Beda Wahabi dan Salafi
Apa perbedaan antara kaum Wahabi dan Salafi? Sebagian pendapat menyatakan bahwa keduanya bagai pinang dibelah dua. Tidak ada beda. Sebagian lagi menyatakan ada sedikit perbedaan antara keduanya di mana Salafi belum tentu Wahabi, sedangkan Wahabi sudah pasti Wahabi.
Apa perbedaan antara kaum Wahabi dan Salafi? Sebagian pendapat menyatakan bahwa keduanya bagai pinang dibelah dua. Tidak ada beda. Sebagian lagi menyatakan ada sedikit perbedaan antara keduanya di mana Salafi belum tentu Wahabi, sedangkan Wahabi sudah pasti Wahabi.
Judul buku: Wahabisme Sebuah Tinjauan Kritis
Penulis: Hamid Algar
Penerbit: Democracy Project
Tempat/Tahun terbit: Jakarta 2011
Diterjemahkan dari:
Wahhabism: A Critical Essay
(Oneonta, New York; Islamic Publication International, 2002)
Penulis: Hamid Algar
Penerjemah: Rudy Harisyah Alam
Editor: Ihsan Ali-Fauzi
Penyelaras Akhir: Achmad Rifki dan Saidiman
Daftar Isi
Beda Wahabi dan Salafi
Mungkin tidak keliru untuk melihat dalam perkembangan itu semacam pengaruh tertunda dari kaum Wahhabi berkaitan dengan tindakan memberi cap terhadap seluruh kaum Muslim (yang bukan kelompok mereka—peny.) sebagai orang yang telah berbuat syirik (musyrikîn). Namun demikian, ada dua ciri penting yang saling terkait untuk membedakan kaum Salafi dari kaum Wahhabi.
Pertama, kaum Salafi lebih menekankan persuasi daripada pemaksaan dalam rangka mengajak kaum Muslim untuk menerima pandangan mereka. Kedua, kaum Salafi memiliki kesadaran dan pengetahuan mengenai krisis politik dan sosial-ekonomi yang melanda Dunia Islam.
Betapapun, baru pada era 1960-an hubungan yang lebih erat antara kaum Salafi dan Wahhabisme terjadi, bukan hanya sebagai hasil dari penyebarluasan Wahhabisme dengan dukungan petrodollar [uang hasil penjualan minyak—peny.], tetapi juga sebagai akibat situasi politik yang berlangsung di dunia Arab. Apa yang sebelumnya secara tepat disebut sebagai Perang Dingin Arab kemudian terjadi: yakni, pertarungan antara kubu Mesir dengan kawan-kawannya dan kubu Arab Saudi dengan teman-temannya. Akibat terancam oleh popularitas Jamal Abdul Nasir, rezim Saudi menyusun berbagai strategi untuk menjamin keberlangsungannya.
Di bidang militer, Saudi terlibat dalam semacam perang dengan Mesir di Yaman, sedangkan di bidang politik Saudi berupaya menggalang “solidaritas Islam” dengan orang-orang yang sulit dipercaya untuk disebut pejuang Islam, seperti Presiden Tunisia Bourguiba dan Shah Iran.[11]
Sementara itu, pada ranah ideologis, rezim Saudi mendirikan sebuah lembaga yang disebut Liga Dunia Muslim (Rabithah al-‘Alam Islami) pada tahun 1962—bukan kebetulan merupakan tahun yang sama dengan terjadinya pemberontakan kaum republik di wilayah tetangganya, yakni Yaman. Di bawah payung organisasi inilah, yang dimaksudkan untuk dapat menguasai seluruh organisasi Islam internasional lainnya, kaitan yang lebih erat antara kaum Salafi terkemuka dan kaum Wahhabi terwujud. Dewan lembaga tersebut, yang pertama kali bertemu pada Desember 1962, dipimpin oleh mufti kepala Arab Saudi, yakni Muhammad b. Ibrahim al-Syaikh, keturunan dari Muhammad b. ‘Abd al-Wahhab. Dan hingga dewasa ini, kepemimpinan lembaga tersebut tetap dipegang oleh mufti kepala Saudi.
Termasuk di antara delapan anggota dewan tersebut adalah wakil-wakil penting yang memiliki kecenderungan Salafi: Sa’id Ramadan, ipar dari Hasan al-Banna—pendiri Ikhwan al-Muslimin di Mesir—sekaligus pewaris dari posisinya; Maulana Abu al-A’la al-Mawdudi (w. 1979), pemimpin Jama’at-i Islami di Pakistan; dan Maulana Abu ‘l-Hasan Nadvi (w. 2000) dari India. Berdasarkan anggaran dasar lembaga tersebut, kepala sekretariat Liga Dunia Muslim telah menjadi warga negara Saudi. Orang yang pertama menduduki jabatan tersebut adalah Muhammad Surur al-Sabban (w. 1972). Para anggota Ikhwan al-Muslimin di Mesir (dan belakangan di Suriah) hampir sulit dipersalahkan jika mereka mendekatkan diri mereka kepada Arab Saudi, mengingat serangan-serangan yang mereka terima di negeri mereka sendiri. Mungkin dapat pula dikatakan bahwa kaum Salafi ini bagaimanapun dapat memperlunak “keganasan” Wahhabisme tradisional, setidaknya pada tingkat kelembagaan. Sementara yang lainnya tidak memiliki alasan semacam itu, dan betapapun ada harga politik yang harus dibayar: dukungan, baik eksplisit maupun implisit, terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah Saudi, karena pasal empat kesepakatan Liga Dunia Muslim mencantumkan bahwa lembaga itu setia pada upaya mewujudkan “solidaritas Islam” sebagaimana yang diartikulasikan oleh rezim Saud.[12]
Liga Dunia Muslim berusaha sebaik mungkin untuk beroperasi sesuai dengan namanya dengan cara mendirikan kantor-kantor cabang di seluruh dunia. Kantor-kantor ini terpusat di Eropa, Asia Selatan dan Asia Tenggara, dan terutama sekali Afrika. Termasuk bagian dari fungsi kantor-kantor itu, seperti yang diungkapkan secara halus di dalam situs web Liga Dunia Muslim, adalah untuk “membasmi kecenderungan-kecenderungan dan ajaran-ajaran yang berbahaya.” Ini secara umum berarti penyebarluasan Wahhabisme dengan mengorbankan tradisi-tradisi Islam lokal; suatu tugas yang dengan sangat bersemangat turut dijalankan oleh para lulusan dari apa yang dinamakan Universitas Islam Madinah sekembali mereka ke tanah air masing-masing. Tradisi-tradisi Sufi yang mengakar kuat dikecam sebagai bid’ah, suatu aktivitas yang menghancurkan dan menciptakan perpecahan, khususnya di negara-negara Afrika, di mana praktik Islam kerap kali tidak dapat dipisahkan dari keterlibatan dalam suatu tarekat. Perayaan Maulid Nabi juga dikritik, dengan hasil penghancuran dan perpecahan yang serupa.[13]
Sebagian organisasi mahasiswa Muslim terkadang juga berfungsi sebagai saluran penyebaran Wahhabisme yang didukung Saudi di luar negeri, khususnya di Amerika Serikat. Muslim Student Association of North America and Canada (Perhimpunan Mahasiswa Muslim Amerika Utara dan Kanada)—yang biasa disingkat dengan MSA—didirikan pada 1963, satu tahun setelah Liga Dunia Muslim, yang dengannya MSA memiliki kaitan yang erat. Khususnya pada era 1960-an dan 1970-an, kritik terhadap Arab Saudi tidak ditoleransi pada acara konvensi tahunan Perhimpunan tersebut. Raja Faisal dipandang sebagai pejuang Islam yang tidak mengenal takut. Cabang-cabang
lokal MSA pada setiap momen salat Jumat menyediakan tumpukan besar publikasi Liga Dunia Muslim, baik dalam bahasa Inggris maupun Arab, dan secara umum berusaha sebaik mungkin untuk mencegah penyebaran “kecenderungan-kecenderungan dan ajaran-ajaran yang berbahaya.”
Catatan Kaki
[11] Penting untuk dicatat ketika suatu orde Islam muncul di Iran sebagai
hasil revolusi, Arab Saudi adalah di antara para penentang yang paling gigih dan bersemangat terhadap Republik Islam yang baru berdiri itu; “Solidaritas Islam” di wilayah Teluk Persia dengan cepat dilupakan. Bahkan, pada 1981, pihak Saudi memberi 10 juta dolar AS kepada seorang kolonel di Angkatan Udara Iran untuk merancang kudeta, termasuk pemboman kediaman Imam Khomeini di Teheran utara. Rencana kudeta itu dengan segera terungkap dan digagalkan.
[12] Mengenai keterangan komprehensif tentang Liga Dunia Muslim, lihat Reinhard Schulze, Islamicher Internationalismus im 20. Jahrbundert: Untersuchungen zur Geschichte der islamischen Weltliga, Leiden, 1990.
[13] Catatan-catatan ini didasarkan sebagian atas kunjungan ke Nairobi, Mombasa, Malindi, dan Kepulauan Lamu pada 1985.
Judul buku: Wahabisme Sebuah Tinjauan Kritis
Penulis: Hamid Algar
Penerbit: Democracy Project
Tempat/Tahun terbit: Jakarta 2011
Diterjemahkan dari:
Wahhabism: A Critical Essay
(Oneonta, New York; Islamic Publication International, 2002)
Penulis: Hamid Algar
Penerjemah: Rudy Harisyah Alam
Editor: Ihsan Ali-Fauzi
Penyelaras Akhir: Achmad Rifki dan Saidiman
Daftar Isi
Beda Wahabi dan Salafi
Mungkin tidak keliru untuk melihat dalam perkembangan itu semacam pengaruh tertunda dari kaum Wahhabi berkaitan dengan tindakan memberi cap terhadap seluruh kaum Muslim (yang bukan kelompok mereka—peny.) sebagai orang yang telah berbuat syirik (musyrikîn). Namun demikian, ada dua ciri penting yang saling terkait untuk membedakan kaum Salafi dari kaum Wahhabi.
Pertama, kaum Salafi lebih menekankan persuasi daripada pemaksaan dalam rangka mengajak kaum Muslim untuk menerima pandangan mereka. Kedua, kaum Salafi memiliki kesadaran dan pengetahuan mengenai krisis politik dan sosial-ekonomi yang melanda Dunia Islam.
Betapapun, baru pada era 1960-an hubungan yang lebih erat antara kaum Salafi dan Wahhabisme terjadi, bukan hanya sebagai hasil dari penyebarluasan Wahhabisme dengan dukungan petrodollar [uang hasil penjualan minyak—peny.], tetapi juga sebagai akibat situasi politik yang berlangsung di dunia Arab. Apa yang sebelumnya secara tepat disebut sebagai Perang Dingin Arab kemudian terjadi: yakni, pertarungan antara kubu Mesir dengan kawan-kawannya dan kubu Arab Saudi dengan teman-temannya. Akibat terancam oleh popularitas Jamal Abdul Nasir, rezim Saudi menyusun berbagai strategi untuk menjamin keberlangsungannya.
Di bidang militer, Saudi terlibat dalam semacam perang dengan Mesir di Yaman, sedangkan di bidang politik Saudi berupaya menggalang “solidaritas Islam” dengan orang-orang yang sulit dipercaya untuk disebut pejuang Islam, seperti Presiden Tunisia Bourguiba dan Shah Iran.[11]
Sementara itu, pada ranah ideologis, rezim Saudi mendirikan sebuah lembaga yang disebut Liga Dunia Muslim (Rabithah al-‘Alam Islami) pada tahun 1962—bukan kebetulan merupakan tahun yang sama dengan terjadinya pemberontakan kaum republik di wilayah tetangganya, yakni Yaman. Di bawah payung organisasi inilah, yang dimaksudkan untuk dapat menguasai seluruh organisasi Islam internasional lainnya, kaitan yang lebih erat antara kaum Salafi terkemuka dan kaum Wahhabi terwujud. Dewan lembaga tersebut, yang pertama kali bertemu pada Desember 1962, dipimpin oleh mufti kepala Arab Saudi, yakni Muhammad b. Ibrahim al-Syaikh, keturunan dari Muhammad b. ‘Abd al-Wahhab. Dan hingga dewasa ini, kepemimpinan lembaga tersebut tetap dipegang oleh mufti kepala Saudi.
Termasuk di antara delapan anggota dewan tersebut adalah wakil-wakil penting yang memiliki kecenderungan Salafi: Sa’id Ramadan, ipar dari Hasan al-Banna—pendiri Ikhwan al-Muslimin di Mesir—sekaligus pewaris dari posisinya; Maulana Abu al-A’la al-Mawdudi (w. 1979), pemimpin Jama’at-i Islami di Pakistan; dan Maulana Abu ‘l-Hasan Nadvi (w. 2000) dari India. Berdasarkan anggaran dasar lembaga tersebut, kepala sekretariat Liga Dunia Muslim telah menjadi warga negara Saudi. Orang yang pertama menduduki jabatan tersebut adalah Muhammad Surur al-Sabban (w. 1972). Para anggota Ikhwan al-Muslimin di Mesir (dan belakangan di Suriah) hampir sulit dipersalahkan jika mereka mendekatkan diri mereka kepada Arab Saudi, mengingat serangan-serangan yang mereka terima di negeri mereka sendiri. Mungkin dapat pula dikatakan bahwa kaum Salafi ini bagaimanapun dapat memperlunak “keganasan” Wahhabisme tradisional, setidaknya pada tingkat kelembagaan. Sementara yang lainnya tidak memiliki alasan semacam itu, dan betapapun ada harga politik yang harus dibayar: dukungan, baik eksplisit maupun implisit, terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah Saudi, karena pasal empat kesepakatan Liga Dunia Muslim mencantumkan bahwa lembaga itu setia pada upaya mewujudkan “solidaritas Islam” sebagaimana yang diartikulasikan oleh rezim Saud.[12]
Liga Dunia Muslim berusaha sebaik mungkin untuk beroperasi sesuai dengan namanya dengan cara mendirikan kantor-kantor cabang di seluruh dunia. Kantor-kantor ini terpusat di Eropa, Asia Selatan dan Asia Tenggara, dan terutama sekali Afrika. Termasuk bagian dari fungsi kantor-kantor itu, seperti yang diungkapkan secara halus di dalam situs web Liga Dunia Muslim, adalah untuk “membasmi kecenderungan-kecenderungan dan ajaran-ajaran yang berbahaya.” Ini secara umum berarti penyebarluasan Wahhabisme dengan mengorbankan tradisi-tradisi Islam lokal; suatu tugas yang dengan sangat bersemangat turut dijalankan oleh para lulusan dari apa yang dinamakan Universitas Islam Madinah sekembali mereka ke tanah air masing-masing. Tradisi-tradisi Sufi yang mengakar kuat dikecam sebagai bid’ah, suatu aktivitas yang menghancurkan dan menciptakan perpecahan, khususnya di negara-negara Afrika, di mana praktik Islam kerap kali tidak dapat dipisahkan dari keterlibatan dalam suatu tarekat. Perayaan Maulid Nabi juga dikritik, dengan hasil penghancuran dan perpecahan yang serupa.[13]
Sebagian organisasi mahasiswa Muslim terkadang juga berfungsi sebagai saluran penyebaran Wahhabisme yang didukung Saudi di luar negeri, khususnya di Amerika Serikat. Muslim Student Association of North America and Canada (Perhimpunan Mahasiswa Muslim Amerika Utara dan Kanada)—yang biasa disingkat dengan MSA—didirikan pada 1963, satu tahun setelah Liga Dunia Muslim, yang dengannya MSA memiliki kaitan yang erat. Khususnya pada era 1960-an dan 1970-an, kritik terhadap Arab Saudi tidak ditoleransi pada acara konvensi tahunan Perhimpunan tersebut. Raja Faisal dipandang sebagai pejuang Islam yang tidak mengenal takut. Cabang-cabang
lokal MSA pada setiap momen salat Jumat menyediakan tumpukan besar publikasi Liga Dunia Muslim, baik dalam bahasa Inggris maupun Arab, dan secara umum berusaha sebaik mungkin untuk mencegah penyebaran “kecenderungan-kecenderungan dan ajaran-ajaran yang berbahaya.”
Catatan Kaki
[11] Penting untuk dicatat ketika suatu orde Islam muncul di Iran sebagai
hasil revolusi, Arab Saudi adalah di antara para penentang yang paling gigih dan bersemangat terhadap Republik Islam yang baru berdiri itu; “Solidaritas Islam” di wilayah Teluk Persia dengan cepat dilupakan. Bahkan, pada 1981, pihak Saudi memberi 10 juta dolar AS kepada seorang kolonel di Angkatan Udara Iran untuk merancang kudeta, termasuk pemboman kediaman Imam Khomeini di Teheran utara. Rencana kudeta itu dengan segera terungkap dan digagalkan.
[12] Mengenai keterangan komprehensif tentang Liga Dunia Muslim, lihat Reinhard Schulze, Islamicher Internationalismus im 20. Jahrbundert: Untersuchungen zur Geschichte der islamischen Weltliga, Leiden, 1990.
[13] Catatan-catatan ini didasarkan sebagian atas kunjungan ke Nairobi, Mombasa, Malindi, dan Kepulauan Lamu pada 1985.