Kembali ke Al Quran dan Sunnah
Kembali ke Al Quran dan Sunnah Sekilas, tujuan ini mungkin terlihat bisa diterima, dan hal itu juga yang menjadi pandangan banyak kaum Muslim yang tidak memandang dirinya sebagai Wahhabi. Memang tidak ada nilai yang mengikat dalam apa yang berkembang dalam sejarah. Nilai yang mengikat itu hanya terdapat dalam al-Qur’an dan Sunnah.
Sekilas, tujuan Kembali ke Al Quran dan Sunnah ini mungkin terlihat bisa diterima, dan hal itu juga yang menjadi pandangan banyak kaum Muslim yang tidak memandang dirinya sebagai Wahhabi. Memang tidak ada nilai yang mengikat dalam apa yang berkembang dalam sejarah. Nilai yang mengikat itu hanya terdapat dalam al-Qur’an dan Sunnah.
Namun, membayangkan bahwa makna dan penerapan al-Qur’an dan Sunnah dapat dipahami dengan cara yang mendasar dan berguna dengan mengabaikan keseluruhan tradisi Islam pasca masa pewahyuan adalah hal yang tidak realistis.
Daftar Isi
Judul buku: Wahabisme Sebuah Tinjauan Kritis
Penulis: Hamid Algar
Penerbit: Democracy Project
Tempat/Tahun terbit: Jakarta 2011
Diterjemahkan dari:
Wahhabism: A Critical Essay
(Oneonta, New York; Islamic Publication International, 2002)
Penulis: Hamid Algar
Penerjemah: Rudy Harisyah Alam
Editor: Ihsan Ali-Fauzi
Penyelaras Akhir: Achmad Rifki dan Saidiman
Ajakan Wahabi Kembali ke Al Quran dan Sunnah
Sekilas, tujuan ini mungkin terlihat bisa diterima, dan hal itu juga yang menjadi pandangan banyak kaum Muslim yang tidak memandang dirinya sebagai Wahhabi. Memang tidak ada nilai yang mengikat dalam apa yang berkembang dalam sejarah. Nilai yang mengikat itu hanya terdapat dalam al-Qur’an dan Sunnah.
Namun, membayangkan bahwa makna dan penerapan al-Qur’an dan Sunnah dapat dipahami dengan cara yang mendasar dan berguna dengan mengabaikan keseluruhan tradisi Islam pasca masa pewahyuan adalah hal yang tidak realistis. Hal ini sama kelirunya dengan mengandaikan bahwa individu atau masyarakat merupakan suatu ruang hampa di mana al-Qur’an dan Sunnah dapat secara murni dicetakkan pada mereka tanpa melibatkan unsur-unsur dari lingkungan sejarah atau kontemporer. Justru proses dan cara pewahyuan al-Qur’an menyiratkan interaksi terus-menerus dengan realitas masyarakat manusia yang terus berubah, suatu realitas yang niscaya mencakup dimensi historis.
Kembali kepada aspek biografi. Dari Madinah, Muhammad bin ‘Abd al-Wahhab kembali ke Huraymilah, dan tidak lama kemudian ia pergi ke Basrah, untuk alasan yang tidak begitu jelas. Ia menetap di sebuah desa bernama al-Majmu‘ah. Di sana, dalam kata-kata sejarawan Saudi, ‘Utsman bin ‘Abdullah bin Bisyr, “ia mengecam hal-hal tertentu yang berkaitan dengan syirik (al-syirkiyat) dan bidah (al-bid‘ah).[9] Di sana pula kemungkinan ia melakukan kontak langsung pertama dengan Islam Syi‘ah. Al-Ahsa, suatu wilayah yang hingga dewasa ini banyak dihuni kaum Syi‘ah, kendati selama beberapa dasawarsa mengalami penindasan dari kelompok Wahhabi-Saudi, berbatasan dengan Najad. Namun, tidak ada indikasi bahwa Muhammad bin ‘Abd al-Wahhab memiliki pengetahuan yang dalam tentang Syi‘ah sebelum ia tinggal di al-Majmu‘ah. Kini Islam Syi‘ah menarik perhatiannya, karena menurutnya, ajaran Syi‘ah penuh dengan hal-hal yang berbau syirik.
Akan tetapi, ia tidak berhasil membujuk baik kalangan Sunni maupun Syi‘ah untuk mendukung pandangannya, maka lalu ia pergi. Menurut penjelasan ‘Utsman bin ‘Abdullah bin Bisyr, ia berniat pergi ke Damaskus (mungkin karena di sana terdapat ulama-ulama Hambali), namun entah bagaimana ia kehilangan uang yang ia perlukan untuk perjalanan itu. Maka, ia kembali ke Huraymilah melalui al-Ahsa. Hal ini, dikatakan oleh sejarawan Saudi, karena “Tuhan Yang Mahatahu segala yang gaib maupun yang tampak ingin menjadikan agama-Nya menang dan meninggikan kalam-Nya dengan cara menyatukan penduduk Najad di bawah seorang pemimpin.[10]
Keterangan lain, yang bersifat anonim dan mungkin merupakan legenda, mengatakan bahwa dari Basrah Muhammad bin ‘Abd al-Wahhab pergi menuju Bagdad, dan di sana ia menikah dengan seorang perempuan kaya dan menetap selama lima tahun. Lalu diceritakan bahwa ia pergi ke Iran melalui Kurdistan, dan di sana ia berkunjung
ke Hamadan, Qum dan Isfahan untuk mempelajari filsafat.[11] Jika memang betul ia melakukan perjalanan itu walaupun ia bersikap antipati terhadap Syi‘ah, motif yang mendorongnya untuk melakukan perjalanan itu merupakan suatu misteri. Nama Muhammad
bin ‘Abd al-Wahhab tidak tercantum dalam sumber-sumber Persia pada masa itu. Hal ini berarti, dengan tetap mengandaikan bahwa ia memang pergi ke Iran, upaya pemurnian yang didakwahkannya tidak dipandang penting di sana, atau sebaliknya ia justru melakukan praktik taqiyah yang dikenal dalam tradisi Syi‘ah (yakni menyembunyikan pandangan atau keyakinan sesungguhnya yang ia anut). Sedangkan
berdasarkan pertimbangan kronologi peristiwa, yang lebih mungkin adalah, dari Basrah ia pulang kembali, baik secara langsung atau tidak, ke Huraymilah.
Di sana ia bergabung dengan ayahnya untuk membasmi “kebodohan, syirik, dan bidah” dengan semangat yang tak kenal lelah, sehingga ayahnya lelah menghadapi sikapnya dan, sebagaimana diungkapkan secara tepat oleh ‘Utsman bin ‘Abdullah bin Bisyr, “terjadi perdebatan di antara keduanya” (waqa‘a baynahu wa bayna abîhi kalâm).[12]
Ia juga menyisihkan waktu untuk menyusun buku kecil yang diberi judul Kitâb al-Tawhîd. Alih-alih menguraikan doktrin Islam yang paling fundamental seperti tercermin dari judulnya, buku kecil itu hanya berisi kumpulan hadis tanpa diberi komentar, yang disusun dalam enam puluh tujuh bab. Almarhum Ismail Raji al-Faruqi, yang pada masa hidupnya merupakan promotor utama Wahhabisme di wilayah Amerika Utara, nyaris benar ketika dalam bagian pengantar ia menggambarkan buku itu “tampak seperti catatan-catatan seorang pelajar.” Namun, adalah lebih mendekati kebenaran untuk mengatakan buku ini dan karya-karya lain Muhammad bin ‘Abd al-Wahhab memang merupakan catatan-catatan seorang pelajar. Dengan kata-kata pujian yang terlampau berlebihan, al-Faruqi berusaha melukiskan kebersahajaan karya-karya Muhammad bin ‘Abd al-Wahhab yang merupakan tokoh pahlawannya itu dengan mengatakan bahwa “ia mengabdikan dirinya [untuk memperbaiki apa yang dipandang sebagai kesalahpahaman terhadap tawhid oleh hampir seluruh kaum Muslim] dengan kekerasan mental yang terlampau besar bagi penanya.”[13] Soal kekerasan memang diperlihatkan oleh Muhammad bin ‘Abd al-Wahhab, namun apakah ada unsur mental di situ adalah hal yang terbuka untuk dipersoalkan.
Sampai di sini kita agaknya perlu untuk mengalihkan perhatian sejenak pada apa yang mungkin secara berlebihan diistilahkan sebagai karya kesarjanaan Muhammad bin ‘Abd al-Wahhab. Seluruh karya Muhammad bin ‘Abd al-Wahhab sangat tipis, baik dari segi isi maupun ukurannya. Dalam rangka menjustifikasi pujiannya bagi Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhab, al-Faruqi menambahkan daftar “isu-isu lebih lanjut” yang ia susun sendiri pada terjemahannya atas setiap bab Kitâb al-Tawhîd. Hal ini menyiratkan bahwa seolah-olah sang pengarang, yakni Muhammad bin ‘Abd al-Wahhab, pada mulanya telah mendiskusikan sejumlah “isu” yang muncul dari hadis-hadis di buku itu, yang sebenarnya tidak ia lakukan.
Demikian pula, sebuah edisi Kasyf al-Syubûhât karya Muhammad bin ‘Abd al-Wahhab yang diterbitkan di Riyad pada 1388 H/1968M, memiliki catatan pada halaman judulnya, “dijelaskan secara lebih terperinci (qama bi tafsilihi) oleh ‘Ali al-Hamad al-Salihi.” Sebuah buku lain yang dinisbatkan kepada Muhammad bin ‘Abd al-Wahhab, Masâ’il al-Jâhiliyyah (Madinah: al-Jami’ah al-Islamiyyah, 1395 H/1975 M), memuat keterangan “diperluas oleh (tawassa‘a fîhâ) al-Sayyid Mahmud Syukri al-Alusi”. Di dalam kedua karya yang terakhir disebutkan itu, tidak ada petunjuk di mana kontribusi Muhammad bin ‘Abd al-Wahhab berakhir dan di mana kontribusi para pengurai atau pemberi syarah itu bermula. Tampaknya para pelindung Wahhabisme merasa malu dengan ketipisan karya Muhammad bin ‘Abd al-Wahhab, sehingga mereka memandang karya itu perlu dipertebal ukurannya.
Memang benar bahwa beberapa volume yang agak tebal telah diterbitkan di Arab Saudi sebagai kumpulan karya Muhammad bin ‘Abd al-Wahhab (Mu’allafat al-Syaikh al-Imâm Muhammad bin ‘Abd al-Wahhâb, Riyad: Jami‘at al-Imam Muhammad bin Sa‘ud). Namun, karya-karya itu kebanyakan hanya sedikit melebihi kumpulan catatan dan penyusunan hadis menurut tema-tema tertentu. Penulis memiliki jilid satu, dua, dan empat dari kumpulan tersebut. Tidak jelas ada berapa jilid keseluruhan seri tersebut. Jilid satu dan dua seluruhnya terdiri dari hadis-hadis yang berkaitan dengan aturan wudhu, salat, dan zakat, tanpa ada uraian atau komentar dari Muhammad bin ‘Abd al-Wahhab. Sementara itu, identifikasi sumber-sumber hadis yang terdapat dalam catatan kaki karya itu berasal dari tiga orang penyunting seri tersebut.[14]
Jilid keempat dibuka dengan suatu risalah singkat yang berjudul Kitâb Fadlâ’il al-Qur’ân, lagi-lagi merupakan kumpulan dari hadis-hadis tanpa komentar yang disusun dalam delapan belas bab. Kemudian jilid itu dilanjutkan dengan sebuah karya yang kendati diberi judul Tafsîr âyât al-Qur’ân al-Karîm, namun sesungguhnya hanya berisi serangkaian parafrase terhadap sejumlah ayat al-Qur’an dan catatan-catatan menyangkut segi tatabahasa yang bersifat elementer.
Satu-satunya hal yang menarik adalah nada polemik yang dilontarkan oleh sang pengarang terhadap orang-orang yang disebutnya sebagai “para pemimpin syirik” (a’immât al-syirk). Volume ini ditutup dengan ikhtisar yang dibuat oleh Muhammad bin ‘Abd al-Wahhab dari karya Ibn Qayyim al-Jauziyyah Zâd al-Ma‘âd, yang nyaris bukan merupakan teks yang perlu diberi perhatian khusus.
Catatan Kaki
[9]‘Unwân al-Majîd, h. 8. Istilah syirik (al-syirkiyât) mungkin merupakan
satu-satunya kontribusi Wahhabisme bagi kosakata teknis dalam Islam.
[10] ‘Unwân al-Majîd, h. 8.
[11] Neşe Çağatay, “Vehhabilik”, Islam Ansiklopedisi, XIII, h. 263; tanpa
nama, Lam‘ Syihâb fî Târîkh Muhammad b. ‘Abd al-Wahhâb, peny. Ahmad Abu Hakima, Beirut, 1967.
[12] ‘Unwân al-Majîd, h. 8.
[13] Syaikh Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhab, Kitâb al-Tawhîd, diterjemahkan
oleh Isma‘il al-Faruqi, cetak ulang, Delhi, 1988, h. xv.
[14] Para penyuntingnya adalah ‘Abd al-‘Aziz bin Zayd al-Rumi, Muhammad
Baltaji, dan Sayyid Hijab.
Namun, membayangkan bahwa makna dan penerapan al-Qur’an dan Sunnah dapat dipahami dengan cara yang mendasar dan berguna dengan mengabaikan keseluruhan tradisi Islam pasca masa pewahyuan adalah hal yang tidak realistis.
Daftar Isi
Judul buku: Wahabisme Sebuah Tinjauan Kritis
Penulis: Hamid Algar
Penerbit: Democracy Project
Tempat/Tahun terbit: Jakarta 2011
Diterjemahkan dari:
Wahhabism: A Critical Essay
(Oneonta, New York; Islamic Publication International, 2002)
Penulis: Hamid Algar
Penerjemah: Rudy Harisyah Alam
Editor: Ihsan Ali-Fauzi
Penyelaras Akhir: Achmad Rifki dan Saidiman
Ajakan Wahabi Kembali ke Al Quran dan Sunnah
Sekilas, tujuan ini mungkin terlihat bisa diterima, dan hal itu juga yang menjadi pandangan banyak kaum Muslim yang tidak memandang dirinya sebagai Wahhabi. Memang tidak ada nilai yang mengikat dalam apa yang berkembang dalam sejarah. Nilai yang mengikat itu hanya terdapat dalam al-Qur’an dan Sunnah.
Namun, membayangkan bahwa makna dan penerapan al-Qur’an dan Sunnah dapat dipahami dengan cara yang mendasar dan berguna dengan mengabaikan keseluruhan tradisi Islam pasca masa pewahyuan adalah hal yang tidak realistis. Hal ini sama kelirunya dengan mengandaikan bahwa individu atau masyarakat merupakan suatu ruang hampa di mana al-Qur’an dan Sunnah dapat secara murni dicetakkan pada mereka tanpa melibatkan unsur-unsur dari lingkungan sejarah atau kontemporer. Justru proses dan cara pewahyuan al-Qur’an menyiratkan interaksi terus-menerus dengan realitas masyarakat manusia yang terus berubah, suatu realitas yang niscaya mencakup dimensi historis.
Kembali kepada aspek biografi. Dari Madinah, Muhammad bin ‘Abd al-Wahhab kembali ke Huraymilah, dan tidak lama kemudian ia pergi ke Basrah, untuk alasan yang tidak begitu jelas. Ia menetap di sebuah desa bernama al-Majmu‘ah. Di sana, dalam kata-kata sejarawan Saudi, ‘Utsman bin ‘Abdullah bin Bisyr, “ia mengecam hal-hal tertentu yang berkaitan dengan syirik (al-syirkiyat) dan bidah (al-bid‘ah).[9] Di sana pula kemungkinan ia melakukan kontak langsung pertama dengan Islam Syi‘ah. Al-Ahsa, suatu wilayah yang hingga dewasa ini banyak dihuni kaum Syi‘ah, kendati selama beberapa dasawarsa mengalami penindasan dari kelompok Wahhabi-Saudi, berbatasan dengan Najad. Namun, tidak ada indikasi bahwa Muhammad bin ‘Abd al-Wahhab memiliki pengetahuan yang dalam tentang Syi‘ah sebelum ia tinggal di al-Majmu‘ah. Kini Islam Syi‘ah menarik perhatiannya, karena menurutnya, ajaran Syi‘ah penuh dengan hal-hal yang berbau syirik.
Akan tetapi, ia tidak berhasil membujuk baik kalangan Sunni maupun Syi‘ah untuk mendukung pandangannya, maka lalu ia pergi. Menurut penjelasan ‘Utsman bin ‘Abdullah bin Bisyr, ia berniat pergi ke Damaskus (mungkin karena di sana terdapat ulama-ulama Hambali), namun entah bagaimana ia kehilangan uang yang ia perlukan untuk perjalanan itu. Maka, ia kembali ke Huraymilah melalui al-Ahsa. Hal ini, dikatakan oleh sejarawan Saudi, karena “Tuhan Yang Mahatahu segala yang gaib maupun yang tampak ingin menjadikan agama-Nya menang dan meninggikan kalam-Nya dengan cara menyatukan penduduk Najad di bawah seorang pemimpin.[10]
Keterangan lain, yang bersifat anonim dan mungkin merupakan legenda, mengatakan bahwa dari Basrah Muhammad bin ‘Abd al-Wahhab pergi menuju Bagdad, dan di sana ia menikah dengan seorang perempuan kaya dan menetap selama lima tahun. Lalu diceritakan bahwa ia pergi ke Iran melalui Kurdistan, dan di sana ia berkunjung
ke Hamadan, Qum dan Isfahan untuk mempelajari filsafat.[11] Jika memang betul ia melakukan perjalanan itu walaupun ia bersikap antipati terhadap Syi‘ah, motif yang mendorongnya untuk melakukan perjalanan itu merupakan suatu misteri. Nama Muhammad
bin ‘Abd al-Wahhab tidak tercantum dalam sumber-sumber Persia pada masa itu. Hal ini berarti, dengan tetap mengandaikan bahwa ia memang pergi ke Iran, upaya pemurnian yang didakwahkannya tidak dipandang penting di sana, atau sebaliknya ia justru melakukan praktik taqiyah yang dikenal dalam tradisi Syi‘ah (yakni menyembunyikan pandangan atau keyakinan sesungguhnya yang ia anut). Sedangkan
berdasarkan pertimbangan kronologi peristiwa, yang lebih mungkin adalah, dari Basrah ia pulang kembali, baik secara langsung atau tidak, ke Huraymilah.
Di sana ia bergabung dengan ayahnya untuk membasmi “kebodohan, syirik, dan bidah” dengan semangat yang tak kenal lelah, sehingga ayahnya lelah menghadapi sikapnya dan, sebagaimana diungkapkan secara tepat oleh ‘Utsman bin ‘Abdullah bin Bisyr, “terjadi perdebatan di antara keduanya” (waqa‘a baynahu wa bayna abîhi kalâm).[12]
Ia juga menyisihkan waktu untuk menyusun buku kecil yang diberi judul Kitâb al-Tawhîd. Alih-alih menguraikan doktrin Islam yang paling fundamental seperti tercermin dari judulnya, buku kecil itu hanya berisi kumpulan hadis tanpa diberi komentar, yang disusun dalam enam puluh tujuh bab. Almarhum Ismail Raji al-Faruqi, yang pada masa hidupnya merupakan promotor utama Wahhabisme di wilayah Amerika Utara, nyaris benar ketika dalam bagian pengantar ia menggambarkan buku itu “tampak seperti catatan-catatan seorang pelajar.” Namun, adalah lebih mendekati kebenaran untuk mengatakan buku ini dan karya-karya lain Muhammad bin ‘Abd al-Wahhab memang merupakan catatan-catatan seorang pelajar. Dengan kata-kata pujian yang terlampau berlebihan, al-Faruqi berusaha melukiskan kebersahajaan karya-karya Muhammad bin ‘Abd al-Wahhab yang merupakan tokoh pahlawannya itu dengan mengatakan bahwa “ia mengabdikan dirinya [untuk memperbaiki apa yang dipandang sebagai kesalahpahaman terhadap tawhid oleh hampir seluruh kaum Muslim] dengan kekerasan mental yang terlampau besar bagi penanya.”[13] Soal kekerasan memang diperlihatkan oleh Muhammad bin ‘Abd al-Wahhab, namun apakah ada unsur mental di situ adalah hal yang terbuka untuk dipersoalkan.
Sampai di sini kita agaknya perlu untuk mengalihkan perhatian sejenak pada apa yang mungkin secara berlebihan diistilahkan sebagai karya kesarjanaan Muhammad bin ‘Abd al-Wahhab. Seluruh karya Muhammad bin ‘Abd al-Wahhab sangat tipis, baik dari segi isi maupun ukurannya. Dalam rangka menjustifikasi pujiannya bagi Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhab, al-Faruqi menambahkan daftar “isu-isu lebih lanjut” yang ia susun sendiri pada terjemahannya atas setiap bab Kitâb al-Tawhîd. Hal ini menyiratkan bahwa seolah-olah sang pengarang, yakni Muhammad bin ‘Abd al-Wahhab, pada mulanya telah mendiskusikan sejumlah “isu” yang muncul dari hadis-hadis di buku itu, yang sebenarnya tidak ia lakukan.
Demikian pula, sebuah edisi Kasyf al-Syubûhât karya Muhammad bin ‘Abd al-Wahhab yang diterbitkan di Riyad pada 1388 H/1968M, memiliki catatan pada halaman judulnya, “dijelaskan secara lebih terperinci (qama bi tafsilihi) oleh ‘Ali al-Hamad al-Salihi.” Sebuah buku lain yang dinisbatkan kepada Muhammad bin ‘Abd al-Wahhab, Masâ’il al-Jâhiliyyah (Madinah: al-Jami’ah al-Islamiyyah, 1395 H/1975 M), memuat keterangan “diperluas oleh (tawassa‘a fîhâ) al-Sayyid Mahmud Syukri al-Alusi”. Di dalam kedua karya yang terakhir disebutkan itu, tidak ada petunjuk di mana kontribusi Muhammad bin ‘Abd al-Wahhab berakhir dan di mana kontribusi para pengurai atau pemberi syarah itu bermula. Tampaknya para pelindung Wahhabisme merasa malu dengan ketipisan karya Muhammad bin ‘Abd al-Wahhab, sehingga mereka memandang karya itu perlu dipertebal ukurannya.
Memang benar bahwa beberapa volume yang agak tebal telah diterbitkan di Arab Saudi sebagai kumpulan karya Muhammad bin ‘Abd al-Wahhab (Mu’allafat al-Syaikh al-Imâm Muhammad bin ‘Abd al-Wahhâb, Riyad: Jami‘at al-Imam Muhammad bin Sa‘ud). Namun, karya-karya itu kebanyakan hanya sedikit melebihi kumpulan catatan dan penyusunan hadis menurut tema-tema tertentu. Penulis memiliki jilid satu, dua, dan empat dari kumpulan tersebut. Tidak jelas ada berapa jilid keseluruhan seri tersebut. Jilid satu dan dua seluruhnya terdiri dari hadis-hadis yang berkaitan dengan aturan wudhu, salat, dan zakat, tanpa ada uraian atau komentar dari Muhammad bin ‘Abd al-Wahhab. Sementara itu, identifikasi sumber-sumber hadis yang terdapat dalam catatan kaki karya itu berasal dari tiga orang penyunting seri tersebut.[14]
Jilid keempat dibuka dengan suatu risalah singkat yang berjudul Kitâb Fadlâ’il al-Qur’ân, lagi-lagi merupakan kumpulan dari hadis-hadis tanpa komentar yang disusun dalam delapan belas bab. Kemudian jilid itu dilanjutkan dengan sebuah karya yang kendati diberi judul Tafsîr âyât al-Qur’ân al-Karîm, namun sesungguhnya hanya berisi serangkaian parafrase terhadap sejumlah ayat al-Qur’an dan catatan-catatan menyangkut segi tatabahasa yang bersifat elementer.
Satu-satunya hal yang menarik adalah nada polemik yang dilontarkan oleh sang pengarang terhadap orang-orang yang disebutnya sebagai “para pemimpin syirik” (a’immât al-syirk). Volume ini ditutup dengan ikhtisar yang dibuat oleh Muhammad bin ‘Abd al-Wahhab dari karya Ibn Qayyim al-Jauziyyah Zâd al-Ma‘âd, yang nyaris bukan merupakan teks yang perlu diberi perhatian khusus.
Catatan Kaki
[9]‘Unwân al-Majîd, h. 8. Istilah syirik (al-syirkiyât) mungkin merupakan
satu-satunya kontribusi Wahhabisme bagi kosakata teknis dalam Islam.
[10] ‘Unwân al-Majîd, h. 8.
[11] Neşe Çağatay, “Vehhabilik”, Islam Ansiklopedisi, XIII, h. 263; tanpa
nama, Lam‘ Syihâb fî Târîkh Muhammad b. ‘Abd al-Wahhâb, peny. Ahmad Abu Hakima, Beirut, 1967.
[12] ‘Unwân al-Majîd, h. 8.
[13] Syaikh Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhab, Kitâb al-Tawhîd, diterjemahkan
oleh Isma‘il al-Faruqi, cetak ulang, Delhi, 1988, h. xv.
[14] Para penyuntingnya adalah ‘Abd al-‘Aziz bin Zayd al-Rumi, Muhammad
Baltaji, dan Sayyid Hijab.