Biografi Muhammad bin Abdul Wahhab dan Karya-karyanya
Muhammad bin ‘Abd al-Wahhab: Hidup dan Karya-karyanya Muhammad bin ‘Abd al-Wahhab lahir pada 115/1703 di kota kecil al-‘Uyaynah di Najad, wilayah bagian timur dari apa yang dewasa ini disebut sebagai Kerajaan Arab Saudi. Najd bukan merupakan wilayah yang terkenal dengan tradisi kesarjanaan Islam maupun gerakan pembaruan spiritual.
Judul buku: Wahabisme Sebuah Tinjauan Kritis
Penulis: Hamid Algar
Penerbit: Democracy Project
Tempat/Tahun terbit: Jakarta 2011
Diterjemahkan dari:
Wahhabism: A Critical Essay
(Oneonta, New York; Islamic Publication International, 2002)
Penulis: Hamid Algar
Penerjemah: Rudy Harisyah Alam
Editor: Ihsan Ali-Fauzi
Penyelaras Akhir: Achmad Rifki dan Saidiman
Daftar Isi
BAB II: Muhammad bin ‘Abd al-Wahhab: Hidup dan Karya-karyanya (Bagian 1)
Muhammad bin ‘Abd al-Wahhab lahir pada 115/1703 di kota kecil al-‘Uyaynah di Najad, wilayah bagian timur dari apa yang dewasa ini disebut sebagai Kerajaan Arab Saudi. Najd bukan merupakan wilayah yang terkenal dengan tradisi kesarjanaan Islam maupun gerakan pembaruan spiritual. Kegersangan topografis wilayah itu tampaknya senantiasa tercermin dalam sejarah intelektualnya. Bahkan, terdapat berbagai indikasi dalam hadis bahwa Najad merupakan tempat yang kurang diberkahi oleh Tuhan dibandingkan dengan wilayah-wilayah seperti Syria dan Yaman, dan bahwa di sanalah “keguncangan, kekacauan dan generasi setan” (al-zalâzil wa al-fitan wa qarn al-syaythân) akan muncul. Mengaitkan hadis yang bersifat apokaliptik dengan fenomena historis yang dapat diamati merupakan suatu tugas yang sulit, dan lebih baik hal itu tidak perlu dilakukan. Hadis khusus semacam itu, jika pun bersifat otentik, pada akhirnya mungkin harus dilihat sebagai hadis yang mengandung makna yang sama sekali tidak terkait dengan Wahhabisme.[1] Namun, adanya hadis semacam itu mengandung arti sebagai peringatan menyangkut bagian wilayah Semenanjung Arab itu, dan menyiratkan bahwa setiap gerakan yang muncul dari wilayah itu harus dicermati dengan sangat hati-hati.
Ayah sekaligus guru pertama Muhammad bin ‘Abd al-Wahhab adalah seorang hakim di al-‘Uyaynah, yang menjalankan tugasnya sesuai dengan mazhab Hambali yang telah menjadi tradisi di wilayah itu. ‘Utsman bin ‘Abdullah bin Bisyr, penyusun kronik Saudi yang baku, menulis berkaitan dengan tahun-tahun awal Muhammad bin ‘Abd al-Wahhab bahwa “Allah yang Mahabesar melapangkan dadanya, membuatnya mampu memahami perkara-perkara bertentangan yang telah menyesatkan manusia dari jalan-Nya."[2] Sementara itu, kalangan anti-Wahhabi menggambarkan perkara itu dengan sangat berbeda. Mereka melaporkan bahwa ayah dan saudaranya, Sulayman, menangkap tanda-tanda penyimpangan doktrin yang ekstrim pada diri Muhammad bin ‘Abd al-Wahhab pada usianya yang masih cukup muda.[3]
Yang pasti adalah, belakangan Sulayman tampil menentang Muhammad bin ‘Abd al-Wahhab dan menulis risalah pertama yang panjang lebar yang berisi penolakan terhadap Wahhabisme. Ayahnya sendiri, setidaknya pada awalnya, terlihat bersikap lebih lunak. Akibat kegiatankegiatan anaknya itulah sang ayah dicopot dari jabatannya dan diharuskan meninggalkan al-‘Uyaynah pada 1139 H/1726 M untuk pindah ke kota Huraymilah, yang letaknya berdekatan dengan al-‘Uyaynah. Muhammad bin ‘Abd al-Wahhab sendiri tetap tinggal untuk sementara waktu di al-‘Uyaynah. Di sana ia berusaha memperbaiki apa yang dianggapnya sebagai kecenderungan politeistik pada masyarakatnya, sebelum akhirnya ia sampai pada kesimpulan bahwa “kata-kata saja tidak cukup” (lâ yughn-i ‘l-qawl).[4] Karena itu, ia bergabung dengan ayahnya di Huraymilah sebelum pergi ke Hijaz, yang pada mulanya untuk melaksanakan ibadah haji.
Kemudian ia menghabiskan waktu selama empat tahun untuk belajar di Madinah. Mungkin perlu dicatat bahwa pada waktu itu Madinah masih menjadi pusat pengetahuan dan pertukaran intelektual Islam yang penting, yang menarik banyak sarjana dan pelajar dari berbagai belahan Dunia Islam. Di antara orang-orang yang tercatat pernah menjadi guru dari Muhammad bin ‘Abd al-Wahhab adalah Syaikh ‘Abdullah bin Ibrahim, yang juga berasal dari Najad seperti dirinya, dan Muhammad Hayat al-Sindi, seorang ahli hadis di India. Hal penting lainnya ialah bahwa di antara murid-murid al-Sindi, terdapat seorang sufi dan fakih India terkemuka, yakni Syah Waliyullah Dihlawi. Hal ini kerap dijadikan sebagai bukti tentang afinitas atau kompatibilitas, hingga taraf tertentu, antara Wahhabisme dan berbagai gerakan pembaruan di wilayah Anak Benua yang berasal dari warisan Syah Waliyullah.[5] Hal ini sama sekali keliru karena, bahkan jika dibandingkan, sekilas saja, antara Wahhabisme dan ajaran-ajaran Syah Waliyullah yang sangat kaya dan lebih mendalam (kendati kerap kali eksentrik), maka terlihat betapa besar perbedaan antara keduanya.
Lebih dari itu, semata-mata fakta bahwa seorang murid telah belajar dari seorang guru tidak mesti berarti sang murid menyerap seluruh pandangan dari sang guru, dan tidak pula sang guru dapat dianggap bertanggung jawab atas pikiran-pikiran yang kemudian dikembangkan sendiri oleh sang murid. Dengan kata lain, Wahhabisme maupun para pendukung utamanya tidak dapat dianggap berasal dari Muhammad Hayat al-Sindi.
Lebih penting lagi, Muhammad bin ‘Abd al-Wahhab dikatakan lebih banyak menghabiskan waktunya di Madinah untuk mempelajari karya-karya Ibn Taymiyyah (w. 728/1328), seorang tokoh terkemuka dalam sejarah intelektual Islam, kendati pengaruhnya mungkin lebih besar pada masa sesudah ia wafat dibandingkan pada masa hidupnya. Ibn Taymiyyah memiliki kesamaan dengan Muhammad bin ‘Abd al-Wahhab dalam hal kegemarannya berpolemik. Sasarannya meliputi agama Kristen, aliran Syi‘ah, praktik dan doktrin kaum Sufi, dan Mu’tazilah. Berkaitan dengan yang terakhir ini, memang bisa dipertanyakan mengapa Ibn Taymiyyah harus menghabiskan energi untuk mengkritik Mu’tazilah, padahal Mu’tazilah bisa dikatakan sudah tidak ada lagi. Karena ketertarikan yang ditunjukkan Muhammad bin ‘Abd al-Wahhab pada karya-karya Ibn Taymiyyah, Wahhabisme senantiasa diklaim mencerminkan kemunculan yang tertunda dari warisan Ibn Taymiyyah. Klaim ini sulit dipertahankan, meskipun lebih tidak berdasar lagi upaya untuk mengaitkan pendiri Wahhabisme dengan Syah Waliyullah. Oleh sebab itu, bukan tanpa alasan jika Donald P. Little pernah menulis sebuah artikel berjudul “Apakah Ibn Taymiyyah agak Aneh [Did Ibn Taymiyya have a screw loose]?[6]
Namun demikian, apa pun pendapat orang tentang posisi atau sikap Ibn Taymiyyah, tidak diragukan bahwa ia adalah pemikir yang jauh lebih cermat dan teliti dan seorang ulama yang jauh lebih produktif dibandingkan dengan Muhammad bin ‘Abd al-Wahhab.[7] Lebih dari itu, perbedaan kunci antara kedua orang ini adalah, kendati Ibn Taymiyyah menentang aspek-aspek tertentu Sufisme pada zamannya yang ia pandang keliru atau menyimpang, namun ia tidak menolak Sufisme secara keseluruhan. Ibn Taymiyyah sendiri adalah pelopor tarekat Qadiriyyah.[8] Sebaliknya, Muhammad bin ‘Abd al-Wahhab menolak tasawuf secara lebih luas, akar maupun cabangnya, bukan hanya beberapa manifestasi tertentu dari tasawuf. Wahhabisme pada dasarnya adalah sebuah gerakan tanpa preseden. Gerakan ini lahir dari dunia antah-berantah, dalam arti bukan hanya muncul dari wilayah gersang Najad, tetapi juga tidak memiliki preseden penting dalam sejarah Islam. Dari sudut pandang Wahhabisme, mungkin bisa dikatakan bahwa persis tidak adanya preseden historis itu merupakan suatu kebaikan. Karena, keseluruhan tujuan Wahhabisme adalah untuk membongkar struktur-struktur teologi, hukum dan mistisisme yang bersifat kompleks dan rumit, belum lagi praktik-praktik keagamaan, yang telah berkembang sejak selesainya pewahyuan al-Qur’an, dan untuk mencari jalan kembali langsung kepada dua sumber utama Islam, yakni al-Qur’an dan Sunnah.
CATATAN KAKI
1. Bahkan, ramalan itu mungkin telah terpenuhi dalam sambutan hangat yang diberikan penduduk Najd kepada nabi palsu Musaylamah al-Kadzdzab tidak lama sesudah wafatnya Nabi.
2. ‘Utsman bin ‘Abdullah bin Bisyr, ‘Unwân al-Majîd fî Târîkh Najd, Riyad, tanpa tahun, h. 6
3. Lihat Lampiran B.
4. ‘Unwân al-Majîd, h. 7.
5. John Voll, “Muhammad Hayat al-Sind and Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhab: An Analysis of an Intellectual Group in Eighteenth-Century Medina,”Bulletin of the School of Oriental and African Studies, XXXVIII: 1 (1975), h. 32-38.
6. Studia Islamica, XLI: 1975, h. 93-111.
7. Karya Ibn Taymiyyah yang berjilid-jilid umumnya tidak dibaca dewasa ini baik oleh pendukung setianya maupun para pengkritiknya. Ironisnya, hal serupa juga dialami oleh Ibn ‘Arabi, lawan utama Ibn Taymiyyah
di kalangan sufi.
8. George Makdisi, “Ibn Taymiya: A Sufi of the Qadiriya Order,” American Journal of Arabic Studies, I (1974), h. 118-129.
Penulis: Hamid Algar
Penerbit: Democracy Project
Tempat/Tahun terbit: Jakarta 2011
Diterjemahkan dari:
Wahhabism: A Critical Essay
(Oneonta, New York; Islamic Publication International, 2002)
Penulis: Hamid Algar
Penerjemah: Rudy Harisyah Alam
Editor: Ihsan Ali-Fauzi
Penyelaras Akhir: Achmad Rifki dan Saidiman
Daftar Isi
BAB II: Muhammad bin ‘Abd al-Wahhab: Hidup dan Karya-karyanya (Bagian 1)
Muhammad bin ‘Abd al-Wahhab lahir pada 115/1703 di kota kecil al-‘Uyaynah di Najad, wilayah bagian timur dari apa yang dewasa ini disebut sebagai Kerajaan Arab Saudi. Najd bukan merupakan wilayah yang terkenal dengan tradisi kesarjanaan Islam maupun gerakan pembaruan spiritual. Kegersangan topografis wilayah itu tampaknya senantiasa tercermin dalam sejarah intelektualnya. Bahkan, terdapat berbagai indikasi dalam hadis bahwa Najad merupakan tempat yang kurang diberkahi oleh Tuhan dibandingkan dengan wilayah-wilayah seperti Syria dan Yaman, dan bahwa di sanalah “keguncangan, kekacauan dan generasi setan” (al-zalâzil wa al-fitan wa qarn al-syaythân) akan muncul. Mengaitkan hadis yang bersifat apokaliptik dengan fenomena historis yang dapat diamati merupakan suatu tugas yang sulit, dan lebih baik hal itu tidak perlu dilakukan. Hadis khusus semacam itu, jika pun bersifat otentik, pada akhirnya mungkin harus dilihat sebagai hadis yang mengandung makna yang sama sekali tidak terkait dengan Wahhabisme.[1] Namun, adanya hadis semacam itu mengandung arti sebagai peringatan menyangkut bagian wilayah Semenanjung Arab itu, dan menyiratkan bahwa setiap gerakan yang muncul dari wilayah itu harus dicermati dengan sangat hati-hati.
Ayah sekaligus guru pertama Muhammad bin ‘Abd al-Wahhab adalah seorang hakim di al-‘Uyaynah, yang menjalankan tugasnya sesuai dengan mazhab Hambali yang telah menjadi tradisi di wilayah itu. ‘Utsman bin ‘Abdullah bin Bisyr, penyusun kronik Saudi yang baku, menulis berkaitan dengan tahun-tahun awal Muhammad bin ‘Abd al-Wahhab bahwa “Allah yang Mahabesar melapangkan dadanya, membuatnya mampu memahami perkara-perkara bertentangan yang telah menyesatkan manusia dari jalan-Nya."[2] Sementara itu, kalangan anti-Wahhabi menggambarkan perkara itu dengan sangat berbeda. Mereka melaporkan bahwa ayah dan saudaranya, Sulayman, menangkap tanda-tanda penyimpangan doktrin yang ekstrim pada diri Muhammad bin ‘Abd al-Wahhab pada usianya yang masih cukup muda.[3]
Yang pasti adalah, belakangan Sulayman tampil menentang Muhammad bin ‘Abd al-Wahhab dan menulis risalah pertama yang panjang lebar yang berisi penolakan terhadap Wahhabisme. Ayahnya sendiri, setidaknya pada awalnya, terlihat bersikap lebih lunak. Akibat kegiatankegiatan anaknya itulah sang ayah dicopot dari jabatannya dan diharuskan meninggalkan al-‘Uyaynah pada 1139 H/1726 M untuk pindah ke kota Huraymilah, yang letaknya berdekatan dengan al-‘Uyaynah. Muhammad bin ‘Abd al-Wahhab sendiri tetap tinggal untuk sementara waktu di al-‘Uyaynah. Di sana ia berusaha memperbaiki apa yang dianggapnya sebagai kecenderungan politeistik pada masyarakatnya, sebelum akhirnya ia sampai pada kesimpulan bahwa “kata-kata saja tidak cukup” (lâ yughn-i ‘l-qawl).[4] Karena itu, ia bergabung dengan ayahnya di Huraymilah sebelum pergi ke Hijaz, yang pada mulanya untuk melaksanakan ibadah haji.
Kemudian ia menghabiskan waktu selama empat tahun untuk belajar di Madinah. Mungkin perlu dicatat bahwa pada waktu itu Madinah masih menjadi pusat pengetahuan dan pertukaran intelektual Islam yang penting, yang menarik banyak sarjana dan pelajar dari berbagai belahan Dunia Islam. Di antara orang-orang yang tercatat pernah menjadi guru dari Muhammad bin ‘Abd al-Wahhab adalah Syaikh ‘Abdullah bin Ibrahim, yang juga berasal dari Najad seperti dirinya, dan Muhammad Hayat al-Sindi, seorang ahli hadis di India. Hal penting lainnya ialah bahwa di antara murid-murid al-Sindi, terdapat seorang sufi dan fakih India terkemuka, yakni Syah Waliyullah Dihlawi. Hal ini kerap dijadikan sebagai bukti tentang afinitas atau kompatibilitas, hingga taraf tertentu, antara Wahhabisme dan berbagai gerakan pembaruan di wilayah Anak Benua yang berasal dari warisan Syah Waliyullah.[5] Hal ini sama sekali keliru karena, bahkan jika dibandingkan, sekilas saja, antara Wahhabisme dan ajaran-ajaran Syah Waliyullah yang sangat kaya dan lebih mendalam (kendati kerap kali eksentrik), maka terlihat betapa besar perbedaan antara keduanya.
Lebih dari itu, semata-mata fakta bahwa seorang murid telah belajar dari seorang guru tidak mesti berarti sang murid menyerap seluruh pandangan dari sang guru, dan tidak pula sang guru dapat dianggap bertanggung jawab atas pikiran-pikiran yang kemudian dikembangkan sendiri oleh sang murid. Dengan kata lain, Wahhabisme maupun para pendukung utamanya tidak dapat dianggap berasal dari Muhammad Hayat al-Sindi.
Lebih penting lagi, Muhammad bin ‘Abd al-Wahhab dikatakan lebih banyak menghabiskan waktunya di Madinah untuk mempelajari karya-karya Ibn Taymiyyah (w. 728/1328), seorang tokoh terkemuka dalam sejarah intelektual Islam, kendati pengaruhnya mungkin lebih besar pada masa sesudah ia wafat dibandingkan pada masa hidupnya. Ibn Taymiyyah memiliki kesamaan dengan Muhammad bin ‘Abd al-Wahhab dalam hal kegemarannya berpolemik. Sasarannya meliputi agama Kristen, aliran Syi‘ah, praktik dan doktrin kaum Sufi, dan Mu’tazilah. Berkaitan dengan yang terakhir ini, memang bisa dipertanyakan mengapa Ibn Taymiyyah harus menghabiskan energi untuk mengkritik Mu’tazilah, padahal Mu’tazilah bisa dikatakan sudah tidak ada lagi. Karena ketertarikan yang ditunjukkan Muhammad bin ‘Abd al-Wahhab pada karya-karya Ibn Taymiyyah, Wahhabisme senantiasa diklaim mencerminkan kemunculan yang tertunda dari warisan Ibn Taymiyyah. Klaim ini sulit dipertahankan, meskipun lebih tidak berdasar lagi upaya untuk mengaitkan pendiri Wahhabisme dengan Syah Waliyullah. Oleh sebab itu, bukan tanpa alasan jika Donald P. Little pernah menulis sebuah artikel berjudul “Apakah Ibn Taymiyyah agak Aneh [Did Ibn Taymiyya have a screw loose]?[6]
Namun demikian, apa pun pendapat orang tentang posisi atau sikap Ibn Taymiyyah, tidak diragukan bahwa ia adalah pemikir yang jauh lebih cermat dan teliti dan seorang ulama yang jauh lebih produktif dibandingkan dengan Muhammad bin ‘Abd al-Wahhab.[7] Lebih dari itu, perbedaan kunci antara kedua orang ini adalah, kendati Ibn Taymiyyah menentang aspek-aspek tertentu Sufisme pada zamannya yang ia pandang keliru atau menyimpang, namun ia tidak menolak Sufisme secara keseluruhan. Ibn Taymiyyah sendiri adalah pelopor tarekat Qadiriyyah.[8] Sebaliknya, Muhammad bin ‘Abd al-Wahhab menolak tasawuf secara lebih luas, akar maupun cabangnya, bukan hanya beberapa manifestasi tertentu dari tasawuf. Wahhabisme pada dasarnya adalah sebuah gerakan tanpa preseden. Gerakan ini lahir dari dunia antah-berantah, dalam arti bukan hanya muncul dari wilayah gersang Najad, tetapi juga tidak memiliki preseden penting dalam sejarah Islam. Dari sudut pandang Wahhabisme, mungkin bisa dikatakan bahwa persis tidak adanya preseden historis itu merupakan suatu kebaikan. Karena, keseluruhan tujuan Wahhabisme adalah untuk membongkar struktur-struktur teologi, hukum dan mistisisme yang bersifat kompleks dan rumit, belum lagi praktik-praktik keagamaan, yang telah berkembang sejak selesainya pewahyuan al-Qur’an, dan untuk mencari jalan kembali langsung kepada dua sumber utama Islam, yakni al-Qur’an dan Sunnah.
CATATAN KAKI
1. Bahkan, ramalan itu mungkin telah terpenuhi dalam sambutan hangat yang diberikan penduduk Najd kepada nabi palsu Musaylamah al-Kadzdzab tidak lama sesudah wafatnya Nabi.
2. ‘Utsman bin ‘Abdullah bin Bisyr, ‘Unwân al-Majîd fî Târîkh Najd, Riyad, tanpa tahun, h. 6
3. Lihat Lampiran B.
4. ‘Unwân al-Majîd, h. 7.
5. John Voll, “Muhammad Hayat al-Sind and Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhab: An Analysis of an Intellectual Group in Eighteenth-Century Medina,”Bulletin of the School of Oriental and African Studies, XXXVIII: 1 (1975), h. 32-38.
6. Studia Islamica, XLI: 1975, h. 93-111.
7. Karya Ibn Taymiyyah yang berjilid-jilid umumnya tidak dibaca dewasa ini baik oleh pendukung setianya maupun para pengkritiknya. Ironisnya, hal serupa juga dialami oleh Ibn ‘Arabi, lawan utama Ibn Taymiyyah
di kalangan sufi.
8. George Makdisi, “Ibn Taymiya: A Sufi of the Qadiriya Order,” American Journal of Arabic Studies, I (1974), h. 118-129.