Kerja Sama Wahabi-Saudi dan Kerajaan Inggris
Kerja Sama aliansi Wahabi-Saudi dan Kerajaan Inggris juga melihat layak untuk memberikan penghargaan sebagai ksatria kepada pembela Wahhabisme. Pada 1935 ‘Abd al-‘Aziz bin Sa‘ud dijadikan sebagai Ksatria Ordo Bath. Serupa pula, ketika mengunjungi Ratu Elizabeth pada 1986, Raja Fahd, “Penjaga Dua Masjid Suci”, difoto dengan tanda ordo ksatria Inggris berbentuk salib yang tergantung di lehernya
Inggris juga melihat layak untuk memberikan penghargaan sebagai ksatria kepada pembela Wahhabisme. Pada 1935 ‘Abd al-‘Aziz bin Sa‘ud dijadikan sebagai Ksatria Ordo Bath. Serupa pula, ketika mengunjungi Ratu Elizabeth pada 1986, Raja Fahd, “Penjaga Dua Masjid Suci”, difoto dengan tanda ordo ksatria Inggris berbentuk salib yang tergantung di lehernya
Judul buku: Wahabisme Sebuah Tinjauan Kritis
Penulis: Hamid Algar
Penerbit: Democracy Project
Tempat/Tahun terbit: Jakarta 2011
Diterjemahkan dari:
Wahhabism: A Critical Essay
(Oneonta, New York; Islamic Publication International, 2002)
Penulis: Hamid Algar
Penerjemah: Rudy Harisyah Alam
Editor: Ihsan Ali-Fauzi
Penyelaras Akhir: Achmad Rifki dan Saidiman
Daftar Isi
Kerja Sama Wahabi-Saudi dan Inggris
IV Aliansi Wahhabi-Saudi dan Implikasinya
Ketika pasukan Muhammad ‘Ali Pasha berangkat, gerakan Saudi-Wahhabi secara bertahap membentuk kelompok kembali di wilayah asal mereka, Najad, mendirikan sebuah ibukota baru di Riyad, dan sekitar satu dasawarsa kemudian menaklukkan al-Ahsa. Hal yang serupa, pada 1248H/1832 M, ekspedisi militer melawan Oman membuat sultan Muscat bersedia membayar upeti kepada Riyad.
Gelombang baru ekspansi ke arah timur merupakan suatu kebetulan, dalam arti pada akhirnya hal itu membuat kalangan Saudi dapat menjalin kontak dengan pihak Inggris, yang tidak hanya berusaha mengkonsolidasikan dominasi mereka atas Teluk Persia, tetapi juga mulai menyusun rencana untuk mempreteli kekuatan Negara Utsmani.[1] Kontak pertama terjadi pada 1865, dan subsidi Inggris mulai mengalir ke kantong keluarga Saudi, dengan jumlah yang terus meningkat dengan semakin dekatnya Perang Dunia I. Hubungan itu sepenuhnya matang pada masa perang tersebut. Pada 1915, bersama penguasa Saudi masa itu, ‘Abd al-‘Aziz bin Sa‘ud (Ibn Sa‘ud), pihak Inggris menandatangani salah satu perjanjian dengan pihak bawahan mereka yang secara eufemistis dikenal sebagai “perjanjian persahabatan dan kerjasama”. Tentu saja uang menjadi pelumas utama persahabatan dan kerjasama itu, dan pada 1917 penguasa Saudi menerima lima ribu pound setiap bulan, bukan suatu jumlah yang buruk bagi junior bayaran Kerajaan Inggris.
Namun, Inggris juga melihat layak untuk memberikan penghargaan sebagai ksatria kepada pembela Wahhabisme.[2] (Dalam tahun-tahun berikutnya formalitas semacam itu terus dilakukan. Pada 1935 ‘Abd al-‘Aziz bin Sa‘ud dijadikan sebagai Ksatria Ordo Bath. Serupa pula, ketika mengunjungi Ratu Elizabeth pada 1986, Raja Fahd, “Penjaga Dua Masjid Suci”, difoto dengan tanda ordo ksatria Inggris berbentuk salib yang tergantung di lehernya) (lihat gambar).[3]
Tuntutan Inggris terhadap pihak Wahhabi-Saudi pada mulanya cukup masuk akal, yakni
agar pasukan Wahhabi-Saudi—dengan diberi persenjataan dan instruktur dari pihak Inggris—menyerang Banu Rasyid, sekutu utama Kerajaan Utsmani di wilayah timur laut Arab dan menolak kekuasaan Kerajaan Utsmani sendiri di wilayah pantai sebelah selatan Teluk Persia. Tugas ini dijalankan dengan penuh kesetiaan.
Namun, masalahnya menjadi sedikit agak rumit karena pihak Inggris belum memberikan izin kepada Ibn Sa‘ud untuk menaklukkan seluruh semenanjung Arab. Sesuai dengan kecerdikan yang mencirikan rencana buruk mereka, Inggris memiliki lebih dari satu kolaborator di Arab pada masa itu. Karena, mereka juga menjalin kontak dengan penguasa Mekkah, Syarif Husayn, keturunan Dinasti Hasyimiyah yang terus melahirkan
para abdi yang setia terhadap kepentingan-kepentingan asing hingga masa sekarang.
Dalam ungkapan media Barat orang-orang semacam itu dinamakan “penguasa Arab yang moderat.” Inggris mendorong Syarif Husayn, dengan rayuan finansial maupun bujukan-bujukan lainnya, untuk bangkit melawan Kerajaan Utsmani atas nama sebuah bangsa Arab yang bersatu, dan ia dijanjikan akan menjadi rajanya. Hal yang penting ialah sebagai syarat bagi bantuan yang akan diberikannya, Inggris menekan Syarif Husayn untuk mengakui posisi istimewa kaum Saudi di Najad dan seluruh wilayah timur Arab.
Hasil dari Perang Dunia I dan gaungnya di semenanjung Arab sangat jelas. Dua pejabat Inggris yang bersaing— yang masing-masing terlihat memalukan bahkan menurut ukuran biasa kelas penguasa pada masa puncaknya—berlomba memberi dukungan kepada masing-masing mitra Arab yang menjadi lindungannya. T.E. Lawrence mendukung
kelompok Hasyimiyah, sedangkan St. John (“Abdullah”) Philby membela kelompok Saudi.[4]
Syarif Husayn terbukti keliru dengan sikap kekanak-kanakannya yang memercayai bahwa janji-janji perang Inggris tentang negara Arab bersatu yang akan didirikan di bawah kepemimpinannya dapat dianggap serius, dan ia menjadi kecewa. Lagi pula, tidak seperti kelompok Saudi, ia tidak memiliki pasukan perang yang terlatih, yang mampu mengendalikan seluruh wilayah semenanjung dan menciptakan stabilitas yang dipandang penting bagi kepentingan Inggris. Sebaliknya, hal itu dimiliki oleh Ibn Sa‘ud dalam bentuk kelompok Ikhwan yang terkenal, yang merupakan pasukan terlatih dan aparat penegak Wahhabisme. Karena itu, kelompok Hasyimiyah ditinggalkan dan lampu hijau diberikan kepada Ibn Sa‘ud untuk menaklukkan seluruh semenanjung Arab.
Dengan demikian, alih-alih merupakan perkembangan yang spontan atau otonom, perluasan kontrol kelompok Saudi atas wilayah semenanjung Arab harus ditempatkan dalam konteks rekonfigurasi umum wilayah Timur Tengah yang tengah terjadi pada masa itu, umumnya di bawah pengawasan Inggirs, yang senantiasa bersikap “murah hati” dengan wilayah-wilayah yang bukan milik mereka. Hal itu membentuk bagian dari pola yang sama, seperti pembagian wilayah Bulan Sabit menjadi unit-unit yang semu; pencangkokan Zionisme di Palestina di bawah perlindungan Inggris; pendirian Republik “sekular” Turki; dan munculnya dinasti Pahlevi di Iran.
Pendirian Kerajaan Arab Saudi juga bukanlah peristiwa yang berlangsung secara damai. Penaklukan kedua kaum Wahhabi-Saudi atas wilayah semenanjung tersebut terjadi dengan mengakibatkan jatuhnya korban sekitar 400.000 orang terbunuh dan luka-luka. Di kota-kota seperti Tha’if, Buraydah dan al-Huda, pembantaian langsung dilakukan oleh kelompok Ikhwan. Para gubernur di berbagai provinsi yang diangkat oleh Ibn Sa’ud dilaporkan telah melakukan eksekusi terhadap 40.000 orang di hadapan umum dan amputasi terhadap sekitar 350.000 orang selama berlangsungnya penaklukan wilayah semenanjung tersebut.
Catatan Kaki
[1] Ada baiknya jika disebut di sini tentang teori konspirasi yang berpandangan bahwa bukan hanya asal-usul Kerajaan Arab Saudi, tetapi bahkan asal-usul Wahhabisme sendiri, berkaitan dengan rencana jahat Inggris. Teori ini dipaparkan dalam apa yang disebut sebagai Mudzakkirat Mister Hempher, yang diduga merupakan catatan-catatan seorang agen Inggris di Timur Tengah pada awal abad kedelapan belas, dengan anak judul berbunyi al-Jâsûs al-Britani fi ‘l-Bilad al-Islamiyyah. Cukup menarik bahwa catatan-catatan itu hanya tersedia dalam bahasa Arab, yang diduga telah diterjemahkan ke bahasa itu oleh seorang tak dikenal lainnya berinisial Dr. J. Kh. Satu-satunya versi Inggris yang ada, yang diterbitkan oleh kelompok yang dengan bersemangat menolak Wahhabi di Istanbul, jelas diterjemahkan dari bahasa Arab, dengan terjemahan yang buruk. “Mr. Hempher” tampaknya begitu menyatu dengan perannya sebagai agen yang sedang menyamar, sehingga ia bahkan lebih memilih penanggalan Hijriah dari pada Masehi. Di antara tanda-tanda lain yang menunjukkan ketidakaslian karya itu adalah berbagai rujukan yang menunjukkan ketertarikan untuk mendorong nasionalisme sebagai cara untuk memecah persatuan Islam— ini pada saat nasionalisme bahkan baru akan muncul di Eropa—seruan untuk mempromosikan ide tentang pembatasan kelahiran (birth control) untuk menahan laju pertumbuhan penduduk di Dunia Muslim, dan kebutuhan untuk menggantikan bahasa Arab dengan jalan mempromosikan “bahasa-bahasa lokal seperti bahasa Sansekerta.” Dengan seringnya Syi‘ah disebut secara positif di buku itu, tampaknya mungkin sang pengarang adalah seorang Syi‘ah. Mungkin lebih baik jika ia menyerahkan tugas untuk menolak Wahhabisme itu kepada ulama-ulama seperti Syaikh Ja‘far Kasyif al-Ghita’, yang ringkasan karyanya dilampirkan di akhir buku ini. Salinan “catatan-catatan Hempher” yang dimiliki penulis diperoleh di Teheran, yang di akhir buku itu tertera tanggal 1.2.1973, yang tidak begitu jelas apa maknanya. Buku itu juga tidak menyebut tempat penerbitan.
[2] Dalam semangat mereka untuk memegang kendali atas wilayah Timur Tengah setelah usainya Perang Dunia I, Inggris cukup sibuk mencetak berbagai medali dan membagi-bagikan gelar ksatriaan. Di antara orang-orang yang mendapat penghargaan tersebut pada masa itu adalah ‘Abd al-Baha’, anak Baha’ullah, pendiri aliran Bahaisme. Meskipun salah seorang pengikutnya mengagungkannya sebagai “rahasia terdalam Allah” (sirrullah; lihat E.G. Browne, A Literary History of Persia [Cambridge, 1924, IV, h. 207]), pada 1920 ‘Abd al-Baha’ setuju untuk menerima gelar yang tingkatannya agak lebih rendah—Ksatria Kerajaan Inggris (Alessandro Bausani, “‘Abd al-Baha’,” Encyclopaedia Iranica, I, h. 103). Dengan demikian, hujan pemberian gelar kerajaan juga terbuka untuk pihakpihak lain seperti Wahhabi dan Baha’i.
[3] Untuk foto berwarna menyangkut pertemuan bersejarah ini, lihat Fouad al-Farsy, Custodian of the Two Holy Mosques King Fahd bin Abdul Aziz, Guernsey, Channel Islands, 2001, h. 214. Tidak diketahui apakah ketertarikan yang mengundang tanda-tanya dengan Margaret Thatcher yang diakui Raja Fahd beberapa tahun kemudian menyumbang pada penguatan lebih lanjut landasan persahabatan antara Inggris dan Saudi.
[4] Nasib Lawrence dan Philby hingga taraf tertentu akhirnya mencerminkan nasib masing-masing lindungannya. Syarif Husayn kehilangan kerajaan Pan-Arab yang dijanjikan kepadanya, dan Lawrence kehilangan kepalanya akibat tabrakan motor yang tidak lazim. Ibn Sa‘ud menaklukkan sebagian besar wilayah semenanjung, dan Philby dianugerahi dengan lisensi sebagai dealer Ford yang menguntungkan untuk wilayah kerajaan Wahhabi; belum lagi, untuknya juga disediakan gadis-gadis remaja sesuai dengan kehendaknya.[konsultasisyariah.in]
Judul buku: Wahabisme Sebuah Tinjauan Kritis
Penulis: Hamid Algar
Penerbit: Democracy Project
Tempat/Tahun terbit: Jakarta 2011
Diterjemahkan dari:
Wahhabism: A Critical Essay
(Oneonta, New York; Islamic Publication International, 2002)
Penulis: Hamid Algar
Penerjemah: Rudy Harisyah Alam
Editor: Ihsan Ali-Fauzi
Penyelaras Akhir: Achmad Rifki dan Saidiman
Daftar Isi
Kerja Sama Wahabi-Saudi dan Inggris
IV Aliansi Wahhabi-Saudi dan Implikasinya
Ketika pasukan Muhammad ‘Ali Pasha berangkat, gerakan Saudi-Wahhabi secara bertahap membentuk kelompok kembali di wilayah asal mereka, Najad, mendirikan sebuah ibukota baru di Riyad, dan sekitar satu dasawarsa kemudian menaklukkan al-Ahsa. Hal yang serupa, pada 1248H/1832 M, ekspedisi militer melawan Oman membuat sultan Muscat bersedia membayar upeti kepada Riyad.
Gelombang baru ekspansi ke arah timur merupakan suatu kebetulan, dalam arti pada akhirnya hal itu membuat kalangan Saudi dapat menjalin kontak dengan pihak Inggris, yang tidak hanya berusaha mengkonsolidasikan dominasi mereka atas Teluk Persia, tetapi juga mulai menyusun rencana untuk mempreteli kekuatan Negara Utsmani.[1] Kontak pertama terjadi pada 1865, dan subsidi Inggris mulai mengalir ke kantong keluarga Saudi, dengan jumlah yang terus meningkat dengan semakin dekatnya Perang Dunia I. Hubungan itu sepenuhnya matang pada masa perang tersebut. Pada 1915, bersama penguasa Saudi masa itu, ‘Abd al-‘Aziz bin Sa‘ud (Ibn Sa‘ud), pihak Inggris menandatangani salah satu perjanjian dengan pihak bawahan mereka yang secara eufemistis dikenal sebagai “perjanjian persahabatan dan kerjasama”. Tentu saja uang menjadi pelumas utama persahabatan dan kerjasama itu, dan pada 1917 penguasa Saudi menerima lima ribu pound setiap bulan, bukan suatu jumlah yang buruk bagi junior bayaran Kerajaan Inggris.
Namun, Inggris juga melihat layak untuk memberikan penghargaan sebagai ksatria kepada pembela Wahhabisme.[2] (Dalam tahun-tahun berikutnya formalitas semacam itu terus dilakukan. Pada 1935 ‘Abd al-‘Aziz bin Sa‘ud dijadikan sebagai Ksatria Ordo Bath. Serupa pula, ketika mengunjungi Ratu Elizabeth pada 1986, Raja Fahd, “Penjaga Dua Masjid Suci”, difoto dengan tanda ordo ksatria Inggris berbentuk salib yang tergantung di lehernya) (lihat gambar).[3]
Tuntutan Inggris terhadap pihak Wahhabi-Saudi pada mulanya cukup masuk akal, yakni
agar pasukan Wahhabi-Saudi—dengan diberi persenjataan dan instruktur dari pihak Inggris—menyerang Banu Rasyid, sekutu utama Kerajaan Utsmani di wilayah timur laut Arab dan menolak kekuasaan Kerajaan Utsmani sendiri di wilayah pantai sebelah selatan Teluk Persia. Tugas ini dijalankan dengan penuh kesetiaan.
Namun, masalahnya menjadi sedikit agak rumit karena pihak Inggris belum memberikan izin kepada Ibn Sa‘ud untuk menaklukkan seluruh semenanjung Arab. Sesuai dengan kecerdikan yang mencirikan rencana buruk mereka, Inggris memiliki lebih dari satu kolaborator di Arab pada masa itu. Karena, mereka juga menjalin kontak dengan penguasa Mekkah, Syarif Husayn, keturunan Dinasti Hasyimiyah yang terus melahirkan
para abdi yang setia terhadap kepentingan-kepentingan asing hingga masa sekarang.
Dalam ungkapan media Barat orang-orang semacam itu dinamakan “penguasa Arab yang moderat.” Inggris mendorong Syarif Husayn, dengan rayuan finansial maupun bujukan-bujukan lainnya, untuk bangkit melawan Kerajaan Utsmani atas nama sebuah bangsa Arab yang bersatu, dan ia dijanjikan akan menjadi rajanya. Hal yang penting ialah sebagai syarat bagi bantuan yang akan diberikannya, Inggris menekan Syarif Husayn untuk mengakui posisi istimewa kaum Saudi di Najad dan seluruh wilayah timur Arab.
Hasil dari Perang Dunia I dan gaungnya di semenanjung Arab sangat jelas. Dua pejabat Inggris yang bersaing— yang masing-masing terlihat memalukan bahkan menurut ukuran biasa kelas penguasa pada masa puncaknya—berlomba memberi dukungan kepada masing-masing mitra Arab yang menjadi lindungannya. T.E. Lawrence mendukung
kelompok Hasyimiyah, sedangkan St. John (“Abdullah”) Philby membela kelompok Saudi.[4]
Syarif Husayn terbukti keliru dengan sikap kekanak-kanakannya yang memercayai bahwa janji-janji perang Inggris tentang negara Arab bersatu yang akan didirikan di bawah kepemimpinannya dapat dianggap serius, dan ia menjadi kecewa. Lagi pula, tidak seperti kelompok Saudi, ia tidak memiliki pasukan perang yang terlatih, yang mampu mengendalikan seluruh wilayah semenanjung dan menciptakan stabilitas yang dipandang penting bagi kepentingan Inggris. Sebaliknya, hal itu dimiliki oleh Ibn Sa‘ud dalam bentuk kelompok Ikhwan yang terkenal, yang merupakan pasukan terlatih dan aparat penegak Wahhabisme. Karena itu, kelompok Hasyimiyah ditinggalkan dan lampu hijau diberikan kepada Ibn Sa‘ud untuk menaklukkan seluruh semenanjung Arab.
Dengan demikian, alih-alih merupakan perkembangan yang spontan atau otonom, perluasan kontrol kelompok Saudi atas wilayah semenanjung Arab harus ditempatkan dalam konteks rekonfigurasi umum wilayah Timur Tengah yang tengah terjadi pada masa itu, umumnya di bawah pengawasan Inggirs, yang senantiasa bersikap “murah hati” dengan wilayah-wilayah yang bukan milik mereka. Hal itu membentuk bagian dari pola yang sama, seperti pembagian wilayah Bulan Sabit menjadi unit-unit yang semu; pencangkokan Zionisme di Palestina di bawah perlindungan Inggris; pendirian Republik “sekular” Turki; dan munculnya dinasti Pahlevi di Iran.
Pendirian Kerajaan Arab Saudi juga bukanlah peristiwa yang berlangsung secara damai. Penaklukan kedua kaum Wahhabi-Saudi atas wilayah semenanjung tersebut terjadi dengan mengakibatkan jatuhnya korban sekitar 400.000 orang terbunuh dan luka-luka. Di kota-kota seperti Tha’if, Buraydah dan al-Huda, pembantaian langsung dilakukan oleh kelompok Ikhwan. Para gubernur di berbagai provinsi yang diangkat oleh Ibn Sa’ud dilaporkan telah melakukan eksekusi terhadap 40.000 orang di hadapan umum dan amputasi terhadap sekitar 350.000 orang selama berlangsungnya penaklukan wilayah semenanjung tersebut.
Catatan Kaki
[1] Ada baiknya jika disebut di sini tentang teori konspirasi yang berpandangan bahwa bukan hanya asal-usul Kerajaan Arab Saudi, tetapi bahkan asal-usul Wahhabisme sendiri, berkaitan dengan rencana jahat Inggris. Teori ini dipaparkan dalam apa yang disebut sebagai Mudzakkirat Mister Hempher, yang diduga merupakan catatan-catatan seorang agen Inggris di Timur Tengah pada awal abad kedelapan belas, dengan anak judul berbunyi al-Jâsûs al-Britani fi ‘l-Bilad al-Islamiyyah. Cukup menarik bahwa catatan-catatan itu hanya tersedia dalam bahasa Arab, yang diduga telah diterjemahkan ke bahasa itu oleh seorang tak dikenal lainnya berinisial Dr. J. Kh. Satu-satunya versi Inggris yang ada, yang diterbitkan oleh kelompok yang dengan bersemangat menolak Wahhabi di Istanbul, jelas diterjemahkan dari bahasa Arab, dengan terjemahan yang buruk. “Mr. Hempher” tampaknya begitu menyatu dengan perannya sebagai agen yang sedang menyamar, sehingga ia bahkan lebih memilih penanggalan Hijriah dari pada Masehi. Di antara tanda-tanda lain yang menunjukkan ketidakaslian karya itu adalah berbagai rujukan yang menunjukkan ketertarikan untuk mendorong nasionalisme sebagai cara untuk memecah persatuan Islam— ini pada saat nasionalisme bahkan baru akan muncul di Eropa—seruan untuk mempromosikan ide tentang pembatasan kelahiran (birth control) untuk menahan laju pertumbuhan penduduk di Dunia Muslim, dan kebutuhan untuk menggantikan bahasa Arab dengan jalan mempromosikan “bahasa-bahasa lokal seperti bahasa Sansekerta.” Dengan seringnya Syi‘ah disebut secara positif di buku itu, tampaknya mungkin sang pengarang adalah seorang Syi‘ah. Mungkin lebih baik jika ia menyerahkan tugas untuk menolak Wahhabisme itu kepada ulama-ulama seperti Syaikh Ja‘far Kasyif al-Ghita’, yang ringkasan karyanya dilampirkan di akhir buku ini. Salinan “catatan-catatan Hempher” yang dimiliki penulis diperoleh di Teheran, yang di akhir buku itu tertera tanggal 1.2.1973, yang tidak begitu jelas apa maknanya. Buku itu juga tidak menyebut tempat penerbitan.
[2] Dalam semangat mereka untuk memegang kendali atas wilayah Timur Tengah setelah usainya Perang Dunia I, Inggris cukup sibuk mencetak berbagai medali dan membagi-bagikan gelar ksatriaan. Di antara orang-orang yang mendapat penghargaan tersebut pada masa itu adalah ‘Abd al-Baha’, anak Baha’ullah, pendiri aliran Bahaisme. Meskipun salah seorang pengikutnya mengagungkannya sebagai “rahasia terdalam Allah” (sirrullah; lihat E.G. Browne, A Literary History of Persia [Cambridge, 1924, IV, h. 207]), pada 1920 ‘Abd al-Baha’ setuju untuk menerima gelar yang tingkatannya agak lebih rendah—Ksatria Kerajaan Inggris (Alessandro Bausani, “‘Abd al-Baha’,” Encyclopaedia Iranica, I, h. 103). Dengan demikian, hujan pemberian gelar kerajaan juga terbuka untuk pihakpihak lain seperti Wahhabi dan Baha’i.
[3] Untuk foto berwarna menyangkut pertemuan bersejarah ini, lihat Fouad al-Farsy, Custodian of the Two Holy Mosques King Fahd bin Abdul Aziz, Guernsey, Channel Islands, 2001, h. 214. Tidak diketahui apakah ketertarikan yang mengundang tanda-tanya dengan Margaret Thatcher yang diakui Raja Fahd beberapa tahun kemudian menyumbang pada penguatan lebih lanjut landasan persahabatan antara Inggris dan Saudi.
[4] Nasib Lawrence dan Philby hingga taraf tertentu akhirnya mencerminkan nasib masing-masing lindungannya. Syarif Husayn kehilangan kerajaan Pan-Arab yang dijanjikan kepadanya, dan Lawrence kehilangan kepalanya akibat tabrakan motor yang tidak lazim. Ibn Sa‘ud menaklukkan sebagian besar wilayah semenanjung, dan Philby dianugerahi dengan lisensi sebagai dealer Ford yang menguntungkan untuk wilayah kerajaan Wahhabi; belum lagi, untuknya juga disediakan gadis-gadis remaja sesuai dengan kehendaknya.[konsultasisyariah.in]