo pembayarannya. Jika pengalihan hutang pihutang itu dalam bentuk al-Hiwalah al-Muqayyadah, semua ulama fiqh sepakat bahwa baik hutang pihak pertama (muhil) kepada pihak kedua (muhal), maupun hutang pihak ketiga (muhal ‘alaih) kepada pihak pertama (muhil), mestilah sama jumlah dan kualitasnya.
Kesimpulan
Berdasarkan uraian-uraian di atas, dapatlah diambil kesimpulan bahwa :
Subtansi bisnis model factoring, dilihat dari hukum muamalat dapat disamakan dengan subtansi akad hiwalah al-muqyyadah, artinya pengalihan pihutang pihak klien (muhal) yang terdapat pada customer (muhil) kepada pihak factor sebagai ganti dari pembayaran kewajiban membayar hutang dari customer kepada klien. Dilihat dari sisi lain, bisnis model factoring berbeda dengan al-hiwalah al-muqayyadah, yaitu (1) dalam factoring antara customer dengan factor sebelumnya tidak ada hubungan hukum, sedangkan dalam al-hiwalah al-muqayyadah, antara muhil (customer) dengan factor (muhal ‘alaih) terdapat hubungan hukum yaitu terjadi akad hutang pihutang. (2) Jumlah nominal pihutang yang dialihkan oleh klien kepada factor tidak sama dengan jumlah nominal pihutang sebelum dialihkan ( pihutang klien yang ada pada customer). Ketentuan ini bertentangan dengan ketentuan dalam akad hiwalah, yaitu syarat al-Hiwalah al-Muqayyadah, bahwa baik hutang pihak muhil kepada pihak muhal, maupun hutang pihak muhal ‘alaih kepada pihak muhil, mestilah sama jumlah dan kualitasnya.
Daftar Pustaka
Antonio, Muhammad Syafi’i, 2001, Bank Syari’ah dari teori ke Praktek, Jakarta : Gema Insani.
Anwar, Syamsul , 2007, Hukum Perjanjian Syari’ah Studi tentang Teori Akad dalam Fikih Muamalat, Jakarta : PT RajaGrafinda Persada.
Asyhadie, Zaeni, 2005, Hukum Bisnis Prinsip dan Pelaksnaannya di Indonesia, Jakarta : PT RajaGrafindo Persada.
Fuad, Munir, 1995, Hukum Bisnis dalam Teori dan Praktek, Bandung : Citra Aditya Bakti.
Haroen, Nasrun, 2000, Fiqh Muamalah, Jakarta : Gaya Media Pratama.
Iska, Sukri, 2012, Sistem Perbankan Syari’ah di Indonesia dalam Perspektif Fikih Ekonomi, Yogyakarta : Fajar Media Press.
Sabiq,Sayid, 1987, Fikih Sunnah, alih bahasa Kamaluddin A. Marzuki, Bandung : al-Ma’arif.
Solihin, Ahmad Ifham, 2008, Ini Lho, Bank Syari’ah, Jakarta : PT Grafindo Media Pratama.
az-Zuhaili, Wahbah, 1989, al-Fiqhu al-Islami wa Adullatuhu, Beirut : darul Fikr, JUZ VI.
[1] Zaeni Asyhadie, 2005, Hukum Bisnis Prinsip dan Pelaksnaannya di Indonesia, Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, hal.108.
[2] Munir Fuadi, 1995, Hukum Bisnis dalam Teori dan Praktek, Bandung : Citra Aditya Bakti, hal. 87.
[3] Zaeni Asyhadie, 2005, Op. Cit., hal. 110
[4] Ibid., hal. 111.
[5] Ibid., hal.112
[6] Ibid., hal. 114
[7] Munir Fuady, 1995, Op. Cit., hal. 110.
[8] Zaeni Asyhadie, 2005, Op.Cit., hal. 115,
[9] Ibid.
[10] Sukri Iska, 2012, Sistem Perbankan Syari’ah di Indonesia dalam Perspektif Fikih Ekonomi, Yogyakarta : Fajar Media Press, hal. 188. Lihat Nasrun Haroen, 2000, Fiqh Muamalah, Jakarta : Gaya Media Pratama, hal. 221.
[11] Muhammad Syafi’i Antonio, 2001, Bank Syari’ah dari teori ke Praktek, Jakarta : Gema Insani, hal. 126.
[12] Sayid Sabiq, 1987, Fikih Sunnah, alih bahasa Kamaluddin A. Marzuki, Bandung : al-Ma’arif, hal. 42.
[13] Asy-Syarbaini al-Khatib, “ Mughni al-Muhtaj” dalam Nasrun Haroen, 2000, Op. Cit., hal. 222.
[14] Ahmad Ifham Solihin, 2008, Ini Lho, Bank Syari’ah, Jakarta : PT Grafindo Media Pratama, hal. 165.
[15] Wahbah az-Zuhaili, 1989, al-Fiqhu al-Islami wa Adullatuhu, Beirut : darul Fikr, JUZ VI, hal. 4189.
[16] Nasrun Haroen, 2000, Op.Cit., hal. 222
[17] Ibid., hal. 223
[18] Ibid.
[19] Rusyd adalah kematangan berfikir dalam mengelola keuangan, bagi mazhah Hanafi, subyek hukum yang telah memiliki sifat rusyd telah genap usia 18 tahun memasuki 19 tahun ( lihat, Ibnul Jauzi, “ at-Tahqiq fi Ahadits al-Khilaf “, dalam Syamsul Anwar, 2007, Hukum Perjanjian Syari’ah Studi tentang Teori Akad dalam Fikih Muamalat, Jakarta : PT RajaGrafinda Persada, hal. 115)
[20] Ahmad Ifham Solihin, 2012, Op.Cit., hal. 165-166.
[21] Sukri Iska, 2012, Op.Cit., hal.189. Sayid Sabiq, 1987, Op.Cit., hal. 43
[22] Nasrun Haroen, 2000, Op.Cit., hal. 226
[23] Ibid.
Sumber: