NU dan Politik Santri
NAHDLATUL ULAMA (NU) didirikan oleh sejumlah ulama dan kiai pondok pesantren, pada 31 Januari 1926, sebagai wadah perjuangan kelompok Islam tradisionalisme dalam membendung modernisme Islam.
Secara singkat, sejarah perkembangan NU dapat dibagi ke dalam tiga bagian. Pertama, NU sebagai organisasi keagamaan, kedua NU sebagai partai Islam, dan ketiga NU kembali menjadi organisasi keagamaan.
Nahdlatul Ulama, Politik Santri dan Geger 1965-1966
Hasan Kurniawan
NAHDLATUL ULAMA (NU) didirikan oleh sejumlah ulama dan kiai pondok pesantren, pada 31 Januari 1926, sebagai wadah perjuangan kelompok Islam tradisionalisme dalam membendung modernisme Islam.
Secara singkat, sejarah perkembangan NU dapat dibagi ke dalam tiga bagian. Pertama, NU sebagai organisasi keagamaan, kedua NU sebagai partai Islam, dan ketiga NU kembali menjadi organisasi keagamaan.
Pada periode pertama, NU lebih fokus dengan kegiatan keagamaan, sosial, ekonomi, pendidikan, dan menjalin komunikasi yang erat dengan para ulama dan santri. Periode ini berlangsung hingga tahun 1930.
Sejak pertama didirikan, NU telah menarik perhatian kelompok Islam tradisionalisme yang jumlahnya sangat banyak di Indonesia. Pada tahun 1933, jumlah anggota NU telah mencapai angka 40.000 orang.
Jumlah itu terus meningkat hingga tahun 1938 menjadi 100.000 orang dengan 99 cabang di seluruh Indonesia. Pada tahap pertama ini, NU mengalami kompleksitas organisasi yang sangat pelik dan dinamis.
Sayap kepemudaan NU yang terdiri dari para santri lahir di tahun 1934 dengan nama Ansor, disusul dengan berdirinya sayap perempuan NU yang dikenal dengan Muslimat NU, dan Lembaga Pendidikan Maarif.
Dalam periode itu juga NU membentuk sayap usaha dagangnya yang dikenal dengan Syirkah Muawanah. Pada tahap awal, berbagai kegiatan NU itu mampu mengimbangi laju pergerakan kelompok Islam modern.
Masuk periode kedua, NU tidak hanya fokus dengan urusan keagamaan, tetapi merambah ke politik praktis. NU mulai bergabung dengan organisasi Islam lainnya dalam menentang aturan Pemerintah Kolonial.
Berbagai aturan yang dibuat Pemerintah Kolonial di akhir tahun 1930-an itu dinilai anti umat Islam. Aktivitas politik NU berlanjut dengan mendukung pembentukan Gabungan Partai Politik Indonesia (GAPPI).
NU juga mendukung tuntutan kaum nasionalis dalam pembentukan Parlemen Indonesia tahun 1939. Pada tahun 1945, aktivitas politik NU meningkat dengan menjadi unsur organisasi dari Partai Masjumi.
Di tengah jalan, terjadi perbedaan pandangan politik antara NU dengan Masjumi. Pada tahun 1952, NU dan Masjumi berpisah. NU mendirikan partai sendiri dan menjadi peserta Pemilu 1955 secara mandiri.
Dalam pemilihan, NU keluar menjadi partai ketiga terbesar dengan perolehan suara mencapai 18% mengimbangi perolehan suara Partai Masjumi dan mengalahkan Partai Komunis Indonesia (PKI).
Dalam periode ini, NU tampil dengan sangat percaya diri. Memasuki tahun 1950-an, NU menjadi kekuatan yang sangat berpengaruh dan diperhitungkan, terutama dalam masa Demokrasi Terpimpin.
Kebijakan politik NU yang paling terkenal dalam periode ini adalah sikap NU yang mendukung politik Presiden Soekarno dalam membubarkan parleman dan menyetujui Demokrasi Terpimpin sejak 1957-1959.
Memasuki tahun 1960, pemerintah membubarkan Partai Masjumi dan menjadikannya partai terlarang karena terlibat pemberontakan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) di Sumatera 1958.
Dengan tersingkirnya Masjumi, membuat NU menjadi satu-satunya partai politik Islam terkuat dan terbesar di Indonesia. Kekuatan NU yang paling nyata dapat terlihat di kawasan Jombang dan Kediri.
Kedua kawasan itu merupakan wilayah pabrik gula yang sangat kaya. Saat terjadi pendudukan tentara Jepang 1942-1945, di dua kawasan ini terdapat 14 pabrik gula. Di Jombang delapan, dan di Kediri enam.
Saat meletus revolusi 1945-1949, dua pabrik gula di Jombang dan enam pabrik gula di Kediri, hangus dibakar massa. Sisa pabrik gula yang ada di Jombang, lalu diambil alih oleh Pemerintah Republik Indonesia.
Saat pemerintah mensahkan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) dan memberlakukan Undang-Undang Pokok Bagi Hasil (UUPBH), situasi politik di Jombang dan Kediri terasa panas oleh aksi-aksi sepihak PKI.
Aksi-aksi sepihak PKI itu dimaksudkan agar pelaksanaan UUPA dan UUPBH di daerah-daerah cepat dilaksanakan. Sasaran utama aksi itu adalah tanah-tanah milik negara dan tanah milik para tuan tanah.
Dalam aksinya, PKI menuntut agar tanah milik negara, tanah milik tuan tanah, dan tanah miliki desa segera dibagikan kepada para petani penggarap. Aksi-aksi PKI ini menyulut konflik petani dengan tuan tanah.
Perlawanan paling sengit dari aksi itu justru berasal dari kalangan ulama dan kiai pimpinan pondok pesantren yang ada di sekitar pabrik gula di Jombang dan Kediri. Para kiai dan ulama itu anggota NU.
Banyak kiai dan ulama di Jombang dan Kediri, merupakan tuan tanah kaya. Harta kekayaan kiai dan ulama dengan pondok pesantren sangat sulit dipisahkan. Belum lagi adanya tanah wakaf untuk pesantren.
Dalam analisis post-factum disebutkan bahwa banyak tanah kiai yang berstatus milik pribadi diwakafkan kepada pondok pesantren atau untuk pembangunan masjid, sehingga tidak terkena land reform UUPA.
Masalah ini sangat penting, karena UUPA menetapkan bahwa tanah yang dimiliki lembaga agama seperti pondok pesantren dan masjid tidak terkena program land reform yang telah ditetapkan oleh pemerintah.
Sebagai partai politik yang dipimpin oleh ulama dan kiai, kedudukan NU menjadi serba sulit. Para ulama dan kiai NU menjadi bahan olok-olok PKI yang mendukung program UUPA-UUPBH pemerintah.
Situasi politik bertambah panas saat DN Aidit menetapkan tuan tanah termasuk dari tujuh setan desa yang harus dihancurkan. Hal ini mendapat reaksi yang sangat keras dari komunitas santri dan ulama.
Semangat membela kepentingan petani dan ulama, serta kiai, meluas menjadi konflik antara umat Islam dengan PKI. Kelompok NU menuduh PKI dan BTI menyerang sekolah agama dan menghina Islam.
Sementara pihak PKI dan ormas pendukungnya menuduh NU sengaja memanfaatkan umat Islam untuk menyerang PKI dengan menuduh mereka kaum atheis dan melindungi para tuan tanah atas nama Allah.
Beberapa kasus yang menonjol pada periode itu adalah aksi sepihak PKI yang mengambil alih sawah milik H Syakur di Grogol dan tanah milik H samur di Kentjong. Kedua tuan tanah itu milik anggota aktif NU.
Saat ratusan anggota PKI sedang menggarap lahan kedua tuan tanah, ratusan anggota NU datang menyerbu dan merebut kembali tanah yang digarap PKI. Tanah-tanah itu akhirnya dibagikan ke pesantren.
Selain ke pondok pesantren yang berafiliasi dengan NU, tanah itu juga dibagikan kepada kelompok Muhammadiyah dan anak-anak, serta saudara para tuan tanah, hingga keduanya terbebas dari land reform.
Konflik tanah yang melibatkan PKI dengan NU juga terjadi di Adan-adan, ketika seorang guru sekolah dasar yang bernama Giat mengorganisir para petani melakukan aksi sepihak terhadap lahan tuan tanah.
Usai melakukan aksi sepihak, rumah Giat diserbu oleh ribuan anggota NU dan Ansor lalu dibakar. Selain rumah Giat, rumah anggota PKI lainnya juga dibakar. Pembakaran ini juga terjadi di Desa Tiru, Gurah.
Peristiwa lain yang lebih besar terjadi di Desa Jengkol. Namun konflik ini tidak melibatkan NU, tetapi pabrik gula dengan petani. Para petani itu menggarap tanah pabrik sejak masa setelah perang kemerdekaan.
Status tanah yang digarap sebenarnya milik pabrik gula, tetapi pabrik gula itu sudah rusak dibakar saat terjadi perang. Konflik terjadi saat pabrik gula Ngadiredjo mendapat tanah itu dari pemerintah.
Para petani yang tidak terima diusir dari tanah yang mereka garap sejak lama melakukan perlawanan. Tetapi pihak pabrik gula malah mengirim traktor dan tentara untuk menghancurkan gubuk-gubuk penduduk.
Rumah para petani lalu diratakan dengan tanah dan traktor pabrik gula diserang. Tentara yang mengawal pabrik gula lalu menembaki petani yang melawan. Sebanyak 15 petani tewas diterjang pelor tentara.
Dari 15 orang itu, seorang korban diketahui bernama Latini yang sedang mengandung. Dia tewas bersama bayi yang dikandungnya. Seorang lagi diketahui bernama Sundarjati yang satu matanya tertembus peluru.
Konflik tanah ini berlangsung hingga tahun 1965. Idiom PKI selama periode itu adalah, Ibu Pertiwi hamil tua, siap melahirkan bayi revolusi. Pada Kamis 30 September 1965 malam, terjadi kudeta militer.
Peristiwa yang berlangsung di Jakarta itu sampai ke Jombang dan Kediri pada 2 Oktober 1965. Beberapa hari kemudian, pada 6 Oktober 1965, para pemuda NU langsung melakukan berbagai serangan.
Serangan pertama dilakukan pada malam hari tanggal 6 Oktober 1965 dengan sasaran anggota dan simpatisan PKI di pabrik gula Tjoekir. Kelompok pemuda NU yang terlibat Sarbumusi, Ansor, dan para santri.
Kelompok-kelompok ini sudah terlibat gesekan dengan PKI sejak awal tahun 1960, jadi mereka bukan orang-orang baru. Perintah serangan saat itu sangat menakutkan, yakni tangkap dan bunuh PKI.
Aksi pembunuhan terhadap anggota dan simpatisan PKI di wilayah itu pertama terjadi pada 9 Oktober 1965 malam. Aksi pembunuhan itu disaksikan seorang polisi, tetapi tidak dilakukan tindakan pencegahan.
Merasa kebal dengan hukum, penangkapan dan pembunuhan secara massal terhadap anggota dan simpatisan PKI makin gencar dilakukan oleh para pemuda NU. Pemandangan saat itu sangat mengerikan.
Sungai Brantas yang membelah kawasan itu penuh mayat anggota PKI dan ormas simpatisannya yang dibunuh dengan sangat kejam. Pembunuhan ini juga melibatkan sejumlah ormas lainnya dan tentara.
Dalam satu hari, para pemuda NU itu bisa membunuh sebanyak 700 orang anggota dan simpatisan PKI. Pembunuhan-pembunuhan itu dilakukan pada siang dan malam hari tanpa mengenal lelah.
Dalam melaksanakan aksinya, para pemuda NU dibantu oleh tentara berpakaian preman. Karena kedekatan dan hubungannya dengan tentara, salah seorang pemimpin pemuda ada yang diberikan pistol.
Dalam beberapa kasus, anggota PKI dan ormas pendukungnya sempat melakukan perlawanan sebagai upaya mempertahankan hidup. Tetapi sebagian besar mereka yang dibunuh tidak melakukan perlawanan.
Beberapa ulama dan kiai yang melihat pembunuhan massal itu tampak berbeda pendapat, namun rata-rata menyetujui aksi pembunuhan. Bahkan disarankan agar dilakukan seperti menyembelih hewan kurban.
Dalam empat minggu pertama pembantaian, mayat anggota dan simpatisan PKI bergelimpangan di lapangan, pasar, jalan raya, sawah, dan sungai. Mayat-mayat itu kebanyakan sudah terpotong-potong.
Aksi sadisme para pemuda NU ini berlangsung hingga akhir tahun 1966. Usai peristiwa berdarah itu, NU berperan aktif dalam menyokong politik tentara dan ikut mendirikan Pemerintahan Orde Baru Soeharto.
Dalam perjalanannya, NU merasa dikecewakan dengan politik Soeharto dan terus mendapatkan tekanan-tekanan. Pil kekecewaan itu mulai ditelan sejak Pemilu 1971 dan mencapai puncaknya saat Pemilu 1973.
Saat itu, NU diminta untuk berfusi dengan tiga partai Islam lainnya dan membentuk Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Tidak mau tunduk, NU mulai mengambil jarak dari pemerintah dan menjadi oposisi.
Keterlibatan NU dalam politik praktis berakhir tahun 1984. NU mundur dari PPP dan kembali ke fitrahnya sebagai organisasi keagamaan. Babak kedua NU yang penuh kejayaan berakhir dengan kekecewaan.
Pada periode ketiga ini, NU tampil kembali dengan semangat 1926 yang berhasil membawanya ke pentas politik nasional. Pada periode ini, NU kembali menemukan rohnya sebagai organisasi keagamaan.
Pemimpin NU yang lahir pada periode ini antaranya adalah KH Achmad Siddiq dan KH Abdurrahman Wahid. Di bawah pengaruh kedua tokohnya, NU memperbaiki hubungannya dengan pemerintah Soeharto.
Berbagai perubahan radikal berhasil dilakukan NU, di antaranya dengan menerima Pancasila sebagai azas tunggal negara dan organisasi. Sampai di sini ulasan Cerita Pagi diakhiri, semoga memberikan manfaat.
Sumber tulisan
Greg Fealy dn Greg Barton, Pendahuluan, Tradisionalisme Radikal, Persinggungan Nahdatul Ulama-Negara, LKiS, November 1997
Andree Feillard, Islam Tradisional dan Tentara dalam Era Orde Baru: Sebuah Hubungan yang Ganjil, diambil dari Tradisionalisme Radikal, Persinggungan Nahdatul Ulama-Negara, LKiS, November 1997
Hermawan Sulistyo, Palu Arit di Ladang Tebu, Sejarah Pembantaian Massal yang Terlupakan (Jombang-Kediri 1965-1966), Pensil-324, Agustus 2011
Sumber