Azyumardi Azra: Wahabi Satu Digit di bawah Terorisme
Azyumardi Azra: Wahabi Satu Digit di bawah Terorisme Bagaimana Anda menafsirkan pernyataan Ketua PBNU Said Agil Siradj yang menyatakan bahwa ajaran Wahabi itu dua digit di bawah terorisme?
Azyumardi Azra: Memang pahamnya radikal, bisa bergeser ya. Kalau disebut dua digit bisa juga. Karena memang presedennya ada. Muhammad bin Abdul Wahab, pendiri paham Wahabi atau tokoh yang namanya dipakai sebagai nama gerakan di akhir abad 18, itu memang disebut dua digit, saya kira jangan-jangan cuma satu digit.
BBC: Bagaimana Anda menafsirkan pernyataan Ketua PBNU Said Agil Siradj yang menyatakan bahwa ajaran Wahabi itu dua digit di bawah terorisme?
Azyumardi Azra: Memang pahamnya radikal, bisa bergeser ya. Kalau disebut dua digit bisa juga. Karena memang presedennya ada. Muhammad bin Abdul Wahab, pendiri paham Wahabi atau tokoh yang namanya dipakai sebagai nama gerakan di akhir abad 18, itu memang disebut dua digit, saya kira jangan-jangan cuma satu digit.
Cuplikan Wawancara BBC Indonesia dengan Azyumardi Azra
'Islam Indonesia itu Islam yang berbunga-bunga'
Apa yang Anda khawatirkan dengan menggejalanya radikalisasi di kalangan anak muda belakangan ini?
Memang ada gejala radikalisasi terutama karena proses globalisasi. Ada proses penyebaran paham dan gerakan transnasional yang radikal dalam berbagai bentuknya. Mulai yang soft (lunak) sampai yang lebih keras.
Tetapi spektrumnya cukup luas. Ada yang cuma radikal dalam pengertian wacana yang biasa disebut Salafi-Wahabi. Mulai dari Salafi Wahabi lebih lunak, hanya pada tingkat ajaran atau wacana, tapi tidak dalam gerakan. Tapi juga ada yang sangat keras, ekstrem radikal dan tidak segan melakukan kekerasan atau terorisme.
Cuma saya melihat, dalam watak Islam Indonesia, sesungguhnya bahaya kelompok garis keras tidak sebesar dibayangkan oleh banyak kalangan.
Ada kalangan yang melihat seolah-olah dengan penyebaran radikalisme itu, kemudian seolah-olah Islam Indonesia itu akan kiamat; menjadi radikal semua dan Indonesia kemudian berubah menjadi negara Islam atau negara Syariah, bahkan menjadi negara gagal, karena adanya kelompok-kelompok radikal yang mengacau, melakukan tindakan teror.
Memang kita harus waspadai ada penyebaran paham radikalisme, tetapi saya kira Islam Indonesia beda dengan Islam di Pakistan, Arab Saudi, atau Mesir.
Biasa kita sebut Islam Nusantara, atau Islam Indonesia, yang dalam refleksi atau ekspresi budayanya itu memang lebih akomodatif. Saya sering menyebut Islam yang berbunga-bunga (flowery Islam), karena Islam itu berpadu embedded dengan berbagai kegiatan sosial keagamaan yang tidak ada di negeri lain.
Sehingga kemudian saya menyebut Islam Indonesia yang inklusif, moderat, wasatiyah, yang berada di tengah-tengah, terlalu besar untuk bisa dikalahkan.
Bagaimana mungkin ada kelompok radikal bisa mengubah NU, Muhammadiyah, itu tidak mungkin. Itu bisa dibilang kemustahilan, karena ormas Islam wasatiyah ini memiliki aset yang begitu besar, punya lembaga yang begitu besar di seluruh nusantara.
Mereka begitu kaya dengan sekolah Islam, misalnya. Kalau Muhammadiyah dari TK sampai perguruan tinggi, dan jumlah 30 ribu lebih. Kemudian di lingkungan para kiai NU kemungkinan memiliki pesantren 25 ribu lebih.
Belum lagi ormas-ormas seperti Al Washliyah di Sumatra Utara yang juga memiliki banyak sekolah dan perguruan tinggi, Mathla'ul Anwar di Banten, kemudian PUI dan Persis di Jabar dan Persis, juga memiliki madrasah. Juga Nahdlatul Wathan di NTB yang semua mengajarkan paham wasatiyah.
Memang ada infiltrasi ke NU atau Muhammadiyah. Infiltrasi orang-orang yang menolak praktik-praktik yang banyak dilakukan oleh banyak kaum muslimim seperti Maulud Nabi, tahlilan, walimah-walimah, ziarah kubur.
Memang ada kalangan satu atau anggota NU atau Muhammadiyah yang terpengaruh, tapi jumlah mereka terlalu kecil untuk mengubah Islam wasatiyah Indonesia.
Dan lagi pula, Islam wasatiyah Indonesia menghadapi tantangan radikalisasi itu bukan sesuatu hal yang baru. Dan sepanjang sejarahnya mereka tidak tergoyahkan.
Tadi Anda mengatakan, kita harus mewaspadai penyebaran paham radikal. Sejauh pengetahuan Anda, seperti apa penyebaran itu?
Ada infiltrasi ke NU, Muhammadiyah, mencoba memasuki atau menginfiltrasi masjid-masjid mereka, lembaga pendidikan mereka.
Begitu juga banyak penelitian yang mengindikasikan adanya inflitrasi ke sekolah-sekolah, merekrut anak muda, atau mengubah cara pandang anak muda menjadi lebih radikal atau hitam putih.
Saya mengalami sendiri. Putri saya sekolah di sebuah sekolah yang bagus, elit, cukup mahal di Jakarta selatan. Ada satu atau dua gurunya yang kalau mengajar suka menyisipkan pesan-pesan ajaran salafi, yang berpikir hitam putih, atau mengajarkan paham-paham yang kelihatan pro-radikalisme untuk mengubah keadaan.
Jadi ini aktual dan riil usaha-usaha oleh beberapa guru untuk mengubah cara pandang pemikiran keislaman murid di tingkat SMA dari yang bersifat wasatiyah - karena lahir dan besar di lingkungan Islam moderat dan inklusif - untuk diubah menjadi salafi dan kemudian sangat sektarian.
Cuma saya kira, ada satu dua murid mungkin terpengaruh, tetapi umumnya tidak. Jadi, ini harus kita waspadai walaupun kecil, termasuk melalui entry point yang lain.
Sekarang ini sering muncul istilah Wahabi di masyarakat, tetapi kelompok-kelompok yang dicap sebagai pengusung aliran Wahabi menolak label seperti itu. Mereka menganggap aliran Wahabi adalah bagian dari masa lalu. Nah, ketika muncul gerakan puritan dan ada pelabelan Wahabi terhadap gerakan seperti itu, bagaimana Anda memandangnya?
Itulah, ini mendukung argumen saya bahwa Islam moderat di Indonesia terlalu besar untuk gagal. Karena apa? Meskipun ada orang-orang yang aktif menyebarkan paham Wahabi, tapi istilah Wahabi itu sendiri adalah anatema di banyak kalangan Muslim Indonesia. Anatema itu artinya lebih dari sekedar jorok.
Karena itulah, kalau ada orang yang berusaha menyebarkan paham Wahabi, tetapi dia menolak disebut Wahabi, itu karena memang kalau dia disebut Wahabi, itu ya lebih dari jorok.
Kenapa istilah Wahabi itu dianggap jorok bagi sebagian besar Islam Indonesia, karena Islam Wahabi itu terlalu kering, terlalu sederhana, dan terlalu primitif bagi orang Islam Indonesia umumnya.
Sementara orang Islam Indonesia senang mengamalkan Islam yang banyak tambahan-tambahan, yang dicap bi'dah oleh orang Wahabi, mulai tahlilan, maulud nabi, ziarah kubur, tujuh bulanan kehamilan. Itu semua ditolak oleh Wahabi.
Dahulu sepertinya kebanyakan orang mendiamkan ketika ada upaya penyebaran paham Wahabi, tapi belakangan ada counter balik dengan mensosialisasikan istilah yang disebut Islam Nusantara. Apakah langkah ini efektif untuk menahan laju penyebaran paham Wahabi?
Dalam batas-batas tertentu, saya kira cukup efektif, karena ada resistensi dari masyarakat lokal terhadap tindakan radikalisasi dan terorisme. Kita tahu, di banyak kasus teroris yang ditembak mati oleh Densus 88 kemudian ditolak oleh masyarakat setempat untuk dikubur di kampungna. Walaupun ada satu-dua yang menerimanya. Kemudian juga ada penolakan terhadap Wahabi dan sebagainya.
Jadi, saya kira kontra wacana itu baik dan bagus. Ini menunjukkan ada kewaspadaaan dan ketahanan masyarakat lokal.
Cuma kita ingatkan, boleh ada penokalan, tapi jangan terjerumus aksi kekerasan. Karena kalau tidak diingatkan, bukan tidak mungkin penolakan itu ada aksi kekerasan, misalnya ada masjid yang menjadi pusat penyebaran Salafisme atau Wahabisme, lantas diserbu atau dibakar.
Memang sejauh ini belum terjadi, tapi penting kita ingatkan jangan ada kekerasan. Paham kekerasan jangan dibalas dengan aksi kekerasan - nanti menimbulkan kekacauan.
Bagaimana Anda menafsirkan pernyataan Ketua PBNU Said Agil Siradj yang menyatakan bahwa ajaran Wahabi itu dua digit di bawah terorisme?
Memang pahamnya radikal, bisa bergeser ya. Kalau disebut dua digit bisa juga. Karena memang presedennya ada. Muhammad bin Abdul Wahab, pendiri paham Wahabi atau tokoh yang namanya dipakai sebagai nama gerakan di akhir abad 18, itu memang disebut dua digit, saya kira jangan-jangan cuma satu digit.
Karena, saya baca sejarahnya berdasarkan sumber-sumber Arab, ketika pasukan Wahabi yang didukung oleh Raja Najeb, Ibnu Saud, menyerbu Mekkah, digambarkan Mekkah itu berdarah-darah, banjir darah disebutkan. Karena siapapun yang menolak paham Wahabi langsung ditebas lehernya. Jadi memang keras. Itu membikin bulu roma kita bergidik membaca sejarahnya.
Syukurnya, mereka tidak bertahan lama di situ, karena berhasil diusir dari Mekkah dan Madinah oleh pasukan Ustmani, dengan mengerahkan kekuatan Ustmani yang bermarkas di Mesir.
Memang sangat mudah sangat tergelinjir ke terorisme, radikalisme. Karena pahamnya tidak memberikan tempat bagi toleransi dan akomodasi paham yang berbeda dengan mereka. Dan presedennya ada.
Nah, di Indonesia juga pernah ada seperti itu, yaitu gerakan Paderi di Minangkabau. Juga pada akhir abad 19 awal abad 20, terutama tiga orang haji pulang dari Mekkah, waktu ketika Wahabi sudah diusir dari Mekkah dan Madinah, tetapi mereka menyaksikan sisa-sisa kekerasan oleh Wahabi.
Sumber: BBC Indonesia
Azyumardi Azra: Memang pahamnya radikal, bisa bergeser ya. Kalau disebut dua digit bisa juga. Karena memang presedennya ada. Muhammad bin Abdul Wahab, pendiri paham Wahabi atau tokoh yang namanya dipakai sebagai nama gerakan di akhir abad 18, itu memang disebut dua digit, saya kira jangan-jangan cuma satu digit.
Cuplikan Wawancara BBC Indonesia dengan Azyumardi Azra
'Islam Indonesia itu Islam yang berbunga-bunga'
Apa yang Anda khawatirkan dengan menggejalanya radikalisasi di kalangan anak muda belakangan ini?
Memang ada gejala radikalisasi terutama karena proses globalisasi. Ada proses penyebaran paham dan gerakan transnasional yang radikal dalam berbagai bentuknya. Mulai yang soft (lunak) sampai yang lebih keras.
Tetapi spektrumnya cukup luas. Ada yang cuma radikal dalam pengertian wacana yang biasa disebut Salafi-Wahabi. Mulai dari Salafi Wahabi lebih lunak, hanya pada tingkat ajaran atau wacana, tapi tidak dalam gerakan. Tapi juga ada yang sangat keras, ekstrem radikal dan tidak segan melakukan kekerasan atau terorisme.
Cuma saya melihat, dalam watak Islam Indonesia, sesungguhnya bahaya kelompok garis keras tidak sebesar dibayangkan oleh banyak kalangan.
Ada kalangan yang melihat seolah-olah dengan penyebaran radikalisme itu, kemudian seolah-olah Islam Indonesia itu akan kiamat; menjadi radikal semua dan Indonesia kemudian berubah menjadi negara Islam atau negara Syariah, bahkan menjadi negara gagal, karena adanya kelompok-kelompok radikal yang mengacau, melakukan tindakan teror.
Memang kita harus waspadai ada penyebaran paham radikalisme, tetapi saya kira Islam Indonesia beda dengan Islam di Pakistan, Arab Saudi, atau Mesir.
Biasa kita sebut Islam Nusantara, atau Islam Indonesia, yang dalam refleksi atau ekspresi budayanya itu memang lebih akomodatif. Saya sering menyebut Islam yang berbunga-bunga (flowery Islam), karena Islam itu berpadu embedded dengan berbagai kegiatan sosial keagamaan yang tidak ada di negeri lain.
Sehingga kemudian saya menyebut Islam Indonesia yang inklusif, moderat, wasatiyah, yang berada di tengah-tengah, terlalu besar untuk bisa dikalahkan.
Bagaimana mungkin ada kelompok radikal bisa mengubah NU, Muhammadiyah, itu tidak mungkin. Itu bisa dibilang kemustahilan, karena ormas Islam wasatiyah ini memiliki aset yang begitu besar, punya lembaga yang begitu besar di seluruh nusantara.
Mereka begitu kaya dengan sekolah Islam, misalnya. Kalau Muhammadiyah dari TK sampai perguruan tinggi, dan jumlah 30 ribu lebih. Kemudian di lingkungan para kiai NU kemungkinan memiliki pesantren 25 ribu lebih.
Belum lagi ormas-ormas seperti Al Washliyah di Sumatra Utara yang juga memiliki banyak sekolah dan perguruan tinggi, Mathla'ul Anwar di Banten, kemudian PUI dan Persis di Jabar dan Persis, juga memiliki madrasah. Juga Nahdlatul Wathan di NTB yang semua mengajarkan paham wasatiyah.
Memang ada infiltrasi ke NU atau Muhammadiyah. Infiltrasi orang-orang yang menolak praktik-praktik yang banyak dilakukan oleh banyak kaum muslimim seperti Maulud Nabi, tahlilan, walimah-walimah, ziarah kubur.
Memang ada kalangan satu atau anggota NU atau Muhammadiyah yang terpengaruh, tapi jumlah mereka terlalu kecil untuk mengubah Islam wasatiyah Indonesia.
Dan lagi pula, Islam wasatiyah Indonesia menghadapi tantangan radikalisasi itu bukan sesuatu hal yang baru. Dan sepanjang sejarahnya mereka tidak tergoyahkan.
Tadi Anda mengatakan, kita harus mewaspadai penyebaran paham radikal. Sejauh pengetahuan Anda, seperti apa penyebaran itu?
Ada infiltrasi ke NU, Muhammadiyah, mencoba memasuki atau menginfiltrasi masjid-masjid mereka, lembaga pendidikan mereka.
Begitu juga banyak penelitian yang mengindikasikan adanya inflitrasi ke sekolah-sekolah, merekrut anak muda, atau mengubah cara pandang anak muda menjadi lebih radikal atau hitam putih.
Saya mengalami sendiri. Putri saya sekolah di sebuah sekolah yang bagus, elit, cukup mahal di Jakarta selatan. Ada satu atau dua gurunya yang kalau mengajar suka menyisipkan pesan-pesan ajaran salafi, yang berpikir hitam putih, atau mengajarkan paham-paham yang kelihatan pro-radikalisme untuk mengubah keadaan.
Jadi ini aktual dan riil usaha-usaha oleh beberapa guru untuk mengubah cara pandang pemikiran keislaman murid di tingkat SMA dari yang bersifat wasatiyah - karena lahir dan besar di lingkungan Islam moderat dan inklusif - untuk diubah menjadi salafi dan kemudian sangat sektarian.
Cuma saya kira, ada satu dua murid mungkin terpengaruh, tetapi umumnya tidak. Jadi, ini harus kita waspadai walaupun kecil, termasuk melalui entry point yang lain.
Sekarang ini sering muncul istilah Wahabi di masyarakat, tetapi kelompok-kelompok yang dicap sebagai pengusung aliran Wahabi menolak label seperti itu. Mereka menganggap aliran Wahabi adalah bagian dari masa lalu. Nah, ketika muncul gerakan puritan dan ada pelabelan Wahabi terhadap gerakan seperti itu, bagaimana Anda memandangnya?
Itulah, ini mendukung argumen saya bahwa Islam moderat di Indonesia terlalu besar untuk gagal. Karena apa? Meskipun ada orang-orang yang aktif menyebarkan paham Wahabi, tapi istilah Wahabi itu sendiri adalah anatema di banyak kalangan Muslim Indonesia. Anatema itu artinya lebih dari sekedar jorok.
Karena itulah, kalau ada orang yang berusaha menyebarkan paham Wahabi, tetapi dia menolak disebut Wahabi, itu karena memang kalau dia disebut Wahabi, itu ya lebih dari jorok.
Kenapa istilah Wahabi itu dianggap jorok bagi sebagian besar Islam Indonesia, karena Islam Wahabi itu terlalu kering, terlalu sederhana, dan terlalu primitif bagi orang Islam Indonesia umumnya.
Sementara orang Islam Indonesia senang mengamalkan Islam yang banyak tambahan-tambahan, yang dicap bi'dah oleh orang Wahabi, mulai tahlilan, maulud nabi, ziarah kubur, tujuh bulanan kehamilan. Itu semua ditolak oleh Wahabi.
Dahulu sepertinya kebanyakan orang mendiamkan ketika ada upaya penyebaran paham Wahabi, tapi belakangan ada counter balik dengan mensosialisasikan istilah yang disebut Islam Nusantara. Apakah langkah ini efektif untuk menahan laju penyebaran paham Wahabi?
Dalam batas-batas tertentu, saya kira cukup efektif, karena ada resistensi dari masyarakat lokal terhadap tindakan radikalisasi dan terorisme. Kita tahu, di banyak kasus teroris yang ditembak mati oleh Densus 88 kemudian ditolak oleh masyarakat setempat untuk dikubur di kampungna. Walaupun ada satu-dua yang menerimanya. Kemudian juga ada penolakan terhadap Wahabi dan sebagainya.
Jadi, saya kira kontra wacana itu baik dan bagus. Ini menunjukkan ada kewaspadaaan dan ketahanan masyarakat lokal.
Cuma kita ingatkan, boleh ada penokalan, tapi jangan terjerumus aksi kekerasan. Karena kalau tidak diingatkan, bukan tidak mungkin penolakan itu ada aksi kekerasan, misalnya ada masjid yang menjadi pusat penyebaran Salafisme atau Wahabisme, lantas diserbu atau dibakar.
Memang sejauh ini belum terjadi, tapi penting kita ingatkan jangan ada kekerasan. Paham kekerasan jangan dibalas dengan aksi kekerasan - nanti menimbulkan kekacauan.
Bagaimana Anda menafsirkan pernyataan Ketua PBNU Said Agil Siradj yang menyatakan bahwa ajaran Wahabi itu dua digit di bawah terorisme?
Memang pahamnya radikal, bisa bergeser ya. Kalau disebut dua digit bisa juga. Karena memang presedennya ada. Muhammad bin Abdul Wahab, pendiri paham Wahabi atau tokoh yang namanya dipakai sebagai nama gerakan di akhir abad 18, itu memang disebut dua digit, saya kira jangan-jangan cuma satu digit.
Karena, saya baca sejarahnya berdasarkan sumber-sumber Arab, ketika pasukan Wahabi yang didukung oleh Raja Najeb, Ibnu Saud, menyerbu Mekkah, digambarkan Mekkah itu berdarah-darah, banjir darah disebutkan. Karena siapapun yang menolak paham Wahabi langsung ditebas lehernya. Jadi memang keras. Itu membikin bulu roma kita bergidik membaca sejarahnya.
Syukurnya, mereka tidak bertahan lama di situ, karena berhasil diusir dari Mekkah dan Madinah oleh pasukan Ustmani, dengan mengerahkan kekuatan Ustmani yang bermarkas di Mesir.
Memang sangat mudah sangat tergelinjir ke terorisme, radikalisme. Karena pahamnya tidak memberikan tempat bagi toleransi dan akomodasi paham yang berbeda dengan mereka. Dan presedennya ada.
Nah, di Indonesia juga pernah ada seperti itu, yaitu gerakan Paderi di Minangkabau. Juga pada akhir abad 19 awal abad 20, terutama tiga orang haji pulang dari Mekkah, waktu ketika Wahabi sudah diusir dari Mekkah dan Madinah, tetapi mereka menyaksikan sisa-sisa kekerasan oleh Wahabi.
Sumber: BBC Indonesia