Sikap Wahabi pada Syiah
Pada 1991, ‘Abdullah bin Jibrin mengeluarkan fatwa yang mengutuk kelompok Muslim Syi‘ah sebagai “musyrikîn yang darahnya boleh ditumpahkan.
Pada 1991, ‘Abdullah bin Jibrin mengeluarkan fatwa yang mengutuk kelompok Muslim Syi‘ah sebagai “musyrikîn yang darahnya boleh ditumpahkan.
Judul buku: Wahabisme Sebuah Tinjauan Kritis
Penulis: Hamid Algar
Penerbit: Democracy Project
Tempat/Tahun terbit: Jakarta 2011
Diterjemahkan dari:
Wahhabism: A Critical Essay
(Oneonta, New York; Islamic Publication International, 2002)
Penulis: Hamid Algar
Penerjemah: Rudy Harisyah Alam
Editor: Ihsan Ali-Fauzi
Penyelaras Akhir: Achmad Rifki dan Saidiman
Daftar Isi
Sikap Wahabi pada Syiah
Namun demikian, pangkalan-pangkalan militer baru secara tepat ditafsirkan bahwa pangkalan-pangkalan itu dimaksudkan untuk menjadi lebih terang-terangan, permanen dan luas dibandingkan dengan yang telah ada sebelumnya. Hal lain yang juga dipandang sama-sama menyinggung perasaan adalah fenomena sejumlah perempuan yang membawa kendaraan sendiri dan mengendarainya berkeliling Kota Riyad. Sejumlah ulama
Wahhabi mengecam perkembangan-perkembangan tersebut, terutama di antara mereka adalah Safar bin ‘Abd al-Rahman al-Hawali dan Salman bin Fahd al-‘Audah, yang kepedihan mereka diganjar dengan penjara yang cukup lama. Perlu dicatat bahwa keprihatian terhadap kehadiran Amerika dan akibat-akibat budaya yang dikira mungkin lahir akibat kehadiran tersebut tidak menggantikan obsesi lama kelompok Wahhabi terhadap Syi‘ah. Dalam sebuah khotbah berjudul “Apa yang Allah telah tetapkan bagi Semenanjung [Arab] ini” (Qadar Allâh fî hâdzihi ‘l-Jazîrah), Salman bin Fahd al-‘Audah menekankan apa yang ia pandang sebagai sentralitas Wahhabisme bagi kesejahteraan Semenanjung Arab (yang dianggap sebagai jantung, bukan hanya dalam arti geografis, seluruh dunia Muslim). Sebagai konsekuensinya, ia menyerukan pengusiran penduduk Syi‘ah, yang disebut dengan istilah pejoratif al-rafîdah.[24]
Lebih buruk lagi, pada 1991, ‘Abdullah bin Jibrin mengeluarkan fatwa yang mengutuk kelompok Muslim Syi‘ah sebagai “musyrikîn yang darahnya boleh ditumpahkan.” Mungkin untuk mengalihkan amarah Wahhabi dari dirinya sendiri, pada tahun berikutnya, rezim Saudi memenjarakan dan mengeksekusi sejumlah penduduk Syi‘ah dan meratakan masjid-masjid Syi‘ah dengan tanah.[25]
Al-Hawali dan al-‘Audah bukan berarti tidak menyadari perkembangan-perkembangan yang terjadi di dunia luar, dan kesahihan sebagian tesis mereka tentang Perang Teluk dan proses politik di Amerika tidak perlu diingkari. Namun, mereka tidak memiliki pengalaman langsung tentang Barat, dan tetap nyaris tidak dikenal di sana. Berbeda dengan kedua tokoh tersebut adalah dua figur oposisi lainnya, yang masing-masing dengan caranya sendiri menjadi pengikut Wahhabisme, yakni Muhammad al-Mis‘ari dan Sa‘d al-Faqih.
Tokoh pertama adalah pemimpin Komite Pembela Hak-hak Hukum (Lajnah al-Difâ‘ ‘an al-Huqûq al-Syar‘iyyah), sebuah lembaga yang didirikan pada Mei 1993 oleh sebuah dewan ulama yang diketuai oleh ayahnya, Syaikh ‘Abdullah al-Mis‘ari.[26] Muhammad al-Mis‘ari, yang bertindak sebagai juru bicara lembaga ini, ditahan pada tanggal 15 Mei dan sebuah kampanye propaganda dilancarkan terhadap Komite tersebut, yang direspon oleh lembaga itu dengan membuat klarifikasi mengenai tujuan lembaga tersebut pada 26 Mei. Para penandatangan klarifikasi itu menekankan watak reformis tujuan mereka, mengklaim bahwa mereka sepenuhnya sejalan dengan institusi-institusi yang ada, dan pada akhirnya menegaskan bahwa “seluruh anggota komite ini meyakini doktrin Ahl al-Sunnah dan mematuhi norma-norma doktrin tersebut, termasuk dalam hal sikap terhadap penguasa.”[27] Penegasan ini tidak diragukan lagi dimaksudkan untuk menyampaikan dua pesan: pertama, para anggota Komite, kendati sikap resmi yang mereka tunjukkan justru sebaliknya, tidak memiliki kaitan dengan aliran Syi‘ah, dan sebaliknya tetap loyal kepada kelompok Sunni (baca: Wahhabi); kedua, mereka bermaksud menghormati larangan atas pemberontakan terhadap penguasa sebagaimana
yang menjadi bagian dari doktrin Ahl al-Sunnah tersebut.
Pada kenyataannya di Najad, wilayah asal lahirnya Wahhabisme, deklarasi dan komunike Komite tersebut sangat disambut baik. Muhammad al-Mis‘ari dipindahkan ke London pada suatu waktu di tahun 1994. Dengan memanfaatkan media yang tersedia di sana, ia secara efektif menjadi pimpinan organisasi itu dan mulai memublikasikan penyimpangan-penyimpangan rezim Saud di tempat pengasingannya itu.[28]
Pada 1995 ia bergerak melampaui tujuan awal reformis kelompok ini dengan menerbitkan sebuah karya berjudul al-Adillah al-Qath‘iyyah ‘ala ‘Adam Syar‘iyyah al-Dawlah al-Sa‘udiyyah (Bukti-bukti Nyata tentang Ketiadaan Legitimasi Negara Saudi). Mungkin hal yang paling mencolok dari buku ini adalah kritiknya terhadap Muhammad bin ‘Abd al-Wahhab sendiri karena menjalin aliansi dengan keluarga Saudi yang, menurutnya, telah menyimpang dari tujuan Wahhabi yang dianggap universal.[29]
Namun demikian, terdapat nuansa Wahhabisme dalam skema politik yang diajukannya, karena negara Islam ideal yang dipahaminya akan mencegah penduduk Syi‘ah di Arab Saudi untuk bisa memegang posisi-posisi yang berpengaruh.[30]
Namun, gambarannya agak campur-aduk, karena pada masa belakangan ia terlibat dialog dengan ulama Syi‘ah yang bermukim di London, seperti Ayatullah Mushin Araki, dan memberikan wawancara bagi Kantor Berita Iran, IRNA (Islamic Republic News Agency).[31]
Adapun Sa‘d al-Faqih memulai karirnya sebagai aktivis Komite Pembela Hak-hak Hukum, tetapi kemudian memisahkan diri darinya (atau, menurut al-Mis‘ari, dikeluarkan dari organisasi tersebut) pada 1996 dan membentuk sebuah organisasi baru bernama Gerakan Pembaruan Islam (al-Harakah al-Islamiyyah li ‘l-Islâh), yang hendak memelihara tujuan awal dari Komite Pembela Hak-hak Hukum. Jika pernyataan maksud itu lebih dari sekadar buah pertikaian organisasi dengan Muhammad al-Mis‘ari, hal itu berarti bahwa Sa‘d al-Faqih juga mendasarkan gerakannya dalam kesetiaan kepada Wahhabisme.
Dikatakan bahwa organisasinya itu mengikuti fikih Hanbali secara sempit dan “menyandarkan penafsiran dan wacananya” pada tulisan-tulisan Muhammad bin ‘Abd al-Wahhab, serta Ibn Taymiyyah dan Ibn Qayyim al-Jawziyyah. Namun, organisasi itu lebih memilih label Salafi daripada Wahhabi.
Sa‘d al-Faqih menyatakan bahwa dirinya siap mengakomodasi kelompok Syi‘ah, tetapi ia juga menjelaskan penolakannya untuk menjalin hubungan yang bersahabat dengan wakil-wakil komunitas Syi‘ah tersebut lantaran prasangka para pendukungnya di wilayah Arab.[32] Tidak mungkin untuk mengukur dukungan dari dalam Arab Saudi terhadap Komite Pembela Hak-hak Hukum atau MIRA. Namun, bagi sejumlah ulama Wahhabi di negeri itu, sesudah terjadinya peristiwa 11 Sepetember 2001, persoalannya tidak dapat dibalik kembali, dan dukungan yang agak raguragu diberikan oleh rezim Saudi atas serangan Amerika terhadap Afghanistan. Sejumlah fatwa telah dikeluarkan oleh Syaikh Hamud al-Syu‘aybi dan ‘Abdullah bin Jibrin, yang tidak hanya membenarkan serangan terhadap World Trade Center— yang dengan demikian mengabaikan dan “menganggap omong kosong” seluruh pembicaraan tentang para korban yang tak berdosa—tetapi juga mengutuk orang-orang murtad dan kaum Muslim siapa pun yang berkolaborasi dengan Amerika, sebuah kategori yang jelas di dalamnya termasuk keluarga Saudi.[33]
Dua raisons d’être rezim Saudi—tunduk kepada kekuatan-kekuatan asing dan menjadi pengikut sekte Wahhabi—kini terbukti semakin tidak sejalan. Tidak keliru—dalam pengertian harfiah kata itu—untuk berharap bahwa jika monarki Saud runtuh, sesuatu yang berbeda dari rezim Wahhabi yang konservatif akan muncul dari puing-puing monarki tersebut.
Catatan Kaki
[24] Dikutip oleh Mamoun Fandi, Saudi Arabia and the Politics of Dissent, New York, 2001, h. 101. Tuntutan ini bukanlah hal yang baru. Setidaknya sejak 1927, ulama Wahhabi telah mengeluarkan fatwa yang mengancam untuk menjatuhkan hukuman pengusiran seluruh kaum Syi‘ah di al-Ahsa jika mereka tidak setuju dengan penghancuran masjid-masjid mereka dan indoktrinasi Wahhabisme.
[25] Said K. Aburish, The House of Saud, h. 110-111.
[26] Arabia Monitor, II:5 (May 1993), h. 1. Anggota lain dewan tersebut adalah Hamd al-Sulayfiyyah, ‘Abdullah al-Hamid dan ‘Abdullah al-Tuwaijiri. Lihat Fandy, Saudi Arabia and the Politics of Dissent, h. 118-119.
[27] Arabia Monitor, II:6 (June 1993), h. 4.
[28] Pada akhirnya upaya gagal untuk membungkam al-Mis‘ari atau bahkan untuk mendeportasinya dari Inggris ke Dominika di Hindia Barat memberi ilustrasi yang menarik tentang ikatan kuat yang masih ada antara Inggris dan rezim Saudi. Pemerintah Inggris masa itu mencoba untuk menjustifikasi
sikapnya dengan menunjuk berbagai perjanjian pengadaan senjata yang masih tertunda dengan
Arab Saudi, sehingga toleransi terhadap al-Mis‘ari diduga membahayakan.
[29] Al-Adillah al-Qath‘iyyah ‘ala ‘Adam Syar‘iyyah al-Daulah al-Sa‘udiyyah, h. 233.
[30] Fandy, Saudi Arabia and the Politics of Dissent, h. 146.
[31] Fandy, Saudi Arabia and the Politics of Dissent, h. 173.
[32] Lihat Fandy, Saudi Arabia and the Politics of Dissent, h. 161-162, 173.
[33] Fatwa-fatwa tersebut terdapat dalam www.as-sahwah.com, 15 Oktober
2001.
Judul buku: Wahabisme Sebuah Tinjauan Kritis
Penulis: Hamid Algar
Penerbit: Democracy Project
Tempat/Tahun terbit: Jakarta 2011
Diterjemahkan dari:
Wahhabism: A Critical Essay
(Oneonta, New York; Islamic Publication International, 2002)
Penulis: Hamid Algar
Penerjemah: Rudy Harisyah Alam
Editor: Ihsan Ali-Fauzi
Penyelaras Akhir: Achmad Rifki dan Saidiman
Daftar Isi
Sikap Wahabi pada Syiah
Namun demikian, pangkalan-pangkalan militer baru secara tepat ditafsirkan bahwa pangkalan-pangkalan itu dimaksudkan untuk menjadi lebih terang-terangan, permanen dan luas dibandingkan dengan yang telah ada sebelumnya. Hal lain yang juga dipandang sama-sama menyinggung perasaan adalah fenomena sejumlah perempuan yang membawa kendaraan sendiri dan mengendarainya berkeliling Kota Riyad. Sejumlah ulama
Wahhabi mengecam perkembangan-perkembangan tersebut, terutama di antara mereka adalah Safar bin ‘Abd al-Rahman al-Hawali dan Salman bin Fahd al-‘Audah, yang kepedihan mereka diganjar dengan penjara yang cukup lama. Perlu dicatat bahwa keprihatian terhadap kehadiran Amerika dan akibat-akibat budaya yang dikira mungkin lahir akibat kehadiran tersebut tidak menggantikan obsesi lama kelompok Wahhabi terhadap Syi‘ah. Dalam sebuah khotbah berjudul “Apa yang Allah telah tetapkan bagi Semenanjung [Arab] ini” (Qadar Allâh fî hâdzihi ‘l-Jazîrah), Salman bin Fahd al-‘Audah menekankan apa yang ia pandang sebagai sentralitas Wahhabisme bagi kesejahteraan Semenanjung Arab (yang dianggap sebagai jantung, bukan hanya dalam arti geografis, seluruh dunia Muslim). Sebagai konsekuensinya, ia menyerukan pengusiran penduduk Syi‘ah, yang disebut dengan istilah pejoratif al-rafîdah.[24]
Lebih buruk lagi, pada 1991, ‘Abdullah bin Jibrin mengeluarkan fatwa yang mengutuk kelompok Muslim Syi‘ah sebagai “musyrikîn yang darahnya boleh ditumpahkan.” Mungkin untuk mengalihkan amarah Wahhabi dari dirinya sendiri, pada tahun berikutnya, rezim Saudi memenjarakan dan mengeksekusi sejumlah penduduk Syi‘ah dan meratakan masjid-masjid Syi‘ah dengan tanah.[25]
Al-Hawali dan al-‘Audah bukan berarti tidak menyadari perkembangan-perkembangan yang terjadi di dunia luar, dan kesahihan sebagian tesis mereka tentang Perang Teluk dan proses politik di Amerika tidak perlu diingkari. Namun, mereka tidak memiliki pengalaman langsung tentang Barat, dan tetap nyaris tidak dikenal di sana. Berbeda dengan kedua tokoh tersebut adalah dua figur oposisi lainnya, yang masing-masing dengan caranya sendiri menjadi pengikut Wahhabisme, yakni Muhammad al-Mis‘ari dan Sa‘d al-Faqih.
Tokoh pertama adalah pemimpin Komite Pembela Hak-hak Hukum (Lajnah al-Difâ‘ ‘an al-Huqûq al-Syar‘iyyah), sebuah lembaga yang didirikan pada Mei 1993 oleh sebuah dewan ulama yang diketuai oleh ayahnya, Syaikh ‘Abdullah al-Mis‘ari.[26] Muhammad al-Mis‘ari, yang bertindak sebagai juru bicara lembaga ini, ditahan pada tanggal 15 Mei dan sebuah kampanye propaganda dilancarkan terhadap Komite tersebut, yang direspon oleh lembaga itu dengan membuat klarifikasi mengenai tujuan lembaga tersebut pada 26 Mei. Para penandatangan klarifikasi itu menekankan watak reformis tujuan mereka, mengklaim bahwa mereka sepenuhnya sejalan dengan institusi-institusi yang ada, dan pada akhirnya menegaskan bahwa “seluruh anggota komite ini meyakini doktrin Ahl al-Sunnah dan mematuhi norma-norma doktrin tersebut, termasuk dalam hal sikap terhadap penguasa.”[27] Penegasan ini tidak diragukan lagi dimaksudkan untuk menyampaikan dua pesan: pertama, para anggota Komite, kendati sikap resmi yang mereka tunjukkan justru sebaliknya, tidak memiliki kaitan dengan aliran Syi‘ah, dan sebaliknya tetap loyal kepada kelompok Sunni (baca: Wahhabi); kedua, mereka bermaksud menghormati larangan atas pemberontakan terhadap penguasa sebagaimana
yang menjadi bagian dari doktrin Ahl al-Sunnah tersebut.
Pada kenyataannya di Najad, wilayah asal lahirnya Wahhabisme, deklarasi dan komunike Komite tersebut sangat disambut baik. Muhammad al-Mis‘ari dipindahkan ke London pada suatu waktu di tahun 1994. Dengan memanfaatkan media yang tersedia di sana, ia secara efektif menjadi pimpinan organisasi itu dan mulai memublikasikan penyimpangan-penyimpangan rezim Saud di tempat pengasingannya itu.[28]
Pada 1995 ia bergerak melampaui tujuan awal reformis kelompok ini dengan menerbitkan sebuah karya berjudul al-Adillah al-Qath‘iyyah ‘ala ‘Adam Syar‘iyyah al-Dawlah al-Sa‘udiyyah (Bukti-bukti Nyata tentang Ketiadaan Legitimasi Negara Saudi). Mungkin hal yang paling mencolok dari buku ini adalah kritiknya terhadap Muhammad bin ‘Abd al-Wahhab sendiri karena menjalin aliansi dengan keluarga Saudi yang, menurutnya, telah menyimpang dari tujuan Wahhabi yang dianggap universal.[29]
Namun demikian, terdapat nuansa Wahhabisme dalam skema politik yang diajukannya, karena negara Islam ideal yang dipahaminya akan mencegah penduduk Syi‘ah di Arab Saudi untuk bisa memegang posisi-posisi yang berpengaruh.[30]
Namun, gambarannya agak campur-aduk, karena pada masa belakangan ia terlibat dialog dengan ulama Syi‘ah yang bermukim di London, seperti Ayatullah Mushin Araki, dan memberikan wawancara bagi Kantor Berita Iran, IRNA (Islamic Republic News Agency).[31]
Adapun Sa‘d al-Faqih memulai karirnya sebagai aktivis Komite Pembela Hak-hak Hukum, tetapi kemudian memisahkan diri darinya (atau, menurut al-Mis‘ari, dikeluarkan dari organisasi tersebut) pada 1996 dan membentuk sebuah organisasi baru bernama Gerakan Pembaruan Islam (al-Harakah al-Islamiyyah li ‘l-Islâh), yang hendak memelihara tujuan awal dari Komite Pembela Hak-hak Hukum. Jika pernyataan maksud itu lebih dari sekadar buah pertikaian organisasi dengan Muhammad al-Mis‘ari, hal itu berarti bahwa Sa‘d al-Faqih juga mendasarkan gerakannya dalam kesetiaan kepada Wahhabisme.
Dikatakan bahwa organisasinya itu mengikuti fikih Hanbali secara sempit dan “menyandarkan penafsiran dan wacananya” pada tulisan-tulisan Muhammad bin ‘Abd al-Wahhab, serta Ibn Taymiyyah dan Ibn Qayyim al-Jawziyyah. Namun, organisasi itu lebih memilih label Salafi daripada Wahhabi.
Sa‘d al-Faqih menyatakan bahwa dirinya siap mengakomodasi kelompok Syi‘ah, tetapi ia juga menjelaskan penolakannya untuk menjalin hubungan yang bersahabat dengan wakil-wakil komunitas Syi‘ah tersebut lantaran prasangka para pendukungnya di wilayah Arab.[32] Tidak mungkin untuk mengukur dukungan dari dalam Arab Saudi terhadap Komite Pembela Hak-hak Hukum atau MIRA. Namun, bagi sejumlah ulama Wahhabi di negeri itu, sesudah terjadinya peristiwa 11 Sepetember 2001, persoalannya tidak dapat dibalik kembali, dan dukungan yang agak raguragu diberikan oleh rezim Saudi atas serangan Amerika terhadap Afghanistan. Sejumlah fatwa telah dikeluarkan oleh Syaikh Hamud al-Syu‘aybi dan ‘Abdullah bin Jibrin, yang tidak hanya membenarkan serangan terhadap World Trade Center— yang dengan demikian mengabaikan dan “menganggap omong kosong” seluruh pembicaraan tentang para korban yang tak berdosa—tetapi juga mengutuk orang-orang murtad dan kaum Muslim siapa pun yang berkolaborasi dengan Amerika, sebuah kategori yang jelas di dalamnya termasuk keluarga Saudi.[33]
Dua raisons d’être rezim Saudi—tunduk kepada kekuatan-kekuatan asing dan menjadi pengikut sekte Wahhabi—kini terbukti semakin tidak sejalan. Tidak keliru—dalam pengertian harfiah kata itu—untuk berharap bahwa jika monarki Saud runtuh, sesuatu yang berbeda dari rezim Wahhabi yang konservatif akan muncul dari puing-puing monarki tersebut.
Catatan Kaki
[24] Dikutip oleh Mamoun Fandi, Saudi Arabia and the Politics of Dissent, New York, 2001, h. 101. Tuntutan ini bukanlah hal yang baru. Setidaknya sejak 1927, ulama Wahhabi telah mengeluarkan fatwa yang mengancam untuk menjatuhkan hukuman pengusiran seluruh kaum Syi‘ah di al-Ahsa jika mereka tidak setuju dengan penghancuran masjid-masjid mereka dan indoktrinasi Wahhabisme.
[25] Said K. Aburish, The House of Saud, h. 110-111.
[26] Arabia Monitor, II:5 (May 1993), h. 1. Anggota lain dewan tersebut adalah Hamd al-Sulayfiyyah, ‘Abdullah al-Hamid dan ‘Abdullah al-Tuwaijiri. Lihat Fandy, Saudi Arabia and the Politics of Dissent, h. 118-119.
[27] Arabia Monitor, II:6 (June 1993), h. 4.
[28] Pada akhirnya upaya gagal untuk membungkam al-Mis‘ari atau bahkan untuk mendeportasinya dari Inggris ke Dominika di Hindia Barat memberi ilustrasi yang menarik tentang ikatan kuat yang masih ada antara Inggris dan rezim Saudi. Pemerintah Inggris masa itu mencoba untuk menjustifikasi
sikapnya dengan menunjuk berbagai perjanjian pengadaan senjata yang masih tertunda dengan
Arab Saudi, sehingga toleransi terhadap al-Mis‘ari diduga membahayakan.
[29] Al-Adillah al-Qath‘iyyah ‘ala ‘Adam Syar‘iyyah al-Daulah al-Sa‘udiyyah, h. 233.
[30] Fandy, Saudi Arabia and the Politics of Dissent, h. 146.
[31] Fandy, Saudi Arabia and the Politics of Dissent, h. 173.
[32] Lihat Fandy, Saudi Arabia and the Politics of Dissent, h. 161-162, 173.
[33] Fatwa-fatwa tersebut terdapat dalam www.as-sahwah.com, 15 Oktober
2001.