Saudi, Wahabi, dan Taliban
Pimpinan Taliban, Mulla Rabbani berkunjung ke Riyad. Pada akhir pertemuan itu ia mengatakan: “Raja Fahd mengungkapkan kegembiraan atas langkah-langkah baik yang diambil Taliban dan atas penerapan syari’ah di negeri kami"
Pimpinan Taliban, Mulla Rabbani berkunjung ke Riyad. Pada akhir pertemuan itu ia mengatakan: “Raja Fahd mengungkapkan kegembiraan atas langkah-langkah baik yang diambil Taliban dan atas penerapan syari’ah di negeri kami"
Judul buku: Wahabisme Sebuah Tinjauan Kritis
Penulis: Hamid Algar
Penerbit: Democracy Project
Tempat/Tahun terbit: Jakarta 2011
Diterjemahkan dari:
Wahhabism: A Critical Essay
(Oneonta, New York; Islamic Publication International, 2002)
Penulis: Hamid Algar
Penerjemah: Rudy Harisyah Alam
Editor: Ihsan Ali-Fauzi
Penyelaras Akhir: Achmad Rifki dan Saidiman
Daftar Isi
Wahabi dan Taliban
Pada April 1997, seorang anggota pimpinan Taliban, almarhum Mulla Rabbani (yang
orang ini hendaknya tidak dikacaukan dengan Burhanuddin Rabbani, presiden Afghanistan sebelum era Taliban, yang kini telah terjun ke dunia bisnis di Kabul berkat kebaikan Angkatan Udara Amerika Serikat) berkunjung ke Riyad. Pada akhir
pertemuan itu ia mengatakan: “Raja Fahd mengungkapkan kegembiraan atas langkah-langkah baik yang diambil Taliban dan atas penerapan syari’ah di negeri kami” (dikutip oleh Robert Fisk, “Saudis Turn Their Backs on the Taliban”, Independent,
27 Sepetember 2001).
Permusuhan yang terutama dipenuhi rasa kebencian yang diperlihatkan kelompok Taliban terhadap penduduk Hazara—termasuk pembantaian terhadap sekitar 5.000 orang setelah penaklukan kedua yang dilakukan Taliban atas Mazar-i Syarif pada 1998 serta kekejaman-kekejaman yang dilakukan pada masa lebih belakangan di wilayah Bamiyan, dan perbudakan yang dilakukan terhadap para wanita Hazara sebagai gundik—harus dijelaskan dengan kenyataan bahwa penduduk Hazara adalah kaum Syi‘ah.[20]
Tindakan-tindakan lainnya yang mengingatkan kita pada ajaran klasik Wahhabisme adalah pelarangan terhadap permainan atau hiburan ringan yang tidak berbahaya, seperti menerbangkan layang-layang oleh anak-anak, penekanan untuk mengatur detail
rambut wajah, mengharuskan pelaksanaan salat berjamaah, dan pengucilan perempuan dari seluruh bentuk aktivitas sosial dan ekonomi.[21]
Namun, runtuhnya rezim Taliban tidak berarti berakhirnya hari-hari Wahhabisme di Afghanistan. ‘Abd al-Rasul Sayyaf, salah seorang pemimpin dari apa yang disebut
Aliansi Utara, adalah seorang Wahhabi yang sangat yakin seperti halnya setiap pemimpin Taliban. Ia juga bertanggungjawab atas pembunuhan kaum Syi‘ah pada masa-masa berlangsungnya anarki di Kabul sebelum naiknya kelompok Taliban ke kursi kekuasaan.
Ulama-ulama Wahhabi di Arab Saudi jelas merasa gundah dengan berakhirnya rezim Taliban. Dalam sebuah deklarasi tanpa tanggal yang dimuat di dalam situs web Wahhabi pada 5 Desember 2001, sepuluh dari mereka mengecam akibat-akibat masuknya Aliansi Utara—yang digambarkan sebagai terdiri dari “kelompok Komunis, Syi‘ah dan orang-orang munafik”— ke Kabul sebagai berikut: “Mereka membuka kembali tempat-tempat syirik yang telah ditutup oleh Taliban [yang dimaksudkan dengan ini agaknya adalah khanaqah-khanaqah Sufi], mencukur jenggot, menanggalkan hijab, menyebarkan
musik dan nyanyian, dan mempertontonkan film-film.” Masih tidak pasti apakah Aliansi Utara akan terbukti kurang berbahaya dibandingkan Taliban, namun yang terlihat mencolok dari tokoh-tokoh Aliansi Utara itu adalah bahwa mereka sama
sekali tidak peduli terhadap penderitaan yang nyata dan akut dari rakyat Afghan, dan bahwa mereka memusatkan perhatian terutama untuk melakukan sensor isu-isu seperti yang telah disebutkan di atas. Hal buruk lainnya juga dapat dilihat
dari pernyataan mereka mengenai serangan terhadap World Trade Center sebagai “hukuman Tuhan”. Suatu teka-teki untuk mengetahui kesalahan macam apa yang layak menerima hukuman Tuhan yang dilakukan orang-orang yang akan pergi bekerja itu, jika orang tidak menggunakan alasan yang tidak dapat diterima yang dipandang berasal dari al-Qur’an mengenai kepercayaan terhadap kesalahan kolektif. Sepuluh ulama
terkemuka juga berpendapat bahwa “ketakutan dan menyebarnya wabah penyakit menyusul
peristiwa [11 September] itu” merupakan contoh dari sunnatullah. Bagi penulis, mengatakan kematian para pekerja pos yang tidak terduga akibat menangani surat yang mengandung virus anthrax sebagai manifestasi dari kehendak dan kebijaksanaan Tuhan adalah semacam penghinaan.[22]
Adapun di wilayah Arab yang menjadi tempat asal Wahhabisme, aliansi historis antara kelompok Wahhabi dan keluarga Saudi telah terputus untuk beberapa waktu. Pemberontakan di Mekkah pada awal Nopember 1979, yang dipimpin oleh Juhayman
Muhammad ‘Utaybi, merepresentasikan kebangkitan kelompok Ikhwan Wahhabi secara tiba-tiba dan tak terduga.
Pemberontakan itu ditumpas oleh pasukan Perancis yang diberi dispensasi khusus oleh para ulama Wahhabi yang loyal kepada rezim Saud untuk memasuki Masjid Al-Haram dan membunuh para pemberontak dengan membanjiri masjid itu dan kemudian mengalirkan
arus listrik guna menyetrum mereka.[23]
Akan tetapi, Perang Teluk tahun 1991 dan ekspansi besar kehadiran militer Amerika yang menyertai perang itulah yang membuat semakin lebarnya jurang antara kelompok Wahhabi dan rezim Saud. Dengan kehadiran para perwira Inggris di Najad sejak Perang Dunia I dan pangkalan udara Amerika di Dahran sejak lama, maka hampir bukan suatu hal yang baru jika rezim Saudi mengundang kekuatan-kekuatan asing untuk menancapkan kuku mereka di wilayah Arab (atau, mungkin lebih tepatnya, untuk merestui
tindakan-tindakan rezim Saudi).
Catatan Kaki
[20] Supaya adil, hal berikut ini perlu disebut. Dalam percakapan dengan Sayyid ‘Ali Khamenei pada Juni 1997 yang juga dihadiri penulis, dua perwakilan organisasi Syi‘ah Afghan mengeluh bahwa Iran tidak memberi bantuan yang memadai bagi perjuangan mereka untuk tetap bertahan. Dalam jawabannya Ayatullah Khamenei mengecam oragnisasi tersebut karena dalam konfliknya dengan Taliban mereka melakukan kebrutalan yang sama dengan yang dituduhkan kepada mereka. Yang ada dalam pikirannya mungkin adalah pembantaian garnisun Taliban di Mazar-i Syarif yang
terjadi pada bulan sebelumnya. Hal ini bisa digolongkan sebagai peringatan yang masuk akal atau sebagai tindakan balas dendam, lantaran pembunuhan massal kaum Syi‘ah yang melibatkan kaum Taliban di berbagai tempat di Afghanistan.
[21] Mengenai contoh keputusan Taliban, lihat Ahmad Rashid, Taliban, h. 217-219.
[22] “Important Declaration from Ten Scholars after Taliban withdrawal,”
www.as-sahwah.com. Para penandatangan adalah ‘Abd al-Rahman b. Salih al-Mahmud, Ahmad b. Salih al-Sinani, Sa‘d al-Humayd, ‘Abd al-‘Aziz b. Muhammad Al ‘Abd al-Latif, ‘Abd al-‘Aziz b. Nasir al-Jalil, Hamd b. Ris, Farih b. Salih al-Bihlal, Hamd b. ‘Abdullah al-Humaydi, dan Nasir b. Hamd al-Fahd.
[23] Said K. Aburish, The House of Saud, h. 118; Intifadat al-Haram,
sebuah buku kecil yang diterbitkan oleh Munazzamat al-Tsaurah al-
Islamiyyah fi ‘l-Jazirah al-‘Arabiyyah (Organization of the Islamic Revolution
in the Arabian Peninsula), tanpa penerbit (Tehran?), tanpa tahun.
Judul buku: Wahabisme Sebuah Tinjauan Kritis
Penulis: Hamid Algar
Penerbit: Democracy Project
Tempat/Tahun terbit: Jakarta 2011
Diterjemahkan dari:
Wahhabism: A Critical Essay
(Oneonta, New York; Islamic Publication International, 2002)
Penulis: Hamid Algar
Penerjemah: Rudy Harisyah Alam
Editor: Ihsan Ali-Fauzi
Penyelaras Akhir: Achmad Rifki dan Saidiman
Daftar Isi
Wahabi dan Taliban
Pada April 1997, seorang anggota pimpinan Taliban, almarhum Mulla Rabbani (yang
orang ini hendaknya tidak dikacaukan dengan Burhanuddin Rabbani, presiden Afghanistan sebelum era Taliban, yang kini telah terjun ke dunia bisnis di Kabul berkat kebaikan Angkatan Udara Amerika Serikat) berkunjung ke Riyad. Pada akhir
pertemuan itu ia mengatakan: “Raja Fahd mengungkapkan kegembiraan atas langkah-langkah baik yang diambil Taliban dan atas penerapan syari’ah di negeri kami” (dikutip oleh Robert Fisk, “Saudis Turn Their Backs on the Taliban”, Independent,
27 Sepetember 2001).
Permusuhan yang terutama dipenuhi rasa kebencian yang diperlihatkan kelompok Taliban terhadap penduduk Hazara—termasuk pembantaian terhadap sekitar 5.000 orang setelah penaklukan kedua yang dilakukan Taliban atas Mazar-i Syarif pada 1998 serta kekejaman-kekejaman yang dilakukan pada masa lebih belakangan di wilayah Bamiyan, dan perbudakan yang dilakukan terhadap para wanita Hazara sebagai gundik—harus dijelaskan dengan kenyataan bahwa penduduk Hazara adalah kaum Syi‘ah.[20]
Tindakan-tindakan lainnya yang mengingatkan kita pada ajaran klasik Wahhabisme adalah pelarangan terhadap permainan atau hiburan ringan yang tidak berbahaya, seperti menerbangkan layang-layang oleh anak-anak, penekanan untuk mengatur detail
rambut wajah, mengharuskan pelaksanaan salat berjamaah, dan pengucilan perempuan dari seluruh bentuk aktivitas sosial dan ekonomi.[21]
Namun, runtuhnya rezim Taliban tidak berarti berakhirnya hari-hari Wahhabisme di Afghanistan. ‘Abd al-Rasul Sayyaf, salah seorang pemimpin dari apa yang disebut
Aliansi Utara, adalah seorang Wahhabi yang sangat yakin seperti halnya setiap pemimpin Taliban. Ia juga bertanggungjawab atas pembunuhan kaum Syi‘ah pada masa-masa berlangsungnya anarki di Kabul sebelum naiknya kelompok Taliban ke kursi kekuasaan.
Ulama-ulama Wahhabi di Arab Saudi jelas merasa gundah dengan berakhirnya rezim Taliban. Dalam sebuah deklarasi tanpa tanggal yang dimuat di dalam situs web Wahhabi pada 5 Desember 2001, sepuluh dari mereka mengecam akibat-akibat masuknya Aliansi Utara—yang digambarkan sebagai terdiri dari “kelompok Komunis, Syi‘ah dan orang-orang munafik”— ke Kabul sebagai berikut: “Mereka membuka kembali tempat-tempat syirik yang telah ditutup oleh Taliban [yang dimaksudkan dengan ini agaknya adalah khanaqah-khanaqah Sufi], mencukur jenggot, menanggalkan hijab, menyebarkan
musik dan nyanyian, dan mempertontonkan film-film.” Masih tidak pasti apakah Aliansi Utara akan terbukti kurang berbahaya dibandingkan Taliban, namun yang terlihat mencolok dari tokoh-tokoh Aliansi Utara itu adalah bahwa mereka sama
sekali tidak peduli terhadap penderitaan yang nyata dan akut dari rakyat Afghan, dan bahwa mereka memusatkan perhatian terutama untuk melakukan sensor isu-isu seperti yang telah disebutkan di atas. Hal buruk lainnya juga dapat dilihat
dari pernyataan mereka mengenai serangan terhadap World Trade Center sebagai “hukuman Tuhan”. Suatu teka-teki untuk mengetahui kesalahan macam apa yang layak menerima hukuman Tuhan yang dilakukan orang-orang yang akan pergi bekerja itu, jika orang tidak menggunakan alasan yang tidak dapat diterima yang dipandang berasal dari al-Qur’an mengenai kepercayaan terhadap kesalahan kolektif. Sepuluh ulama
terkemuka juga berpendapat bahwa “ketakutan dan menyebarnya wabah penyakit menyusul
peristiwa [11 September] itu” merupakan contoh dari sunnatullah. Bagi penulis, mengatakan kematian para pekerja pos yang tidak terduga akibat menangani surat yang mengandung virus anthrax sebagai manifestasi dari kehendak dan kebijaksanaan Tuhan adalah semacam penghinaan.[22]
Adapun di wilayah Arab yang menjadi tempat asal Wahhabisme, aliansi historis antara kelompok Wahhabi dan keluarga Saudi telah terputus untuk beberapa waktu. Pemberontakan di Mekkah pada awal Nopember 1979, yang dipimpin oleh Juhayman
Muhammad ‘Utaybi, merepresentasikan kebangkitan kelompok Ikhwan Wahhabi secara tiba-tiba dan tak terduga.
Pemberontakan itu ditumpas oleh pasukan Perancis yang diberi dispensasi khusus oleh para ulama Wahhabi yang loyal kepada rezim Saud untuk memasuki Masjid Al-Haram dan membunuh para pemberontak dengan membanjiri masjid itu dan kemudian mengalirkan
arus listrik guna menyetrum mereka.[23]
Akan tetapi, Perang Teluk tahun 1991 dan ekspansi besar kehadiran militer Amerika yang menyertai perang itulah yang membuat semakin lebarnya jurang antara kelompok Wahhabi dan rezim Saud. Dengan kehadiran para perwira Inggris di Najad sejak Perang Dunia I dan pangkalan udara Amerika di Dahran sejak lama, maka hampir bukan suatu hal yang baru jika rezim Saudi mengundang kekuatan-kekuatan asing untuk menancapkan kuku mereka di wilayah Arab (atau, mungkin lebih tepatnya, untuk merestui
tindakan-tindakan rezim Saudi).
Catatan Kaki
[20] Supaya adil, hal berikut ini perlu disebut. Dalam percakapan dengan Sayyid ‘Ali Khamenei pada Juni 1997 yang juga dihadiri penulis, dua perwakilan organisasi Syi‘ah Afghan mengeluh bahwa Iran tidak memberi bantuan yang memadai bagi perjuangan mereka untuk tetap bertahan. Dalam jawabannya Ayatullah Khamenei mengecam oragnisasi tersebut karena dalam konfliknya dengan Taliban mereka melakukan kebrutalan yang sama dengan yang dituduhkan kepada mereka. Yang ada dalam pikirannya mungkin adalah pembantaian garnisun Taliban di Mazar-i Syarif yang
terjadi pada bulan sebelumnya. Hal ini bisa digolongkan sebagai peringatan yang masuk akal atau sebagai tindakan balas dendam, lantaran pembunuhan massal kaum Syi‘ah yang melibatkan kaum Taliban di berbagai tempat di Afghanistan.
[21] Mengenai contoh keputusan Taliban, lihat Ahmad Rashid, Taliban, h. 217-219.
[22] “Important Declaration from Ten Scholars after Taliban withdrawal,”
www.as-sahwah.com. Para penandatangan adalah ‘Abd al-Rahman b. Salih al-Mahmud, Ahmad b. Salih al-Sinani, Sa‘d al-Humayd, ‘Abd al-‘Aziz b. Muhammad Al ‘Abd al-Latif, ‘Abd al-‘Aziz b. Nasir al-Jalil, Hamd b. Ris, Farih b. Salih al-Bihlal, Hamd b. ‘Abdullah al-Humaydi, dan Nasir b. Hamd al-Fahd.
[23] Said K. Aburish, The House of Saud, h. 118; Intifadat al-Haram,
sebuah buku kecil yang diterbitkan oleh Munazzamat al-Tsaurah al-
Islamiyyah fi ‘l-Jazirah al-‘Arabiyyah (Organization of the Islamic Revolution
in the Arabian Peninsula), tanpa penerbit (Tehran?), tanpa tahun.