NU dan Gawagis: inovasi dan humility (2)
Oleh: A. Fatih Syuhud
Ringkasan tulisan lalu:
NU dg anggotanya yg sekitar 40 juta dan umumnya
terkonsentrasi di daerah pedesaan sangat kental
hubungan paternalistiknya dg kyai dan pesantren. Dg
demikian, maju atau mundurnya komunitas NU sangat
tergantung pada seberapa progresifnya para kyai itu
melihat perkembangan dan tuntutan zaman. Tak kalah
pentingnya dalam hal ini adalah generasi muda penerus
pesantren yg biasanya diwariskan pada putra-putra kyai
yg biasa dijuluki agus (jmk: gawagis) sebagai jembatan
antara generasi tua konservatif dan tantangan yg harus
dihadapi oleh zaman modern yg progresif. Krn. itu
gawagis memiliki peran yg sangat krusial yg akan
menentukan titik tolak masyarakat NU ke depan.
Bagaimanpun geniusnya seorang pemuda NU kalau dia
tidak memiliki darah Agus, maka akan sangat sulit
baginya untuk dapat mewarnai dan mentransformasi
kalangan NU pedesaan yg umumnya konservatif, seperti
yg pernah dituturkan Martin van Bruinessen dalam
wawancara dg Jurnal Pesantren beberapa tahun lalu.
INOVASI
Apabila semua atau sebagian besar kalangan gawagis
memiliki kapasitas dan progresifitas seperti (gus)
Ulil Abshar Abdalla dalam melihat visi ke depan umat,
bangsa dan agama, saya yakin komunitas NU pada 10
tahun ke depan akan menjadi penggerak utama (main
forces) dalam pembangunan bangsa di semua lini
kehidupan.
Sayangnya (gus) Ulil hanyalah bagian kecil dari
kalangan gawagis yg begitu besar. Gawagis yg berpikir
searah dg Ulil atau yg terilhami pola pikirnya dapat
dihitung dg jari, dan itupun kebanyakan mereka yg
sudah atau sedang kuliah di luar negeri (umumnya di
timur tengah). Dan dapat dipastikan dari kalangan
gawagis luar negeri inipun tidak semuanya sepakat dg
cara berpikir Ulil.
Ulil sudah menjadi tokoh intelektual nasional saat
ini. Dan anugerah 'icon' dan 'stature' yg dia dapat
akan jauh lebih bermanfaat kalau dipakai untuk
bersilaturrahmi ke kalangan pesantren-pesantren -
khususnya pesantren besar yg kyainya punya massa NU
banyak - untuk mengkampanyekan ide-ide besarnya,
seperti yg biasa dilakukan Gus Dur. Karena bukan hal
aneh kalau sampai saat ini tidak banyak dari kalangan
gawagis yg belum pernah membaca ide-ide Ulil dan
bahkan tidak tahu Ulil itu siapa. Sampai saat ini saya
melihat 'diplomasi silaturrahmi' ke berbagai pesantren
ala Gus Dur merupakan satu-satunya cara paling efektif
untuk 'menaklukkan' hearts and minds para kyai dan
khususnya gawagis.
Masalahnya mampukah Ulil berbuat itu, mengingat dia
tidak memiliki darah biru ke-agus-an sekental Gus Dur
yg notabene merupakan cucu the very founder of NU
which is highly respected in NU community?
HUMILITY
Satu hal yg paling dikeluhkan oleh kalangan progresif
NU non gawagis adalah mereka tidak dapat berbuat
banyak untuk membangun dan mempengaruhi masyarakat NU,
karena masyarakat tidak atau kurang memberikan
apresiasi pada pandangan, visi dan ide-ide kalangan
muda yg bukan dari kalangan gawagis. Pendapat ini
memang tidak salah. Seperti pernah dikatakan Martin
van Bruinsenn, bagaimanapun brilian-nya ide yg kita
miliki, hanya akan masuk telinga kanan dan keluar
telinga kiri apabila kita tidak memiliki privelege
darah gawagis.
Untuk itu, diperlukan sikap humility (tawadlu dan
lapang dada) dari kalangan gawagis, untuk menjadi
patron santri-santrinya yg memiliki potensi tinggi dan
berpikiran maju. Dan memberikan 'legitimasi' kepada
mereka. Bukan malah mengalienasikan kalangan yg
berpikiran maju ini.
Bersikap humility bagi kalangan gawagis yg tidak
pernah hidup di luar di luar lingkungan pesantrennya
akan sangat sulit. Gawagis, as far as environment
goes, adalah tidak berbeda dg putra keraton yg hidup
dg berbagai privelege feodalisme: kemalasan,
kemanjaan, taburan pujian dari santri dan masyarakat
sekitar. Seorang yg tahu sedikit dasar ilmu psikologi
akan cepat menebak karakter seperti apa yg akan
dihasilkan dari seorang anak yg tumbuh dalam
lingkungan semacam itu: kebiasaan untuk menerima tanpa
harus memberi; kebiasaan selalu menuntut hak tanpa
peduli kewajiban; selalu menganggap semuanya itu sudah
menjadi status quo yg baik dan tidak perlu dirubah.
Karena itulah, merubah pola pikir para gawagis yg
konservatif-feodalist ke arah pemikiran yg
reformis-progresif adalah sama sekali tidak mudah. Dan
ini saya kira menjadi tugas para gawagis progresif
semacam Ulil dkk untuk mengimplemantasikannya. Dan
mengingat tantangannya yg sangat berat, tentunya Gus
Dur dapat dijadikan konsultan yg sangat baik dalam hal
ini.
Ditulis pada 8 April 2003
Ringkasan tulisan lalu:
NU dg anggotanya yg sekitar 40 juta dan umumnya
terkonsentrasi di daerah pedesaan sangat kental
hubungan paternalistiknya dg kyai dan pesantren. Dg
demikian, maju atau mundurnya komunitas NU sangat
tergantung pada seberapa progresifnya para kyai itu
melihat perkembangan dan tuntutan zaman. Tak kalah
pentingnya dalam hal ini adalah generasi muda penerus
pesantren yg biasanya diwariskan pada putra-putra kyai
yg biasa dijuluki agus (jmk: gawagis) sebagai jembatan
antara generasi tua konservatif dan tantangan yg harus
dihadapi oleh zaman modern yg progresif. Krn. itu
gawagis memiliki peran yg sangat krusial yg akan
menentukan titik tolak masyarakat NU ke depan.
Bagaimanpun geniusnya seorang pemuda NU kalau dia
tidak memiliki darah Agus, maka akan sangat sulit
baginya untuk dapat mewarnai dan mentransformasi
kalangan NU pedesaan yg umumnya konservatif, seperti
yg pernah dituturkan Martin van Bruinessen dalam
wawancara dg Jurnal Pesantren beberapa tahun lalu.
INOVASI
Apabila semua atau sebagian besar kalangan gawagis
memiliki kapasitas dan progresifitas seperti (gus)
Ulil Abshar Abdalla dalam melihat visi ke depan umat,
bangsa dan agama, saya yakin komunitas NU pada 10
tahun ke depan akan menjadi penggerak utama (main
forces) dalam pembangunan bangsa di semua lini
kehidupan.
Sayangnya (gus) Ulil hanyalah bagian kecil dari
kalangan gawagis yg begitu besar. Gawagis yg berpikir
searah dg Ulil atau yg terilhami pola pikirnya dapat
dihitung dg jari, dan itupun kebanyakan mereka yg
sudah atau sedang kuliah di luar negeri (umumnya di
timur tengah). Dan dapat dipastikan dari kalangan
gawagis luar negeri inipun tidak semuanya sepakat dg
cara berpikir Ulil.
Ulil sudah menjadi tokoh intelektual nasional saat
ini. Dan anugerah 'icon' dan 'stature' yg dia dapat
akan jauh lebih bermanfaat kalau dipakai untuk
bersilaturrahmi ke kalangan pesantren-pesantren -
khususnya pesantren besar yg kyainya punya massa NU
banyak - untuk mengkampanyekan ide-ide besarnya,
seperti yg biasa dilakukan Gus Dur. Karena bukan hal
aneh kalau sampai saat ini tidak banyak dari kalangan
gawagis yg belum pernah membaca ide-ide Ulil dan
bahkan tidak tahu Ulil itu siapa. Sampai saat ini saya
melihat 'diplomasi silaturrahmi' ke berbagai pesantren
ala Gus Dur merupakan satu-satunya cara paling efektif
untuk 'menaklukkan' hearts and minds para kyai dan
khususnya gawagis.
Masalahnya mampukah Ulil berbuat itu, mengingat dia
tidak memiliki darah biru ke-agus-an sekental Gus Dur
yg notabene merupakan cucu the very founder of NU
which is highly respected in NU community?
HUMILITY
Satu hal yg paling dikeluhkan oleh kalangan progresif
NU non gawagis adalah mereka tidak dapat berbuat
banyak untuk membangun dan mempengaruhi masyarakat NU,
karena masyarakat tidak atau kurang memberikan
apresiasi pada pandangan, visi dan ide-ide kalangan
muda yg bukan dari kalangan gawagis. Pendapat ini
memang tidak salah. Seperti pernah dikatakan Martin
van Bruinsenn, bagaimanapun brilian-nya ide yg kita
miliki, hanya akan masuk telinga kanan dan keluar
telinga kiri apabila kita tidak memiliki privelege
darah gawagis.
Untuk itu, diperlukan sikap humility (tawadlu dan
lapang dada) dari kalangan gawagis, untuk menjadi
patron santri-santrinya yg memiliki potensi tinggi dan
berpikiran maju. Dan memberikan 'legitimasi' kepada
mereka. Bukan malah mengalienasikan kalangan yg
berpikiran maju ini.
Bersikap humility bagi kalangan gawagis yg tidak
pernah hidup di luar di luar lingkungan pesantrennya
akan sangat sulit. Gawagis, as far as environment
goes, adalah tidak berbeda dg putra keraton yg hidup
dg berbagai privelege feodalisme: kemalasan,
kemanjaan, taburan pujian dari santri dan masyarakat
sekitar. Seorang yg tahu sedikit dasar ilmu psikologi
akan cepat menebak karakter seperti apa yg akan
dihasilkan dari seorang anak yg tumbuh dalam
lingkungan semacam itu: kebiasaan untuk menerima tanpa
harus memberi; kebiasaan selalu menuntut hak tanpa
peduli kewajiban; selalu menganggap semuanya itu sudah
menjadi status quo yg baik dan tidak perlu dirubah.
Karena itulah, merubah pola pikir para gawagis yg
konservatif-feodalist ke arah pemikiran yg
reformis-progresif adalah sama sekali tidak mudah. Dan
ini saya kira menjadi tugas para gawagis progresif
semacam Ulil dkk untuk mengimplemantasikannya. Dan
mengingat tantangannya yg sangat berat, tentunya Gus
Dur dapat dijadikan konsultan yg sangat baik dalam hal
ini.
Ditulis pada 8 April 2003