Karakter Pribadi
Oleh: A. Fatih Syuhud
Kita kadang heran melihat suatu individu yg berasal dari background yg "baik" tapi menjadi jahat, kita bisa lihat contoh zaman nabi seperti Abu Jahal; sebaliknya kita lebih heran lagi ketika bertemu dg orang yg berlatar belakang "jahat" tapi ternyata punya sikap yg mulya seperti sahabat abu bakar, yg konon sejak kecil (yakni sebelum islam) tidak pernah satu tetespun minum minuman keras di tengah lingkugan arab yg suka mabok2an. Atau contoh era sekarang, seperti bapak barahuddin lopa, yg begitu gigih sendirian mempertahankan kebenaran, ditengah kecamuk kkn dan gebyar kekejaman ancaman yg selalu menghantui bangsa kita di era suharto.
Background yg baik di sini seperti pesantren, dan lingkungan2 agamis lainnya. Sedang latar belakang "jahat" bisa disebut seperti lingkungan 'anak2 jalanan', lingkungan 'preman' yg sudah tidak asing lagi dg budaya2 tiga penyakit masyarakat: minum bir (dan sebangsanya), zina, dan mencuri yg berdampak pada keresahan tatanan sosial yg apik. Mengapa demikian? Dalam ilmu psikologi-sosial memang ada yg disebut dg watak bawaan dominan sejak lahir yg ekstrim: ekstrim jahat dan ekstrim baik.
Seorang yg sejak lahirnya memiliki watak yg dominan sangat baik, ia tidak akan terpengaruh oleh lingkungan sekitarnya yg mungkin tidak kondusif. Sebaliknya seorang yg berwatak dominan sangat jahat tidak akan menjadi 'baik' walau dia sejak kecil hidup dilingkungan yg baik, seperti lingkungan pesantren, lingkungan masjid, dll. Bahkan kalau orang tipe ini kebetulan cerdas, maka ilmu2 'baik' yg dia dapat akan dipergunakan untuk hal2 jahat yg menjadi bawaan dominannya. Untungnya (bagi ekstrim jahat) dan sayangnya (bagi ekstrim baik), keperibadian ekstrim semacam ini sangat sedikit. krn. orang dg bawaan keperibadian sangat kuat (baiknya ataupun jahatnya) adalah penduduk minoritas di dunia ini. Dg kata lain, watak dominan jahat atau baiknya mencapai 90% lebih.
Di antara kedua watak ekstrim ini, ada watak yg umum, yg dalam ilmu manajemen disebut dg "mass in the middle" atau massa kelas tengah. manusia tipe inilah yg menduduki proporsi mayoritas dunia. Menurut guru besar psikologi UI, prof. dr. sarlito wirawan sarjono, kalangan 'mass in the middle' ini juga memiliki variasi kepribadian (baik dan buruknya). misalnya, si A sejak kecil kadar pelitnya 20%, si B kadar suka membantu orang 40%, si C kadar suka brantemnya 10%, dll. Alhasil watak2 asli kalangan ini tidak melebihi 60% ke atas. Karena itu, kalangan 'mass in the middle' ini sangat tergantung dg lingkungan di sekitarnya. Ia bisa menjadi orang baik, kalau hidup dg lingkungan yg baik. Ia bisa menjadi jahat apabila hidup di lingkungan yg jahat. Jadi kalau dalam istilah jurnalistik ia mirip dg kalangan 'floating mass' yg selalu mengikuti irama gendang dan aliran air.
Dari sinilah mungkin salah satu dari keheranan pak suhadi bisa terjawab: mengapa kalangan depag yg terdiri dari orang2 santeri, bahkan banyak yg menyandang gelar S-2 dan S-3 dari timur tengah kok malah terlibat korupsi? jawaban dari segi psikologis bisa dua: pertama, mungkin pak doktor agama ini memang dominan jahatnya atau memang lingkungan depag dulu2nya diawali oleh kalangan non-santeri yg suka korup dan setelah menjadi budaya, kalangan agamawan yg termasuk berkarakter 'mass in the middle' pun tidak tahan dg enaknya duit haram itu.
Apakah tipe 'mass in the middle' bisa berubah? Tentu saja bisa. Hamka dalam bukunya berjudul "Pribadi" mengatakan, bahwa tidak ada watak dan kebiasaan jelek yg tidak bisa berubah. Tapi tentu saja dg syarat2 antara lain sbb:
(1) Ketahui lebih dulu apa saja watak-watak anda yg tidak baik. Dan catat watak2 itu di buku anda. Misalnya: suka berbohong, pelit, suka mabuk, suka nyuri, suka iri dan dengki, malas beribadah, dll. Kalau anda kurang mampu mendeteksi watak jelek anda, maka tanyakan pada teman2 akrab anda apa yg membuat teman2 anda kurang comfortable dg kita;
(2) Bila sudah diketahui, maka cara yg paling menentukan adalah determinasi atau keinginan kuat untuk merubahnya. banyak cara2 yg bisa ditempuh, seperti banyak melihat dan memperhatikan rekan2 kita yg memang memiliki watak2 baik itu dan meneladaninya; menghindari pergaulan2 yg akan semakin membawa kita pada kebiasaan2 dan watak2 buruk itu, dan banyak membaca buku2 kepribadian dan buku2 otobigrafi orang2 besar untuk membuat kita juga berjiwa besar seperti mereka, dll. Di barat, buku2 otobiografi orang2 besar, bahkan yg masih hidup sekalipun, sangat laris dan diminati krn. tingginya minat orang barat untuk belajar dan memperbaiki diri. (3) bila anda merasa sudah merasa bisa mengurangi atau menghilangkan salah satu dari watak2 jelek itu, kasih tanda di catatan 'daftar watak jelek' anda itu, misalnya, pelit (catatan: sudah agak berkurang, dll). suka minum (catatan: sudah agak berkurang) dst. Dg demikian, kita akan terbiasa dg evaluasi diri, untuk menuju keperibadian yg walau tidak sempurna, tapi cukup bermartabat dan dignified.
Asal diketahui saja, bahwa semakin banyak watak jelek yg kita miliki, maka akan semakin kecil harga diri kita di mata orang2 di sekitar kita. Akhirnya bagi kita2 yg hanya "mass in the middle" ini, terserah kitalah mau kemana langkah pribadi kita mau diayun. Semua terserah kita masing2, dg segala konsekwensinya yg tentunya tidak boleh kita sesali. Acknowledgment: tulisan ini berdasarkan berbagai bacaan buku psikologi, terutama tulisan prof. sarlito di media jawa pos (judulnya saya lupa) dan tulisan buya hamka berjudul "Pribadi". Krn saya membacanya sewaktu di indonesia, saya tdk dapat menuliskan data2 lengkapnya. mohon maaf. Ditulis pada 4 Oktober 2002
Kita kadang heran melihat suatu individu yg berasal dari background yg "baik" tapi menjadi jahat, kita bisa lihat contoh zaman nabi seperti Abu Jahal; sebaliknya kita lebih heran lagi ketika bertemu dg orang yg berlatar belakang "jahat" tapi ternyata punya sikap yg mulya seperti sahabat abu bakar, yg konon sejak kecil (yakni sebelum islam) tidak pernah satu tetespun minum minuman keras di tengah lingkugan arab yg suka mabok2an. Atau contoh era sekarang, seperti bapak barahuddin lopa, yg begitu gigih sendirian mempertahankan kebenaran, ditengah kecamuk kkn dan gebyar kekejaman ancaman yg selalu menghantui bangsa kita di era suharto.
Background yg baik di sini seperti pesantren, dan lingkungan2 agamis lainnya. Sedang latar belakang "jahat" bisa disebut seperti lingkungan 'anak2 jalanan', lingkungan 'preman' yg sudah tidak asing lagi dg budaya2 tiga penyakit masyarakat: minum bir (dan sebangsanya), zina, dan mencuri yg berdampak pada keresahan tatanan sosial yg apik. Mengapa demikian? Dalam ilmu psikologi-sosial memang ada yg disebut dg watak bawaan dominan sejak lahir yg ekstrim: ekstrim jahat dan ekstrim baik.
Seorang yg sejak lahirnya memiliki watak yg dominan sangat baik, ia tidak akan terpengaruh oleh lingkungan sekitarnya yg mungkin tidak kondusif. Sebaliknya seorang yg berwatak dominan sangat jahat tidak akan menjadi 'baik' walau dia sejak kecil hidup dilingkungan yg baik, seperti lingkungan pesantren, lingkungan masjid, dll. Bahkan kalau orang tipe ini kebetulan cerdas, maka ilmu2 'baik' yg dia dapat akan dipergunakan untuk hal2 jahat yg menjadi bawaan dominannya. Untungnya (bagi ekstrim jahat) dan sayangnya (bagi ekstrim baik), keperibadian ekstrim semacam ini sangat sedikit. krn. orang dg bawaan keperibadian sangat kuat (baiknya ataupun jahatnya) adalah penduduk minoritas di dunia ini. Dg kata lain, watak dominan jahat atau baiknya mencapai 90% lebih.
Di antara kedua watak ekstrim ini, ada watak yg umum, yg dalam ilmu manajemen disebut dg "mass in the middle" atau massa kelas tengah. manusia tipe inilah yg menduduki proporsi mayoritas dunia. Menurut guru besar psikologi UI, prof. dr. sarlito wirawan sarjono, kalangan 'mass in the middle' ini juga memiliki variasi kepribadian (baik dan buruknya). misalnya, si A sejak kecil kadar pelitnya 20%, si B kadar suka membantu orang 40%, si C kadar suka brantemnya 10%, dll. Alhasil watak2 asli kalangan ini tidak melebihi 60% ke atas. Karena itu, kalangan 'mass in the middle' ini sangat tergantung dg lingkungan di sekitarnya. Ia bisa menjadi orang baik, kalau hidup dg lingkungan yg baik. Ia bisa menjadi jahat apabila hidup di lingkungan yg jahat. Jadi kalau dalam istilah jurnalistik ia mirip dg kalangan 'floating mass' yg selalu mengikuti irama gendang dan aliran air.
Dari sinilah mungkin salah satu dari keheranan pak suhadi bisa terjawab: mengapa kalangan depag yg terdiri dari orang2 santeri, bahkan banyak yg menyandang gelar S-2 dan S-3 dari timur tengah kok malah terlibat korupsi? jawaban dari segi psikologis bisa dua: pertama, mungkin pak doktor agama ini memang dominan jahatnya atau memang lingkungan depag dulu2nya diawali oleh kalangan non-santeri yg suka korup dan setelah menjadi budaya, kalangan agamawan yg termasuk berkarakter 'mass in the middle' pun tidak tahan dg enaknya duit haram itu.
Apakah tipe 'mass in the middle' bisa berubah? Tentu saja bisa. Hamka dalam bukunya berjudul "Pribadi" mengatakan, bahwa tidak ada watak dan kebiasaan jelek yg tidak bisa berubah. Tapi tentu saja dg syarat2 antara lain sbb:
(1) Ketahui lebih dulu apa saja watak-watak anda yg tidak baik. Dan catat watak2 itu di buku anda. Misalnya: suka berbohong, pelit, suka mabuk, suka nyuri, suka iri dan dengki, malas beribadah, dll. Kalau anda kurang mampu mendeteksi watak jelek anda, maka tanyakan pada teman2 akrab anda apa yg membuat teman2 anda kurang comfortable dg kita;
(2) Bila sudah diketahui, maka cara yg paling menentukan adalah determinasi atau keinginan kuat untuk merubahnya. banyak cara2 yg bisa ditempuh, seperti banyak melihat dan memperhatikan rekan2 kita yg memang memiliki watak2 baik itu dan meneladaninya; menghindari pergaulan2 yg akan semakin membawa kita pada kebiasaan2 dan watak2 buruk itu, dan banyak membaca buku2 kepribadian dan buku2 otobigrafi orang2 besar untuk membuat kita juga berjiwa besar seperti mereka, dll. Di barat, buku2 otobiografi orang2 besar, bahkan yg masih hidup sekalipun, sangat laris dan diminati krn. tingginya minat orang barat untuk belajar dan memperbaiki diri. (3) bila anda merasa sudah merasa bisa mengurangi atau menghilangkan salah satu dari watak2 jelek itu, kasih tanda di catatan 'daftar watak jelek' anda itu, misalnya, pelit (catatan: sudah agak berkurang, dll). suka minum (catatan: sudah agak berkurang) dst. Dg demikian, kita akan terbiasa dg evaluasi diri, untuk menuju keperibadian yg walau tidak sempurna, tapi cukup bermartabat dan dignified.
Asal diketahui saja, bahwa semakin banyak watak jelek yg kita miliki, maka akan semakin kecil harga diri kita di mata orang2 di sekitar kita. Akhirnya bagi kita2 yg hanya "mass in the middle" ini, terserah kitalah mau kemana langkah pribadi kita mau diayun. Semua terserah kita masing2, dg segala konsekwensinya yg tentunya tidak boleh kita sesali. Acknowledgment: tulisan ini berdasarkan berbagai bacaan buku psikologi, terutama tulisan prof. sarlito di media jawa pos (judulnya saya lupa) dan tulisan buya hamka berjudul "Pribadi". Krn saya membacanya sewaktu di indonesia, saya tdk dapat menuliskan data2 lengkapnya. mohon maaf. Ditulis pada 4 Oktober 2002